Minggu, 29 Desember 2019

APA SIH, SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana

Sebelum membincangkan lebih jauh tentang problematika sastra Indonesia, perlu kiranya merumuskan dahulu, apa sih, sastra Indonesia itu? Jika kita bersepakat dengan konsep, apa yang dimaksud sastra Indonesia, barulah kita meneroka lebih jauh ke tradisi yang melatarbelakanginya; apa yang menjadi karakteristik atau ciri-ciri karya sastra itu termasuk sastra Indonesia; apa pula syarat yang menyertainya.

Kembali kita munculkan lagi pertanyaan tadi: apa sih, sastra Indonesia?
Mengingat ada tiga ragam sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama –dan belakangan masuk pula esai, maka siapa pun orang Indonesia—yang secara hukum kenegaraan menjadi warga negara Indonesia— jika ia menulis atau menghasilkan karya sastra, baik prosa, puisi, atau drama (dan esai) dalam bahasa Indonesia, karyanya termasuklah khazanah sastra Indonesia. Jadi, syarat bahasa yang digunakan dan identitas kewarganegaraan, mutlak sebagai ciri yang menandainya.

Bagaimana jika ada orang atau warga negara Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa Sunda, Jawa atau bahasa daerah lainnya, atau juga bahasa asing, apakah termasuk sastra Indonesia? Sudah jelas, bahasa Indonesia bukanlah bahasa daerah; juga bukan bahasa asing. Bahasa Indonesia adalah bahasa negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia, Bab II, Pasal 4, dinyatakan:

(1) Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara.
(2) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing, berkedudukan sebagai Bahasa Daerah.
(3) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, berkedudukan sebagai Bahasa Asing.

Nah, jika ada warga negara Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa daerah, tentu saja kita tidak dapat memasukkannya sebagai sastra Indonesia, tetapi sebagai sastra daerah. Lalu, bagaimana jika orang itu menulis dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jepang atau Belanda? Tegas pula kita menyatakannya: bukan sastra Indonesia! Jika begitu, apakah karya sastra yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Inggris, Jepang, atau Belanda termasuk sastra Inggris atau Jepang atau Belanda?

Bagi saya sebagai warga negara Indonesia, karya sastra yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Inggris, Jepang, Belanda atau bahasa asing lainnya jelas: bukan sastra Indonesia, bukan pula sastra Inggris, Jepang atau Belanda. Selain akan ada penolakan dari ketiga bangsa itu untuk memasukkannya sebagai karya sastra mereka, juga berkaitan dengan identitas kewarganegaraan. Siapa pun tentu saja boleh menulis karya sastra dalam bahasa asing mana pun, tetapi ketika ia perlu identitas khazanah sastra sebuah bangsa, ia akan menghadapi masalah keidentitasan. Bagaimana mungkin orang yang bukan warga negara Inggris, Jepang atau Belanda, tiba-tiba karyanya menjadi bagian dari khazanah kesusastraan mereka?

Dengan dasar pemikiran itu, maka orang asing warga negara mana pun, yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, karyanya tidaklah dapat dimasukkan sebagai karya sastra Indonesia. Tentu saja kita berterima kasih pada orang asing yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetapi berkaitan dengan identitas kewarganegaraannya yang bukan warga negara Indonesia, kita tegas menyatakannya: bukan sastra Indonesia! Apakah karya-karya Shakespeare, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Sophokles, Yasunari Kawabata, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, dan seterusnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seketika termasuk khazanah sastra Indonesia? Tentu saja tidak! Mereka termasuk sastra terjemahan. Dengan demikian, siapa pun orang asing yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetap saja karyanya tidak termasuk sebagai khazanah sastra Indonesia.

Jadi, jelas sudah. Sastra Indonesia adalah karya sastra yang ditulis warga negara Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia; tidak ditulis dalam bahasa daerah, tidak pula ditulis dalam bahasa asing mana pun!

Novel Suwarsih Djojopuspito yang berjudul Manusia Bebas (Jakarta: Djambatan, 1975), misalnya. Pada awalnya, novel ini termasuk khazanah sastra Sunda, karena ditulis dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, namun ditolak karena isinya dipandang menyuarakan semangat nasionalisme. Baru pada tahun 1940, novel ini diterbitkan dalam bahasa Belanda di Utrecht, Belanda, dengan kata pendahuluan diberikan oleh E. D. Perron, berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis). Jadi, sebelum novel itu ditulis (atau diterjemahkan) dalam bahasa Indonesia, ia tidak (: belum) dapat dikatakan sastra Indonesia. Setelah diterbitkan penerbit Djambatan (1975) novel Manusia Bebas menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. Kembali, identitas warga negara (Indonesia) dan bahasa yang digunakan (bahasa Indonesia) adalah syarat mutlak karya itu dikatakan sastra Indonesia.

Contoh lain dapat disebutkan di sini. Puisi “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi, awalnya juga ditulis dalam bahasa Sunda. Dengan begitu, termasuk khazanah sastra Sunda. Tetapi manakala Ajip Rosidi menuliskannya kembali dalam bahasa Indonesia, “Jante Arkidam” termasuk sastra Indonesia.

Kasus agak unik terjadi pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (1985) karya Ahmad Tohari. Setelah Ronggeng Dukuh Paruk dikenal luas publik sastra Indonesia sebagai salah satu karya masterpiece Ahmad Tohari dan diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing (Inggris, Jerman, Cina, Belanda, dan Jepang), Ahmad Tohari menulis ulang novel itu dalam bahasa Banyumasan. Ia tak menerjemahkan novel itu mengingat begitu banyak ekspresi kalimat atau kata dalam bahasa Indonesia yang sering tidak tepat atau terasa aneh ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Banyumasan. Dengan pertimbangan itu, Ahmad Tohari memilih, menulis kembali novel itu ke dalam bahasa Banyumasan.

Dengan tiga contoh tadi, kita dapat melihat, bahwa para sastrawan warga negara Indonesia dengan latar belakang budaya etnik, cenderung sedikitnya mempunyai keterampilan menulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Maka, karya yang ditulis dalam bahasa daerah termasuk sastra daerah dan yang ditulis dalam bahasa Indonesia, termasuk sastra Indonesia. Jika ada pertanyaan: bukankah karya itu lebih tepat dikatakan sebagai karya terjemahan dari bahasa daerah? Jika karya itu awalnya berbahasa daerah, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; atau sebaliknya, jika awalnya bahasa Indonesia, lalu ditulis ulang ke dalam bahasa daerah, kita dapat memperlakukannya sebagai karya terjemahan. Tetapi, mengingat pengarangnya warga negara Indonesia, maka kita dapat memasukkannya sebagai karya sastra Indonesia, jika ditulis dalam bahasa Indonesia, dan sastra daerah, jika ditulis dalam bahasa daerah.

Beberapa sastrawan Indonesia yang seenaknya dapat bolak-balik dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, dapat disebutkan di sini: Acep Zamzam Noor, Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Eddy D. Iskandar, Godi Suwarna, Soni Farid Maulana (Sunda), Arswendo Atmowiloto, Suparto Brata, Tulus Setiyadi –bahkan pernah pula Sapardi Djoko Damono tahun 1950-an— (Jawa), I Gusti Dharma Putra, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Bali), Saut Poltak Tambunan, Panusunan Simanjuntak (Batak). Meskipun tentu saja masih banyak nama yang tercecer, setidak-tidaknya, nama-nama itu menunjukkan, bahwa sastrawan Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kepungan kultur etnik, tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari bahasa ibu, bahasa pertama ketika ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Lalu, setelah mereka memasuki sekolah, ada bahasa lain yang wajib dipelajari karena keterikatannya sebagai warga negara, yaitu bahasa Indonesia.

Di sinilah, dua bahasa, yaitu bahasa ibu—atau bahasa daerah—sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, berkembang bersama-sama memasuki alam pemikiran mereka. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia yang tumbuh dalam lingkaran kultur etnik mempunyai kesempatan untuk memasuki dua wilayah sastra, yaitu sastra daerah dan sastra Indonesia. Dalam konteks itu, konsep sastra daerah (di Indonesia) dan sastra Indonesia, ditandai dengan bahasa yang dipakai sebagai sarana ekspresi dan medianya. Perkara identitas etnik tidak digunakan sebagai penanda, lantaran identitas etnik lesap ke dalam identitas kewarganegaraan. Tetapi, ketika identitas itu dihadapkan pada identitas warga negara lain, kewarganegaraan menjadi penanda sastra Indonesia untuk membedakannya dengan sastra asing.

Begitu pentingkah nama dan identitas sastrawan Indonesia atau sastrawan mana pun di dunia ini? Bukankah ada pernyataan dari seorang bijak (jika tak silap, Shakespeare): “Apalah arti sebuah nama.”
Pernyataan itu mesti dimaknai secara luas. Betul, nama tidak penting ketika seseorang termasuk kategori berikut ini:

(1) Tidak punya kemampuan untuk menghasilkan karya apa pun yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Maka, dalam arena sosial, ia sekadar data, angka, nomor, dan pelengkap jumlah statistik. Ada atau tidak ada nama itu, tak akan berpengaruh apa pun dalam kehidupan sosial lingkungan sekitarnya. Jadi, nama –buat yang bersangkutan, memang tidak penting.

(2) Orang yang bersangkutan sekadar sebagai bagian pelengkap dari kerumunan massa. Nama dan identitas baginya tidak penting, karena ia cuma individu yang tidak punya kepribadian lantaran dirinya lesap dalam kerumunan massa. Sebagai sekrup kecil, yang ada atau tidak ada sekrup itu pun, semua tetap berjalan dengan baik. Para penggembira, epigonis, pembebek sejati, gampang tergelincir masuk kategori ini. Eksistensi kediriannya berada dalam keseolah-olahan; seolah-olah penting ketika ia berada dalam kelompok, grup, atau kerumunan massa. Ia cenderung berbangga diri atas keberhasilan orang lain. Orang yang tidak punya kepribadian semacam ini, sudah cukup puas hidup dalam bayang-bayang. Maka, nama baginya tidak penting, sebab kepuasannya berada dalam zona nyaman hidup orang lain.

(3) Ada kecenderungan lebih mementingkan perbuatan daripada identitas atau status dan jabatan sosial. Seorang pejabat publik, misalnya, jika ia tidak punya peran apa pun, tidak memberi kemaslahatan bagi masyarakatnya, kehadiran namanya tidak penting lagi, sebab ada atau tidak ada si pejabat publik itu, kehidupan sosial tetap akan berjalan baik-baik saja. Status sosialnya sebagai pejabat publik tidak berbeda dengan pedagang sayuran di pasar atau sopir angkutan umum. Sebaliknya, seseorang yang tak jelas status sosialnya, bukan pesohor, dan tidak dikenal luas masyarakat, tetapi ia kerap berbuat baik pada sesama, memberi santunan pada ratusan atau ribuan anak yatim-piatu, menjadi “Bapak Asuh” bagi ratusan siswa, atau tanpa publisitas dan tetap berada dalam senyap, ia berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya, nama baginya tidak penting lagi. Sebab, baginya, yang lebih penting adalah perbuatan konkret bagi kemaslahatan masyarakat banyak.

Dalam konteks ketiga hal tadi, apalah arti sebuah nama, dapat kita benarkan. Pembenarannya, kecuali kategori (3), lantaran ia tidak memberi kontribusi apa pun bagi kehidupan masyarakat, apalagi bagi kehidupan bangsa! Tetapi, ketika seseorang berkarya, dan karyanya diakui masyarakat dunia, nama dan identitas menjadi penting. Di belakang nama Affandi, Rendra atau Arifin C. Noer, ada identitas kebangsaan yang membedakannya dari Rembrand, Jean Paul Sartre, Anton Tjekov, Rabindranath Tagore, Yasunari Kawabata, dan seterusnya.

Begitulah, nama dan identitas dapat dimaknai semacam pintu masuk untuk memahami kehidupan sosio-budaya yang melatarbelakangi proses kreatif sastrawan yang bersangkutan. Bukankah karya seseorang tidak begitu saja turun dari langit dibawa para malaikat? Karya itu tercipta melalui proses kreatif pergulatan pemikiran, kegelisahan sosio-budaya-politik, bahkan juga estetika. Dengan demikian, nama dan identitas tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi seseorang yang bergulat dalam pemikiran dan kreativitas, nama dan identitas menjadi penting sebagai penanda kebangsaan atau kesukubangsaan. Juga sebagai trade mark dirinya sebagai seniman atau sebagai apa pun yang punya kekhasan, keunikan, dan kepribadian dirinya yang berbeda dengan seniman lain atau orang lain.

Bagi individu warga negara yang keberadaannya berhadapan dengan kekayaan kultur etnik seperti warga negara Indonesia, nama dan identitas mutlak penting. Ia tidak hanya menegaskan kekhasan etnisitas sebagai sesama warga negara Indonesia, tetapi juga sebagai penanda identitas kebangsaan yang berbeda dari bangsa lain. Dengan demikian, di balik bendera besar Indonesia, sekaligus juga ada kekhasan dan keunikan, yaitu berkaitan dengan perkara etnisitas. Ada juga kepribadian, dignitas, dan spirit dirinya sebagai individu yang unik, khas, dan beda.

Ilustrasi yang disampaikan tadi bertujuan untuk menegaskan kembali, bahwa nama dan identitas penting sebagai penanda untuk menempatkan seorang sastrawan ke dalam kotak sastra daerah, sastra Indonesia atau sastra asing. Jika orang yang bersangkutan merasa tidak perlu dimasukkan ke dalam kotak mana pun, ya tidak apa-apa. Tetapi, ketika ia menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia—meskipun ia memakai nama samaran atau nama pena—dan kita dapat menduganya sebagai warga negara Indonesia, ya ia mesti menerima dengan legowo jika ada orang yang memasukkannya ke dalam kotak sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi perlu ditegaskan: bahwa sastra Indonesia adalah semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia hasil karya warga negara Indonesia. Titik!
***

http://sastra-indonesia.com/2019/12/apa-sih-sastra-indonesia/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati