Maman S
Mahayana
Riau Pos,
10 Sep 2016
MENCERMATI situasi pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di
negeri ini, segalanya tampak seperti berlangsung baik-baik saja. Kurikulum yang
gonta-ganti diterima dengan baik-baik saja, meskipun para guru dibuatnya
kelimpungan. Adagium: ganti menteri, ganti kurikulum, dengan berat hati,
disikapi, juga dengan baik-baik saja. Ujian Nasional (UN) yang dalam banyak
kasus yang terjadi di beberapa daerah ‘melahirkan tim sukses’ juga saban tahun
masih terus berlangsung. Begitulah, pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia di semua peringkat sekolah—bahkan juga di perguruan tinggi—, dari
tahun ke tahun, menggelinding seperti sebuah rutinitas dengan segala kehebohan
dan keluh-kesahnya.
Sejalan
dengan situasi itu, tidak sedikit orang merasa prihatin dengan kemampuan
keterampilan berbahasa para pelajar—dan mahasiswa—kita. Taufiq Ismail
menyebutnya: “Rabun membaca, lumpuh menulis!” Kondisi dan situasi tersebut juga
menimpa kesusastraan Indonesia. Masyarakat –dan pemerintah—tidak menganggap
penting perkembangan kesusastraan kita. Mungkin lantaran sastra tidak secara
langsung menghasilkan materi dan kekuasaan, maka biarlah sastra diurus oleh
para sastrawan sendiri, heboh sendiri, sementara masyarakat tetap
memasabodohkannya. Survei yang dilakukan Litbang Kompas, 3-5 Juni 2015,
memperkuat sinyalemen itu. Disimpulkan, bahwa sebanyak 512 responden yang
berdomisili di 12 kota besar di Indonesia dan dipilih secara acak, 67,6 %
menyatakan tidak suka puisi.
Mengapa
bisa terjadi begitu? Apa akar masalahnya sehingga bahasa Indonesia—sebagai
bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan—dan kesusastraan Indonesia
sebagai ekspresi kebudayaan bangsa, tetap terpinggirkan dalam beberapa dekade
perjalanan bangsa Indonesia? Mari kita coba menengok ke belakang.
Saya mulai dari pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berikut ini yang
dilontarkan lebih dari sepuluh windu yang lalu: “Pada sekolah menengah
Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa
Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” Di bagian lain,
Alisjahbana mengatakan:
Pengadjarannja
jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita
masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat
kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata
mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala
hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.
Boekoe
batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah
oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan
semata-mata untuk sekolah itoelah. Nah, sudah sekian puluh
tahun yang lalu STA mengingatkan, bahwa “Pengadjarannja jang menghamba kepada
gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki
dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa.” Itulah
salah satu sumber masalah, mengapa pelajaran bahasa Indonesia yang mestinya
menekankan aspek keterampilan, bergeser menjadi pelajaran pengetahuan tentang
bahasa.
Kritik
STA jelas ditujukan pada sistem pengajaran dan pada guru-guru Belanda yang
mengajar bahasa Melayu. Pertama, pada zamannya belum banyak sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda yang dapat dimasuki penduduk pribumi,
kecuali anak-anak keluarga bangsawan. Jadi, bagaimana mungkin para murid
terampil berbahasa Indonesia jika sistem pengajarannya lebih menekankan pada
tata bahasa dan pengetahuan bahasa. Kedua, belum banyak guru-guru pribumi yang
bisa mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Dengan begitu, sasaran kritik STA
tentu dialamatkan pada guru-guru Belanda yang kerangka berpikirnya juga
Belanda. Ketiga, sudah sistem pengajarannya dengan semangat kolonial Belanda,
guru-gurunya Belanda, buku-buku pelajaran bahasa Melayu yang digunakan di
sekolah ketika itu, juga buku-buku tata bahasa Melayu karya para pengarang
Belanda yang konsepsinya juga bersumber pada buku-buku tatabahasa
Belanda. Jadi, segalanya serba-Belanda. Maka, sangat wajar
jika pelajaran bahasa Indonesia di sekolah diajarkan berdasarkan
cara pandang tata bahasa Belanda. Itulah awal mula pelajaran bahasa (Indonesia)
di sekolah cenderung lebih menekankan pada pengetahuan linguistik dibandingkan
pada keterampilan berbahasa.
Ketika
di Padang tahun 1937 terbit sebuah buku berjudul Kitab Ilmoe Sjaraf Melajoe
Oemoem karya B.R. Motik, muncul resensi buku yang ditulis Darmawidjaja dalam
rubrik Timbangan Buku Majalah Pujangga Baru. Darmawidjaja
menyebutkan hal yang senada sebagaimana yang disampaikan STA. Dikatakannya:
“Penulisnya belum lagi dapat melepaskan dirinya dari pada tradisi, yakni
tradisi terlalu menyandarkan uraian-uraiannya kepada cara yang selama ini
ditempuh: kepada kitab-kitab ‘ilmu bahasa yang telah ada, padahal kitab-kitab
itu bersandarkan belaka pada gramatika penjelasan bahasa-bahasa Indo-Jerman. Di
mana categorientafel Aristoteles, yang dibuat sendi untuk menerangkan hal-hal
yang terdapat dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman masih jauh dari sempurna, apakah
yang akan kita harapkan jika categorientafel itu juga yang kita pakai sebagai
dasar untuk menerangkan seluk-beluk bahasa Melayu Umum, salah satu dari
ranting-ranting bahasa pokok Austronesia yang sangat berbeda dengan
bahasa-bahasa Indo-Jerman.” Cara mereka bekerja masih terlalu terikat pada
gramatika Latin.
Bagaimana
pula tanggapan STA atas buku itu? Saya kutip beberapa bagian pernyataannya
berikut ini: Kurang kecakapan dan keahlian itu terbayang pada tiap halaman Ilmu
Syaraf ini: constructienya goyah, tidak kokoh padu: definitie banyak tidak
tepat, pembahagian kurang kena, kata yang dipilih untuk nama sesuatu verschijnsel
(kenyataan, msm) bahasa tidak memuaskan. Tidak ada analyse bahasa yang jelas,
sebab itu di atasnya tidak pula mungkin synthese yang memadai.
Begitulah,
sebelum Indonesia merdeka, buku-buku yang digunakan sebagai bahan pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah tidak lain adalah buku-buku tata bahasa yang konsep
dan cara berpikirnya Belanda. Dapat dipahami jika kemudian, pelajaran bahasa
Indonesia cenderung lebih berat pada tata bahasa daripada keterampilan
berbahasa. Penekanan pada tata bahasa itulah yang terjadi sampai sekarang.
Lebih parah lagi, pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar mulai terjerumus
ke dunia linguistik.
***
Kondisi
pelajaran sastra (Indonesia) di sekolah-sekolah, juga menjadi pelajaran
pengetahuan sastra mengikuti model pelajaran bahasa (Indonesia). Bahkan,
pelajaran sastra sekadar salah satu bagian dari pelajaran bahasa. Situasi
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah itu, tidak berbanding lurus
dengan kehidupan kesusastraan. Persoalannya menjadi lebih jelas jika kita coba
mencermati perkembangan penerbitan buku-buku sastra.
Dalam
perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, dasawarsa 1950-an sebenarnya
merupakan masa yang paling semarak dibandingkan masa sebelumnya. Berbagai
pandangan dan keberagaman sikap dalam mengusahakan kehidupan kesusastraan di
masa mendatang, justru lebih ramai pada dasawarsa ini dibandingkan masa
Pujangga Baru. Situasi itu dimungkinkan dengan munculnya berbagai majalah dan
surat kabar yang menyediakan rubrik-rubrik sastra. Maka, betapapun dalam sepuluh
tahun itu, novel yang terbit hanya 49 buku, antologi cerpen 48 buku, puisi 32
buku, drama 90 naskah, dan antologi esai 43 buku, jumlah itu
sebenarnya sama sekali tidak mewakili situa¬si kehidupan kesusastraan Indonesia
masa itu.
Menurut
Sapardi Djoko Damono yang meneliti pemuatan cerpen,
drama, puisi dan esai dalam 24 majalah yang terbit pada dasawarsa 1950-an,
jumlah cerpen tercatat 1823, drama 30, puisi 2930, dan esai 770. Sedangkan
cerpen, drama, puisi dan esai terjemahan masing-masing tercatat 331 cerpen, 39
drama, 102 puisi, dan 94 esai. Adapun yang dicatat Kratz, dalam 55
majalah yang terbit tahun 1950-an adalah 6291 puisi, 5043 prosa (cerpen +
cerbung), dan 75 naskah drama. Dari jumlah yang dicatat Damono dan Kratz itu,
ada di antaranya yang lalu diterbitkan sebagai buku, tetapi sebagian besar,
masih tersimpan dalam lembaran majalah itu.
Data
kuantitatif itu, belum termasuk karya sastra yang dimuat majalah yang belum
diteliti Damono dan Kratz. Koleksi Perpustakaan Nasional, misalnya, masih menyimpan
sekitar 140-an majalah terbitan tahun 1950-an di luar sampel kedua peneliti
tadi. Jumlah itu, niscaya akan membengkak jika kita juga meneliti karya sastra
yang terbit dalam lembaran-lembaran suratkabar. Dengan begitu, jelas bahwa peta
kesusastraan Indonesia waktu itu musta¬hil tergambarkan jika hanya mengandalkan
karya-karya sastra yang diterbitkan sebagai buku, sebagaimana dilakukan
Teeuw. Bagaimana hubungannya dengan pengajaran sastra di sekolah?
Kesemarakan
kesusastraan Indonesia dalam majalah dan surat kabar itu, ternyata sama sekali
tidak didukung oleh penerbitan buku-buku pelajaran sastra yang mengarah pada
apresiasi, melainkan sebagai buku pengetahuan sastra dan model-model hapalan.
Di samping itu, buku-buku pelajaran sastra, seperti juga buku pelajaran bahasa
Indonesia, masih mengandalkan buku-buku karya penulis
Belanda. Ketika pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dijadikan
sebagai mata ujian negara waktu itu, penerbit-penerbit swasta memanfaatkannya
semata-mata untuk kepentingan mencari untung. Maka terbitlah buku-buku
soal-jawab ujian negara yang cuma berisi soal-soal berikut kunci
jawabannya. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia makin menjadi
pelajaran hapalan karena adanya tuntutan ujian negara itu.
Boleh
jadi ada pertimbangan praktis bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA waktu itu. Dalam
ujian negara pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di semua tingkatan sekolah,
tidak ada persyaratan bagi siswa agar memahami karya sastra. Jadi, tuntutannya
adalah dapat menjawab soal dengan benar. Dengan begitu, menghapal nama-nama
pengarang, judul buku, pembabakan angkatan, tahun penerbitannya, dan berbagai
contoh baku gaya bahasa, menjadi lebih penting daripada membaca karya
sastranya. Akibatnya, yang dipentingkan adalah: benar menjawab soal dan lulus ujian
dan bukan memahami karyanya. Itulah yang juga terjadi dalam pelajaran bahasa
Indonesia belakangan ini lantaran adanya Ujian Nasional. Siswa tidak dituntut
memahami karya sastra, terampil menulis dan mengapresiasi karya sastra, tetapi
cukuplah dapat menjawab soal ujian dengan benar. Boleh jadi, problem itu pula
yang terjadi di banyak perguruan tinggi kita yang menyelenggarakan program
studi bahasa dan sastra Indonesia.
Bagaimana
dampaknya dengan sistem pengajaran sastra yang seperti itu? Secara cerdik penerbit-penerbit
swasta yang bermunculan waktu itu memanfaatkan kebutuhan mendesak bahan
pelajaran sastra, termasuk di dalamnya soal-soal pelajaran tersebut. Maka,
buku-buku model soal-jawab, sari kesusastraan, persiapan ujian, latihan ujian
dan buku sejenisnya menjadi produk unggulan para penerbit.
Pada
dasawarsa tahun 1950-an itu, dari sekitar 157 penerbit swasta yang tersebar di
kota besar di Indonesia, kurang dari 10 penerbit yang menerbitkan buku sastra.
Selebihnya sekitar 147 penerbit, menerbitkan buku pelajaran sekolah, termasuk
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sebagai bahan perbandingan, buku sastra
(puisi, novel, antologi cerpen, dan drama—termasuk yang dimuat dalam majalah)
yang diterbitkan waktu itu berjumlah 237 buah, sedangkan buku pelajaran sastra
–tak termasuk buku pelajaran bahasa Indonesia yang di dalamnya juga memuat
soal-soal kesusastraan— tercatat 126 buku. Buku-buku seperti itulah
yang kemudian digunakan para guru dalam pengajaran sastra di
sekolah-sekolah.
***
Sementara
itu, buku-buku kritik H.B. Jassin, seperti Kesusastraan Indonesia Di Masa
Jepang (1948), Gema Tanah Air (1948), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956),
pada tahun 1950-an itu sebenarnya dapat digunakan untuk bahan pengajaran sastra
di sekolah mengingat di sana disertakan sejumlah karya pengarang kita. Buku
H.B. Jassin yang lain, seperti Tifa Penyair dan Daerahnja (1952) dan
Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Essay (1953), meskipun bersifat
pengetahuan, kedua buku itu juga dapat dimanfaatkan untuk bahan apresiasi
sastra. Hal yang sama berlaku bagi buku Amal Hamzah, Buku dan
Penulis (1950), A. Teeuw, Pokok dan Tokoh (1952), Zuber Usman, Kesusastraan
Lama Indonesia (1954) dan Kesusastraan Baru Indonesia (1957). Buku-buku itu
yang lebih bersifat pengetahuan dan kesejarahan itu sayangnya tidak
dimanfaatkan untuk mendekatkan siswa dengan karya sastranya, tetapi cukup
sebatas sebagai pengetahuan belaka. Akibatnya, pelajaran sastra di sekolah
tergelincir sebagai pelajaran pengetahuan tentang sastra.
***
Bolehlah
dikatakan, bahwa pemancangan pelajaran bahasa dan kesusastraan (Indonesia)
dalam dunia pendidikan kita, terjadi pada tahun 1950-an dengan sistem yang
seperti itu. Argumennya berikut ini: Pertama, sistem pendidikan kita di awal
kemerdekaan lebih menyerupai sistem coba-coba. Dari 17 Agustus 1945
sampai 2 Oktober 1946, jabatan Menteri PPK telah empat kali
gonta-ganti. Sistem pendidikan pun, masih bongkar-pasang. Kedua, pembukaan
sekolah lebih mengutamakan sekolah kejuruan teknik mengingat kebutuhan tenaga
kerja praktis sangat mendesak. Ketiga, pembagian ilmu untuk perguruan tinggi,
yaitu ilmu alam, ilmu kebudian dan ilmu sosial, telah menempatkan pendidikan
kesusastraan makin terpojok; terkesan sebagai pelengkap. Sistem
pendidikan itulah yang terus bergulir hingga kini yang ekornya menempatkan
pengajaran sastra cuma sebagai pelengkap; sebagai pelajaran sampingan.
***
Demikianlah,
harapan agar pengajaran bahasa dan kesusastraan Indonesia di sekolah tak
menekankan segi linguistik melainkan keterampilan, menghindar bentuk hapalan,
dan lebih bersifat apresiatif, tetap akan terbentur pada sistem pendidikan kita
yang selalu memicingkan mata terhadap keterampilan menulis dan pendidikan moral
lewat pengajaran kesusastraan ini. Benturan lainnya datang pula dari guru-guru
yang lebih suka cari praktisnya; membuat soal yang jawabannya sudah baku. Atau,
guru-gurunya sendiri yang terlalu malas menulis dan membaca khazanah
kesusastraan kita, apalagi mengikuti perkembangannya.
Lalu,
langkah apa yang mesti diambil untuk memecahkan masalahnya? Inilah (mungkin)
solusinya: Pertama, peninjauan kembali (atau perombakan) sistem pengajaran
bahasa dan sastra di semua tingkat pendidikan, teristimewa pendidikan untuk
mencetak guru sastra. Kedua, pelibatan sastrawan secara aktif dalam pengajaran
sastra di semua sekolah, termasuk di sekolah kejuruan. Ketiga, pemisahan
pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia. Jika mungkin, pelajaran bahasa
Indonesia di tingkat Sekolah Dasar dihapuskan dan diganti dengan pelajaran
Mengarang dalam bahasa Indonesia dan Apresiasi Sastra Indonesia.
Meski begitu, semuanya cuma mungkin terlaksana dengan
baik, jika pihak pemerintah sendiri menanggapi secara positif masalah itu.
Selama pemerintah menyepelekan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan memicingkan
mata terhadap kesusastraan bangsanya, selama itu pula keprihatinan
berkepanjangan akan terus muncul sebagai asap; hilang dalam sekejap. Itulah
kondisi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam dunia pendidikan kita.***
*) Maman S Mahayana adalah pengajar di FIB
Universitas Indonesia.
http://riaupos.co/3097-spesial-perkembangan-pendidikan-bahasa-dan-sastra-indonesia.html#.Wku-CfCWbIU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar