Maman S. Mahayana
Sebelum membincangkan lebih jauh tentang problematika sastra Indonesia, perlu kiranya merumuskan dahulu, apa sih, sastra Indonesia itu? Jika kita bersepakat dengan konsep, apa yang dimaksud sastra Indonesia, barulah kita meneroka lebih jauh ke tradisi yang melatarbelakanginya; apa yang menjadi karakteristik atau ciri-ciri karya sastra itu termasuk sastra Indonesia; apa pula syarat yang menyertainya.
Kembali kita munculkan lagi pertanyaan tadi: apa sih, sastra Indonesia?
Mengingat ada tiga ragam sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama –dan belakangan masuk pula esai, maka siapa pun orang Indonesia—yang secara hukum kenegaraan menjadi warga negara Indonesia— jika ia menulis atau menghasilkan karya sastra, baik prosa, puisi, atau drama (dan esai) dalam bahasa Indonesia, karyanya termasuklah khazanah sastra Indonesia. Jadi, syarat bahasa yang digunakan dan identitas kewarganegaraan, mutlak sebagai ciri yang menandainya.
Bagaimana jika ada orang atau warga negara Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa Sunda, Jawa atau bahasa daerah lainnya, atau juga bahasa asing, apakah termasuk sastra Indonesia? Sudah jelas, bahasa Indonesia bukanlah bahasa daerah; juga bukan bahasa asing. Bahasa Indonesia adalah bahasa negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia, Bab II, Pasal 4, dinyatakan:
(1) Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara.
(2) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing, berkedudukan sebagai Bahasa Daerah.
(3) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, berkedudukan sebagai Bahasa Asing.
Nah, jika ada warga negara Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa daerah, tentu saja kita tidak dapat memasukkannya sebagai sastra Indonesia, tetapi sebagai sastra daerah. Lalu, bagaimana jika orang itu menulis dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jepang atau Belanda? Tegas pula kita menyatakannya: bukan sastra Indonesia! Jika begitu, apakah karya sastra yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Inggris, Jepang, atau Belanda termasuk sastra Inggris atau Jepang atau Belanda?
Bagi saya sebagai warga negara Indonesia, karya sastra yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Inggris, Jepang, Belanda atau bahasa asing lainnya jelas: bukan sastra Indonesia, bukan pula sastra Inggris, Jepang atau Belanda. Selain akan ada penolakan dari ketiga bangsa itu untuk memasukkannya sebagai karya sastra mereka, juga berkaitan dengan identitas kewarganegaraan. Siapa pun tentu saja boleh menulis karya sastra dalam bahasa asing mana pun, tetapi ketika ia perlu identitas khazanah sastra sebuah bangsa, ia akan menghadapi masalah keidentitasan. Bagaimana mungkin orang yang bukan warga negara Inggris, Jepang atau Belanda, tiba-tiba karyanya menjadi bagian dari khazanah kesusastraan mereka?
Dengan dasar pemikiran itu, maka orang asing warga negara mana pun, yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, karyanya tidaklah dapat dimasukkan sebagai karya sastra Indonesia. Tentu saja kita berterima kasih pada orang asing yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetapi berkaitan dengan identitas kewarganegaraannya yang bukan warga negara Indonesia, kita tegas menyatakannya: bukan sastra Indonesia! Apakah karya-karya Shakespeare, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Sophokles, Yasunari Kawabata, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, dan seterusnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seketika termasuk khazanah sastra Indonesia? Tentu saja tidak! Mereka termasuk sastra terjemahan. Dengan demikian, siapa pun orang asing yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetap saja karyanya tidak termasuk sebagai khazanah sastra Indonesia.
Jadi, jelas sudah. Sastra Indonesia adalah karya sastra yang ditulis warga negara Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia; tidak ditulis dalam bahasa daerah, tidak pula ditulis dalam bahasa asing mana pun!
Novel Suwarsih Djojopuspito yang berjudul Manusia Bebas (Jakarta: Djambatan, 1975), misalnya. Pada awalnya, novel ini termasuk khazanah sastra Sunda, karena ditulis dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, namun ditolak karena isinya dipandang menyuarakan semangat nasionalisme. Baru pada tahun 1940, novel ini diterbitkan dalam bahasa Belanda di Utrecht, Belanda, dengan kata pendahuluan diberikan oleh E. D. Perron, berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis). Jadi, sebelum novel itu ditulis (atau diterjemahkan) dalam bahasa Indonesia, ia tidak (: belum) dapat dikatakan sastra Indonesia. Setelah diterbitkan penerbit Djambatan (1975) novel Manusia Bebas menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. Kembali, identitas warga negara (Indonesia) dan bahasa yang digunakan (bahasa Indonesia) adalah syarat mutlak karya itu dikatakan sastra Indonesia.
Contoh lain dapat disebutkan di sini. Puisi “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi, awalnya juga ditulis dalam bahasa Sunda. Dengan begitu, termasuk khazanah sastra Sunda. Tetapi manakala Ajip Rosidi menuliskannya kembali dalam bahasa Indonesia, “Jante Arkidam” termasuk sastra Indonesia.
Kasus agak unik terjadi pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (1985) karya Ahmad Tohari. Setelah Ronggeng Dukuh Paruk dikenal luas publik sastra Indonesia sebagai salah satu karya masterpiece Ahmad Tohari dan diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing (Inggris, Jerman, Cina, Belanda, dan Jepang), Ahmad Tohari menulis ulang novel itu dalam bahasa Banyumasan. Ia tak menerjemahkan novel itu mengingat begitu banyak ekspresi kalimat atau kata dalam bahasa Indonesia yang sering tidak tepat atau terasa aneh ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Banyumasan. Dengan pertimbangan itu, Ahmad Tohari memilih, menulis kembali novel itu ke dalam bahasa Banyumasan.
Dengan tiga contoh tadi, kita dapat melihat, bahwa para sastrawan warga negara Indonesia dengan latar belakang budaya etnik, cenderung sedikitnya mempunyai keterampilan menulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Maka, karya yang ditulis dalam bahasa daerah termasuk sastra daerah dan yang ditulis dalam bahasa Indonesia, termasuk sastra Indonesia. Jika ada pertanyaan: bukankah karya itu lebih tepat dikatakan sebagai karya terjemahan dari bahasa daerah? Jika karya itu awalnya berbahasa daerah, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; atau sebaliknya, jika awalnya bahasa Indonesia, lalu ditulis ulang ke dalam bahasa daerah, kita dapat memperlakukannya sebagai karya terjemahan. Tetapi, mengingat pengarangnya warga negara Indonesia, maka kita dapat memasukkannya sebagai karya sastra Indonesia, jika ditulis dalam bahasa Indonesia, dan sastra daerah, jika ditulis dalam bahasa daerah.
Beberapa sastrawan Indonesia yang seenaknya dapat bolak-balik dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, dapat disebutkan di sini: Acep Zamzam Noor, Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Eddy D. Iskandar, Godi Suwarna, Soni Farid Maulana (Sunda), Arswendo Atmowiloto, Suparto Brata, Tulus Setiyadi –bahkan pernah pula Sapardi Djoko Damono tahun 1950-an— (Jawa), I Gusti Dharma Putra, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Bali), Saut Poltak Tambunan, Panusunan Simanjuntak (Batak). Meskipun tentu saja masih banyak nama yang tercecer, setidak-tidaknya, nama-nama itu menunjukkan, bahwa sastrawan Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kepungan kultur etnik, tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari bahasa ibu, bahasa pertama ketika ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Lalu, setelah mereka memasuki sekolah, ada bahasa lain yang wajib dipelajari karena keterikatannya sebagai warga negara, yaitu bahasa Indonesia.
Di sinilah, dua bahasa, yaitu bahasa ibu—atau bahasa daerah—sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, berkembang bersama-sama memasuki alam pemikiran mereka. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia yang tumbuh dalam lingkaran kultur etnik mempunyai kesempatan untuk memasuki dua wilayah sastra, yaitu sastra daerah dan sastra Indonesia. Dalam konteks itu, konsep sastra daerah (di Indonesia) dan sastra Indonesia, ditandai dengan bahasa yang dipakai sebagai sarana ekspresi dan medianya. Perkara identitas etnik tidak digunakan sebagai penanda, lantaran identitas etnik lesap ke dalam identitas kewarganegaraan. Tetapi, ketika identitas itu dihadapkan pada identitas warga negara lain, kewarganegaraan menjadi penanda sastra Indonesia untuk membedakannya dengan sastra asing.
Begitu pentingkah nama dan identitas sastrawan Indonesia atau sastrawan mana pun di dunia ini? Bukankah ada pernyataan dari seorang bijak (jika tak silap, Shakespeare): “Apalah arti sebuah nama.”
Pernyataan itu mesti dimaknai secara luas. Betul, nama tidak penting ketika seseorang termasuk kategori berikut ini:
(1) Tidak punya kemampuan untuk menghasilkan karya apa pun yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Maka, dalam arena sosial, ia sekadar data, angka, nomor, dan pelengkap jumlah statistik. Ada atau tidak ada nama itu, tak akan berpengaruh apa pun dalam kehidupan sosial lingkungan sekitarnya. Jadi, nama –buat yang bersangkutan, memang tidak penting.
(2) Orang yang bersangkutan sekadar sebagai bagian pelengkap dari kerumunan massa. Nama dan identitas baginya tidak penting, karena ia cuma individu yang tidak punya kepribadian lantaran dirinya lesap dalam kerumunan massa. Sebagai sekrup kecil, yang ada atau tidak ada sekrup itu pun, semua tetap berjalan dengan baik. Para penggembira, epigonis, pembebek sejati, gampang tergelincir masuk kategori ini. Eksistensi kediriannya berada dalam keseolah-olahan; seolah-olah penting ketika ia berada dalam kelompok, grup, atau kerumunan massa. Ia cenderung berbangga diri atas keberhasilan orang lain. Orang yang tidak punya kepribadian semacam ini, sudah cukup puas hidup dalam bayang-bayang. Maka, nama baginya tidak penting, sebab kepuasannya berada dalam zona nyaman hidup orang lain.
(3) Ada kecenderungan lebih mementingkan perbuatan daripada identitas atau status dan jabatan sosial. Seorang pejabat publik, misalnya, jika ia tidak punya peran apa pun, tidak memberi kemaslahatan bagi masyarakatnya, kehadiran namanya tidak penting lagi, sebab ada atau tidak ada si pejabat publik itu, kehidupan sosial tetap akan berjalan baik-baik saja. Status sosialnya sebagai pejabat publik tidak berbeda dengan pedagang sayuran di pasar atau sopir angkutan umum. Sebaliknya, seseorang yang tak jelas status sosialnya, bukan pesohor, dan tidak dikenal luas masyarakat, tetapi ia kerap berbuat baik pada sesama, memberi santunan pada ratusan atau ribuan anak yatim-piatu, menjadi “Bapak Asuh” bagi ratusan siswa, atau tanpa publisitas dan tetap berada dalam senyap, ia berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya, nama baginya tidak penting lagi. Sebab, baginya, yang lebih penting adalah perbuatan konkret bagi kemaslahatan masyarakat banyak.
Dalam konteks ketiga hal tadi, apalah arti sebuah nama, dapat kita benarkan. Pembenarannya, kecuali kategori (3), lantaran ia tidak memberi kontribusi apa pun bagi kehidupan masyarakat, apalagi bagi kehidupan bangsa! Tetapi, ketika seseorang berkarya, dan karyanya diakui masyarakat dunia, nama dan identitas menjadi penting. Di belakang nama Affandi, Rendra atau Arifin C. Noer, ada identitas kebangsaan yang membedakannya dari Rembrand, Jean Paul Sartre, Anton Tjekov, Rabindranath Tagore, Yasunari Kawabata, dan seterusnya.
Begitulah, nama dan identitas dapat dimaknai semacam pintu masuk untuk memahami kehidupan sosio-budaya yang melatarbelakangi proses kreatif sastrawan yang bersangkutan. Bukankah karya seseorang tidak begitu saja turun dari langit dibawa para malaikat? Karya itu tercipta melalui proses kreatif pergulatan pemikiran, kegelisahan sosio-budaya-politik, bahkan juga estetika. Dengan demikian, nama dan identitas tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi seseorang yang bergulat dalam pemikiran dan kreativitas, nama dan identitas menjadi penting sebagai penanda kebangsaan atau kesukubangsaan. Juga sebagai trade mark dirinya sebagai seniman atau sebagai apa pun yang punya kekhasan, keunikan, dan kepribadian dirinya yang berbeda dengan seniman lain atau orang lain.
Bagi individu warga negara yang keberadaannya berhadapan dengan kekayaan kultur etnik seperti warga negara Indonesia, nama dan identitas mutlak penting. Ia tidak hanya menegaskan kekhasan etnisitas sebagai sesama warga negara Indonesia, tetapi juga sebagai penanda identitas kebangsaan yang berbeda dari bangsa lain. Dengan demikian, di balik bendera besar Indonesia, sekaligus juga ada kekhasan dan keunikan, yaitu berkaitan dengan perkara etnisitas. Ada juga kepribadian, dignitas, dan spirit dirinya sebagai individu yang unik, khas, dan beda.
Ilustrasi yang disampaikan tadi bertujuan untuk menegaskan kembali, bahwa nama dan identitas penting sebagai penanda untuk menempatkan seorang sastrawan ke dalam kotak sastra daerah, sastra Indonesia atau sastra asing. Jika orang yang bersangkutan merasa tidak perlu dimasukkan ke dalam kotak mana pun, ya tidak apa-apa. Tetapi, ketika ia menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia—meskipun ia memakai nama samaran atau nama pena—dan kita dapat menduganya sebagai warga negara Indonesia, ya ia mesti menerima dengan legowo jika ada orang yang memasukkannya ke dalam kotak sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi perlu ditegaskan: bahwa sastra Indonesia adalah semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia hasil karya warga negara Indonesia. Titik!
***
http://sastra-indonesia.com/2019/12/apa-sih-sastra-indonesia/
Sebelum membincangkan lebih jauh tentang problematika sastra Indonesia, perlu kiranya merumuskan dahulu, apa sih, sastra Indonesia itu? Jika kita bersepakat dengan konsep, apa yang dimaksud sastra Indonesia, barulah kita meneroka lebih jauh ke tradisi yang melatarbelakanginya; apa yang menjadi karakteristik atau ciri-ciri karya sastra itu termasuk sastra Indonesia; apa pula syarat yang menyertainya.
Kembali kita munculkan lagi pertanyaan tadi: apa sih, sastra Indonesia?
Mengingat ada tiga ragam sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama –dan belakangan masuk pula esai, maka siapa pun orang Indonesia—yang secara hukum kenegaraan menjadi warga negara Indonesia— jika ia menulis atau menghasilkan karya sastra, baik prosa, puisi, atau drama (dan esai) dalam bahasa Indonesia, karyanya termasuklah khazanah sastra Indonesia. Jadi, syarat bahasa yang digunakan dan identitas kewarganegaraan, mutlak sebagai ciri yang menandainya.
Bagaimana jika ada orang atau warga negara Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa Sunda, Jawa atau bahasa daerah lainnya, atau juga bahasa asing, apakah termasuk sastra Indonesia? Sudah jelas, bahasa Indonesia bukanlah bahasa daerah; juga bukan bahasa asing. Bahasa Indonesia adalah bahasa negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia, Bab II, Pasal 4, dinyatakan:
(1) Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara.
(2) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing, berkedudukan sebagai Bahasa Daerah.
(3) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, berkedudukan sebagai Bahasa Asing.
Nah, jika ada warga negara Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa daerah, tentu saja kita tidak dapat memasukkannya sebagai sastra Indonesia, tetapi sebagai sastra daerah. Lalu, bagaimana jika orang itu menulis dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jepang atau Belanda? Tegas pula kita menyatakannya: bukan sastra Indonesia! Jika begitu, apakah karya sastra yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Inggris, Jepang, atau Belanda termasuk sastra Inggris atau Jepang atau Belanda?
Bagi saya sebagai warga negara Indonesia, karya sastra yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Inggris, Jepang, Belanda atau bahasa asing lainnya jelas: bukan sastra Indonesia, bukan pula sastra Inggris, Jepang atau Belanda. Selain akan ada penolakan dari ketiga bangsa itu untuk memasukkannya sebagai karya sastra mereka, juga berkaitan dengan identitas kewarganegaraan. Siapa pun tentu saja boleh menulis karya sastra dalam bahasa asing mana pun, tetapi ketika ia perlu identitas khazanah sastra sebuah bangsa, ia akan menghadapi masalah keidentitasan. Bagaimana mungkin orang yang bukan warga negara Inggris, Jepang atau Belanda, tiba-tiba karyanya menjadi bagian dari khazanah kesusastraan mereka?
Dengan dasar pemikiran itu, maka orang asing warga negara mana pun, yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, karyanya tidaklah dapat dimasukkan sebagai karya sastra Indonesia. Tentu saja kita berterima kasih pada orang asing yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetapi berkaitan dengan identitas kewarganegaraannya yang bukan warga negara Indonesia, kita tegas menyatakannya: bukan sastra Indonesia! Apakah karya-karya Shakespeare, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Sophokles, Yasunari Kawabata, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, dan seterusnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seketika termasuk khazanah sastra Indonesia? Tentu saja tidak! Mereka termasuk sastra terjemahan. Dengan demikian, siapa pun orang asing yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetap saja karyanya tidak termasuk sebagai khazanah sastra Indonesia.
Jadi, jelas sudah. Sastra Indonesia adalah karya sastra yang ditulis warga negara Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia; tidak ditulis dalam bahasa daerah, tidak pula ditulis dalam bahasa asing mana pun!
Novel Suwarsih Djojopuspito yang berjudul Manusia Bebas (Jakarta: Djambatan, 1975), misalnya. Pada awalnya, novel ini termasuk khazanah sastra Sunda, karena ditulis dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, namun ditolak karena isinya dipandang menyuarakan semangat nasionalisme. Baru pada tahun 1940, novel ini diterbitkan dalam bahasa Belanda di Utrecht, Belanda, dengan kata pendahuluan diberikan oleh E. D. Perron, berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis). Jadi, sebelum novel itu ditulis (atau diterjemahkan) dalam bahasa Indonesia, ia tidak (: belum) dapat dikatakan sastra Indonesia. Setelah diterbitkan penerbit Djambatan (1975) novel Manusia Bebas menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. Kembali, identitas warga negara (Indonesia) dan bahasa yang digunakan (bahasa Indonesia) adalah syarat mutlak karya itu dikatakan sastra Indonesia.
Contoh lain dapat disebutkan di sini. Puisi “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi, awalnya juga ditulis dalam bahasa Sunda. Dengan begitu, termasuk khazanah sastra Sunda. Tetapi manakala Ajip Rosidi menuliskannya kembali dalam bahasa Indonesia, “Jante Arkidam” termasuk sastra Indonesia.
Kasus agak unik terjadi pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (1985) karya Ahmad Tohari. Setelah Ronggeng Dukuh Paruk dikenal luas publik sastra Indonesia sebagai salah satu karya masterpiece Ahmad Tohari dan diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing (Inggris, Jerman, Cina, Belanda, dan Jepang), Ahmad Tohari menulis ulang novel itu dalam bahasa Banyumasan. Ia tak menerjemahkan novel itu mengingat begitu banyak ekspresi kalimat atau kata dalam bahasa Indonesia yang sering tidak tepat atau terasa aneh ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Banyumasan. Dengan pertimbangan itu, Ahmad Tohari memilih, menulis kembali novel itu ke dalam bahasa Banyumasan.
Dengan tiga contoh tadi, kita dapat melihat, bahwa para sastrawan warga negara Indonesia dengan latar belakang budaya etnik, cenderung sedikitnya mempunyai keterampilan menulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Maka, karya yang ditulis dalam bahasa daerah termasuk sastra daerah dan yang ditulis dalam bahasa Indonesia, termasuk sastra Indonesia. Jika ada pertanyaan: bukankah karya itu lebih tepat dikatakan sebagai karya terjemahan dari bahasa daerah? Jika karya itu awalnya berbahasa daerah, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; atau sebaliknya, jika awalnya bahasa Indonesia, lalu ditulis ulang ke dalam bahasa daerah, kita dapat memperlakukannya sebagai karya terjemahan. Tetapi, mengingat pengarangnya warga negara Indonesia, maka kita dapat memasukkannya sebagai karya sastra Indonesia, jika ditulis dalam bahasa Indonesia, dan sastra daerah, jika ditulis dalam bahasa daerah.
Beberapa sastrawan Indonesia yang seenaknya dapat bolak-balik dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, dapat disebutkan di sini: Acep Zamzam Noor, Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Eddy D. Iskandar, Godi Suwarna, Soni Farid Maulana (Sunda), Arswendo Atmowiloto, Suparto Brata, Tulus Setiyadi –bahkan pernah pula Sapardi Djoko Damono tahun 1950-an— (Jawa), I Gusti Dharma Putra, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Bali), Saut Poltak Tambunan, Panusunan Simanjuntak (Batak). Meskipun tentu saja masih banyak nama yang tercecer, setidak-tidaknya, nama-nama itu menunjukkan, bahwa sastrawan Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kepungan kultur etnik, tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari bahasa ibu, bahasa pertama ketika ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Lalu, setelah mereka memasuki sekolah, ada bahasa lain yang wajib dipelajari karena keterikatannya sebagai warga negara, yaitu bahasa Indonesia.
Di sinilah, dua bahasa, yaitu bahasa ibu—atau bahasa daerah—sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, berkembang bersama-sama memasuki alam pemikiran mereka. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia yang tumbuh dalam lingkaran kultur etnik mempunyai kesempatan untuk memasuki dua wilayah sastra, yaitu sastra daerah dan sastra Indonesia. Dalam konteks itu, konsep sastra daerah (di Indonesia) dan sastra Indonesia, ditandai dengan bahasa yang dipakai sebagai sarana ekspresi dan medianya. Perkara identitas etnik tidak digunakan sebagai penanda, lantaran identitas etnik lesap ke dalam identitas kewarganegaraan. Tetapi, ketika identitas itu dihadapkan pada identitas warga negara lain, kewarganegaraan menjadi penanda sastra Indonesia untuk membedakannya dengan sastra asing.
Begitu pentingkah nama dan identitas sastrawan Indonesia atau sastrawan mana pun di dunia ini? Bukankah ada pernyataan dari seorang bijak (jika tak silap, Shakespeare): “Apalah arti sebuah nama.”
Pernyataan itu mesti dimaknai secara luas. Betul, nama tidak penting ketika seseorang termasuk kategori berikut ini:
(1) Tidak punya kemampuan untuk menghasilkan karya apa pun yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Maka, dalam arena sosial, ia sekadar data, angka, nomor, dan pelengkap jumlah statistik. Ada atau tidak ada nama itu, tak akan berpengaruh apa pun dalam kehidupan sosial lingkungan sekitarnya. Jadi, nama –buat yang bersangkutan, memang tidak penting.
(2) Orang yang bersangkutan sekadar sebagai bagian pelengkap dari kerumunan massa. Nama dan identitas baginya tidak penting, karena ia cuma individu yang tidak punya kepribadian lantaran dirinya lesap dalam kerumunan massa. Sebagai sekrup kecil, yang ada atau tidak ada sekrup itu pun, semua tetap berjalan dengan baik. Para penggembira, epigonis, pembebek sejati, gampang tergelincir masuk kategori ini. Eksistensi kediriannya berada dalam keseolah-olahan; seolah-olah penting ketika ia berada dalam kelompok, grup, atau kerumunan massa. Ia cenderung berbangga diri atas keberhasilan orang lain. Orang yang tidak punya kepribadian semacam ini, sudah cukup puas hidup dalam bayang-bayang. Maka, nama baginya tidak penting, sebab kepuasannya berada dalam zona nyaman hidup orang lain.
(3) Ada kecenderungan lebih mementingkan perbuatan daripada identitas atau status dan jabatan sosial. Seorang pejabat publik, misalnya, jika ia tidak punya peran apa pun, tidak memberi kemaslahatan bagi masyarakatnya, kehadiran namanya tidak penting lagi, sebab ada atau tidak ada si pejabat publik itu, kehidupan sosial tetap akan berjalan baik-baik saja. Status sosialnya sebagai pejabat publik tidak berbeda dengan pedagang sayuran di pasar atau sopir angkutan umum. Sebaliknya, seseorang yang tak jelas status sosialnya, bukan pesohor, dan tidak dikenal luas masyarakat, tetapi ia kerap berbuat baik pada sesama, memberi santunan pada ratusan atau ribuan anak yatim-piatu, menjadi “Bapak Asuh” bagi ratusan siswa, atau tanpa publisitas dan tetap berada dalam senyap, ia berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya, nama baginya tidak penting lagi. Sebab, baginya, yang lebih penting adalah perbuatan konkret bagi kemaslahatan masyarakat banyak.
Dalam konteks ketiga hal tadi, apalah arti sebuah nama, dapat kita benarkan. Pembenarannya, kecuali kategori (3), lantaran ia tidak memberi kontribusi apa pun bagi kehidupan masyarakat, apalagi bagi kehidupan bangsa! Tetapi, ketika seseorang berkarya, dan karyanya diakui masyarakat dunia, nama dan identitas menjadi penting. Di belakang nama Affandi, Rendra atau Arifin C. Noer, ada identitas kebangsaan yang membedakannya dari Rembrand, Jean Paul Sartre, Anton Tjekov, Rabindranath Tagore, Yasunari Kawabata, dan seterusnya.
Begitulah, nama dan identitas dapat dimaknai semacam pintu masuk untuk memahami kehidupan sosio-budaya yang melatarbelakangi proses kreatif sastrawan yang bersangkutan. Bukankah karya seseorang tidak begitu saja turun dari langit dibawa para malaikat? Karya itu tercipta melalui proses kreatif pergulatan pemikiran, kegelisahan sosio-budaya-politik, bahkan juga estetika. Dengan demikian, nama dan identitas tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi seseorang yang bergulat dalam pemikiran dan kreativitas, nama dan identitas menjadi penting sebagai penanda kebangsaan atau kesukubangsaan. Juga sebagai trade mark dirinya sebagai seniman atau sebagai apa pun yang punya kekhasan, keunikan, dan kepribadian dirinya yang berbeda dengan seniman lain atau orang lain.
Bagi individu warga negara yang keberadaannya berhadapan dengan kekayaan kultur etnik seperti warga negara Indonesia, nama dan identitas mutlak penting. Ia tidak hanya menegaskan kekhasan etnisitas sebagai sesama warga negara Indonesia, tetapi juga sebagai penanda identitas kebangsaan yang berbeda dari bangsa lain. Dengan demikian, di balik bendera besar Indonesia, sekaligus juga ada kekhasan dan keunikan, yaitu berkaitan dengan perkara etnisitas. Ada juga kepribadian, dignitas, dan spirit dirinya sebagai individu yang unik, khas, dan beda.
Ilustrasi yang disampaikan tadi bertujuan untuk menegaskan kembali, bahwa nama dan identitas penting sebagai penanda untuk menempatkan seorang sastrawan ke dalam kotak sastra daerah, sastra Indonesia atau sastra asing. Jika orang yang bersangkutan merasa tidak perlu dimasukkan ke dalam kotak mana pun, ya tidak apa-apa. Tetapi, ketika ia menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia—meskipun ia memakai nama samaran atau nama pena—dan kita dapat menduganya sebagai warga negara Indonesia, ya ia mesti menerima dengan legowo jika ada orang yang memasukkannya ke dalam kotak sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi perlu ditegaskan: bahwa sastra Indonesia adalah semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia hasil karya warga negara Indonesia. Titik!
***
http://sastra-indonesia.com/2019/12/apa-sih-sastra-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar