Kamis, 19 Agustus 2021

Bapak

Felix K. Nesi *
Jawa Pos, 22 Des 2019
 
Saya sedang menyetrika ketika kepala Bapak nongol dari balik pintu.
 
”Di mana kamu ikat sapi?” ia bertanya.
 
”Di pohon ampupu. Dekat kandang babi,” saya menjawab.
 
”Tidak ada.”
 
Matanya seperti datang dari masa lalu. Masa ketika saya yakin bahwa saya bisa bermain bola, dan ia bersikeras bahwa saya tidak mampu menjadi atlet.
 
Saya melepas setrika dan tergopoh ke belakang. Hujan baru saja reda. Malam jatuh dan hari mulai menjadi dingin. Cahaya kekuningan dari bola lampu yang tergantung di depan uembubû1 terhalang kandang babi. Saya mengeluarkan telepon genggam, menyalakan lampunya, mengitari kandang babi dan menuju pohon ampupu. Pohon itu berdiri, sepi sendiri, menatap saya. Tidak ada sapi. Katak berketur dari segala arah.
 
Bapak mengikuti saya dari belakang. Ranting lamtoro sisa makanan sapi menggerisik beradu dengan kakinya.
 
”Tadi saya ikat di sini,” saya berkata.
 
Ia mendekati pohon ampupu. Cahaya dari telepon genggam membuat ubannya menjadi perak. Ia berjongkok, memperhatikan pokok pohon ampupu, lalu menengadah dan menatap saya.
 
Matanya masih datang dari masa lalu. Mata yang menatap saat saya terpental tiga meter usai beradu kaki dengan seseorang berbadan kekar di tengah lapangan. Apa kata Bapak, kamu terlalu lemah untuk sepak bola.
 
Saya berjalan ke arah bahan2 dengan lampu dari telepon genggam yang hanya samar-samar. Sedikit membungkuk, saya melihat jejak sapi ada di mana-mana. Beberapa telah samar terhapus hujan. Saya tidak bisa membedakan usia jejak-jejak itu –tidak seperti Bapak. Saya tidak pernah bisa menjadi Bapak.
 
Sore tadi saya disergap hujan ketika menarik sapi dari sabana. Sapi betina dan anaknya yang lincah, nakal sekali. Dulu Bapak punya banyak sapi. Berkurang banyak sesudah Ibu meninggal. Saya basah kuyup. Dua sapi itu berdiri di semak dan tidak ingin bergerak. Yang kecil melompat-lompat, menangkap pucuk dedaunan gamal dengan lidahnya. Dengan usaha keras saya berhasil menarik mereka ke belakang rumah. Saya ikat terburu-buru di pohon ampupu dan berlari ke dalam rumah. Saya mandi dan menyetrika baju baru.
 
”Apa yang kamu lakukan?” Bapak bertanya. Setengah berteriak. ”Kamu tidak bisa menemukan sapi hanya dengan bengong di dekat bahan.”
 
Ia selalu tahu bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya tidak bisa bermain bola. Saya tidak bisa memanjat pohon tuak. Saya tidak bisa menunggang kuda. Saya tidak bisa mencari sapi.
 
”Romi! Sudah habis kau setrika pakaian?”
 
Suara Agatha mengembalikan saya dari masa lalu. Saya menoleh. Perempuan itu berdiri di belakang uembubû. Pelita di tangan kanan. Nampan di tangan kiri. Uap ubi jalar yang mengepul dari nampan menari-nari menembus cahaya lampu senter.
 
Saya teringat kepada sesuatu. Spontan saya berlari ke dalam rumah. Bau hangus menusuk hidung sejak saya menapaki tangga licin di pintu belakang. Buru-buru saya masuk ke kamar. Di depan saya, baju putih yang rupawan itu telah menyatu dengan selimut yang saya pakai sebagai alas setrika. Lubang sebesar setrika menganga di punggungnya. Saya merasa ingin kencing.
***
 
Bapak menikahi Agatha dua tahun yang lalu. Belisnya tujuh puluh lima juta. Ia punya darah Flores dan pernah kuliah di Surabaya. Kombinasi yang bagus untuk harga belis.
 
Mereka mengadakan pesta yang meriah. Dansa sampai matahari naik. Kue pengantin diganti piramida sirih-pinang. Setiap undangan mendapatkan gantungan kunci sebagai hadiah, bertulisan nama mereka. Romantis sekali.
 
Saya terlalu sedih untuk pulang kampung dan mengikuti pesta meriah itu. Ibu baru saja meninggal. Belum juga satu tahun. Saya bertahan saja di Kupang.
 
”Dosen tidak memberi izin,” saya memberi alasan.
 
”Apakah kamu tidak bisa bolos? Titip absen ke temanmu.”
 
”Jadwal kuliah sangat padat. Yang bolos tidak bisa mengikuti ujian semester.”
 
Tetapi saya tidak masuk kuliah. Dua hari di kos saja. Tidur dan menangis untuk Ibu.
 
Kematian Ibu, sebenarnya, bukan hal yang buruk-buruk amat. Bukan sesuatu yang mendadak. Stroke telah lama membuat sebelah badannya berhenti berfungsi. Ia berjalan dengan tongkat, seperti mayat hidup. Kadang tidak bisa melakukan apa-apa. Perlu disuapi. Perlu diceboki. Setengah orang yang melihatnya berharap ia segera mati. Agar penderitaannya berakhir.
 
Bapak meniduri Agatha sebelum Ibu meninggal. Saya berharap tidak ada orang yang tahu itu. Tetapi saya tahu. Tentu banyak orang yang tahu juga. Di kampung sekecil ini, kabar menyebar lebih cepat daripada wabah.
 
Agatha adalah pendoa. Kali pertama ia ke rumah ini adalah untuk mendoakan Ibu. Bapak yang membawanya. Ia berdoa sangat panjang sambil mengangkat-angkat tangannya ke langit-langit rumah. Ia mencelupkan rosario ke dalam segelas air dan meminta Ibu meminumnya.
 
Tak lama saya diberi tahu bahwa Ibu telah dipindahkan ke rumah sakit Kefamnanu. Di rumah, Ibu jarang mendapatkan perawatan. Bapak sibuk. Para ponakan yang datang merawat kebanyakan menjadi bosan dan pulang diam-diam, tidak ingin terganggu saat bermain gawai. Saya ingin berhenti kuliah dan merawat Ibu. Tetapi Ibu marah.
 
”Ibu orang bodoh. Hanya tamat SD. Kamu harus menjadi sarjana. Agar tidak dibodohi.”
 
Suatu hari Jumat, saya mencegat bus Sinar Gemilang dan pulang kampung. Saya rindu Ibu. Enam jam perjalanan, dengan kondektur yang suka memaki dan penumpang yang muntah-muntah, sangat melelahkan. Saya tiba saat hari mulai malam. Saya singgah di pasar, membeli sayur dan buah-buahan, dan menumpang ojek ke rumah. Saya akan memasak untuk Ibu.
 
Rumah terkunci. Tetapi sepeda motor Bapak ada di situ.
 
Sesudah saya memanggil berapa lama, Bapak dan Agatha membuka pintu. Saya tidak berharap ada Agatha. Tetapi ia ada. Ia masih muda dan cantik. Mungkin hanya lima tahun lebih tua dari saya.
 
Bapak bilang mereka baru saja pulang dari rumah sakit. Suaranya sedikit gemetar. Ia tahu bahwa saya tahu bahwa
 
ia berbohong. Tetapi ia tidak berhenti berbicara, berharap di suatu titik menemukan alasan yang membuat saya percaya.
 
”Kami hanya singgah sebentar untuk mengambil beberapa barang. Bapak akan mengantar Agatha pulang. Kenapa tidak telepon dahulu? Kan Bapak bisa menjemputmu di terminal.”
***
 
”Apakah kau punya baju lain?” Agatha bertanya. Saya baru saja berteriak histeris karena baju saya hangus. Dan ia datang. Berdiri di pintu kamar. Melongok.
 
Saya ingin menangis. Baju hangus itu saya beli dengan uang dari Tanta Claudia. Rumahnya di Penfui, istri seorang dosen. Saya membantunya membuat kue makao. Ia menjual kue untuk dosen dan anak kos di sekitar Jalan San Juan. Sebelum saya pulang kampung, ia memberi uang dua ratus ribu. Saya bilang tidak usah. Saya selalu senang berada di dapur. Ia bilang ambil saja. Kamu perlu sesuatu untuk Hari Natal, katanya. Saya pergi ke Pasar Kupang, saya beli kemeja putih. Panjang lengannya. Akan saya pakai di Malam Natal. Dengan sarung tenun. Selendang. Mungkin juga ikat kepala. Seperti laki-laki pada umumnya.
 
Sebelum saya menjawab Agatha, bunyi gelas berderak-derak di rak piring.
 
”Uuu…” Bapak memanggil, seperti orang Timor memanggil. ”Ubi ini bikin saya tersedak. Apakah ada kopi untuk saya?”
 
Agatha berlalu dari pintu, menuju ruang makan.
 
”Anak itu membuat sapi terlepas,” Bapak berbisik dalam bahasa Metô3. Ia harus belajar cara berbisik. Saya masih bisa mendengarnya. ”Saya akan keluar dan mulai mencari jejak. Sebelum sapi-sapi berjalan jauh.”
 
”Ini Malam Natal. Kamu bisa mencari besok,” Agatha menjawab.
 
”Besok pasti kau bilang: Ini Hari Natal! Jangan cari sapi. Ayo ke gereja!”
 
”Sapi tidak pergi jauh. Ada pagar kampung. Malam Natal hanya ada setahun sekali.”
 
Saya mendengar Bapak menarik napas panjang.
 
”Anak tidak berguna. Seperti perempuan saja. Disuruh masukkan sapi saja tidak bisa.”
 
”Husshh!”
 
Hening sesaat. Saya mendengar suara kecupan.
***
 
”Apakah Agatha tadi ke sini?”
 
Saya bertanya tanpa menatap Ibu.
 
Saya pisahkan paprika dari kotpese4, dan menyuapi Ibu.
 
”Nona Agatha? Yang berdoa seperti orang Protestan itu?” Ibu bertanya sesudah menelan makanannya.
 
Saya mengangguk.
 
”Sudah lama kami tidak bertemu. Apakah kamu bertemu?” Ibu bertanya.
 
Saya menggeleng. Wajah Agatha di beranda ketika bertemu dengan saya beberapa saat yang lalu tiba-tiba terbayang. Tahi lalat di dagu, gincu setengah terhapus, dan rambut ikal yang diikat dengan terburu-buru.
 
Saya membuang muka, mencoba menyembunyikan bayangan Agatha dari hadapan Ibu.
 
”Apa yang ingin kamu katakan?” Ibu bertanya dalam bahasa Metô.
 
Kaha, Aina. Tidak, Mama.
 
Ibu terdiam. Lama.
 
”Baik-baiklah kepada Bapak. Jangan membencinya.”
 
Ibu tahu sesuatu. Saya pegang tangannya. Saya kecup. Saat ia meninggal, saya tidak tahu harus membenci siapa.
***
 
”Kau berkelahi seperti bencong!”
 
Tomi Faifui baru saja meninju saya dengan keras. Teman-temannya tertawa. Pacarnya sempat menegur agar ia berhenti memukul, tetapi akhirnya ikut tertawa juga. Menikmati betapa jago pacarnya berkelahi.
 
”Lapor sana sama teman-temanmu. Semua anak Kos Pelangi. Kalau berani, kita berkelahi.”
 
Wendelinus Hutu berkata sambil melempari kepala saya dengan botol air mineral.
 
Teman-temannya tertawa lebih keras.
 
”Kos Pelangi itu isinya bencong semua! Termasuk Bapak Kos juga bencong!”
 
Badan anak lain yang berbicara itu kecil saja. Tetapi mulutnya seperti pisau. Saya merasa jijik jika harus menuliskan namanya di sini.
 
Tadi, saat Tomi mulai memukul, saya telah mencoba untuk melawan. Saya tinju beberapa kali. Dengan kepalan tangan dan jurus yang Bapak ajarkan saat saya kecil.
 
Tunduk, pukul. Tunduk, pukul lagi. Pukul kuat.
 
Saya menunduk dan memukul. Tetapi hanya dua kali mengenai Tomi.
 
Tomi bergerak sangat cepat. Kepalan tangannya seperti batu. Kakinya datang tanpa saya sadari. Kini saya merasa isi perut saya berpindah ke tenggorokan, dan rahang saya tidak bisa mengunyah lagi. Seorang lain yang bukan Tomi menendang tengkuk saya dari belakang saat saya terjengkang. Saat saya terjatuh, banyak sekali tendangan yang bersarang di tubuh saya. Sangat pengecut. Dan mereka melakukannya sambil tertawa.
 
”Apakah kau benar laki-laki? Apakah kau masih menyukai perempuan?” Tomi berkata sebelum mereka pergi.
 
Kami berkelahi karena saya mendebatnya di kelas. Ia setuju bahwa upacara penerimaan mahasiswa baru harus dengan gaya militer. Katanya, agar mengubah yang banci menjadi laki-laki sejati. Saya bilang ia bodoh, apa itu laki-laki sejati? Mereka tertawa dan bilang saya menolak karena saya memang terlihat seperti banci. Saya bilang ayo berkelahi sekarang juga. Ia menolak berkelahi. Tetapi ia baru saja mengeroyok saya di luar kelas, dan sekarang bertanya apakah saya menyukai perempuan. Tentu, goblok. Tentu saja saya menyukai perempuan. Saya menyukai rambut mereka. Saya menyukai lekuk payudara mereka. Lengan mereka yang halus. Tengkuk yang wangi. Saya sangat menyukainya. Saya berharap saya mempunyai semua hal itu.
***
 
Setelah pernikahan Bapak dengan Agatha, saya mencoba menghindari rumah. Saya tidak pernah pulang kampung. Kadang saya ingin mati. Saya suka mendebat orang. Tidak peduli seberapa besarnya dia.
 
Tetapi Tomi baru saja membuat saya sakit. Usai perkelahian itu, saya tidak bisa mengunyah nasi. Rahang saya sakit. Saya juga terlalu lemah untuk memasak, apalagi pergi ke mana-mana. Teman-teman di Kos Pelangi menelepon ke rumah. Agatha datang satu hari kemudian. Bapak terlalu sibuk untuk datang, katanya. Atau itu cara Bapak untuk mendekatkan saya dengan Agatha.
 
Saya tidak punya pilihan lain selain makan bubur buatan Agatha. Mendengarkan kata-katanya.
 
”Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu mau. Apa pun. Berhentilah mendengarkan Bapak. Berhenti mendengarkan orang-orang. Mereka hanya bisa menghakimi.”
 
Ia perempuan yang cerdas. Saya menangis. Dan merasa seperti telah lama mengenalnya. Kami berpelukan.
***
 
”Lihat, kamu cantik sekali.”
 
Saya tertawa. Agatha punya selera yang baik untuk pakaian. Ia baru saja memberikan kemeja putihnya untuk saya. Bapak hanya punya satu kemeja putih, tidak bisa dipinjamkan. Saya memakai kemeja Agatha. Kemeja perempuan, dengan pinggang yang kecil dan pinggul yang besar. Juga rumbai di pinggang dan lehernya. Sangat pas untuk saya. Saya mengikat kain tenun sedikit di atas pinggang dan melilitkan selendang ke leher untuk menyamarkannya bentuk kemeja itu. Ini Malam Natal, semua orang mengenakan kain tenun. Di balik kain tenun, orang tidak akan tahu apakah itu kemeja perempuan atau laki-laki.
 
Sebelum menyembunyikan kemeja itu di balik kain tenun, Agatha berdiri di depan saya dan mengagumi bajunya yang sangat cocok di badan saya. Ia membuka tas, mengeluarkan gincu, dan mengoleskannya ke bibir saya.
 
”Kamu cantik sekali. Kamu seharusnya menjadi perempuan!”
 
Dari kamarnya, Bapak ikut tertawa. Tawa yang datang dari masa lalu. Tawa yang datang setiap kali orang mengatakan bahwa saya seperti perempuan. Saya selalu tidak punya pilihan selain ikut tertawa. Berharap setiap tawa dapat mengubah hal-hal yang menyakitkan menjadi lelucon.
 
”Kamu punya uang receh? Untuk uang derma?” Bapak bertanya.
 
”Di tempat sirih-pinang!” Agatha menjawab.
 
”Di mana tempat sirih-pinang?”
 
”Di sekitar situ. Cari dahulu sebelum bertanya. Saya masih membetulkan pakaian Romi!”
 
Bapak terdiam sebentar. Kemudian menggerutu dalam bahasa Metô.
 
”Kalian cocok sekali,” katanya sambil mencari. ”Yang satu perempuan cantik. Yang satu laki-laki tetapi tidak tahu cara ikat sapi. Laki-laki tetapi pakai baju perempuan untuk Malam Natal. Seperti perempuan kecil. Dua perempuan di rumah saya. Cocok sekali. Kalian cocok sekali.”
 
Saya ikut tertawa. Tetapi tawa saya tidak mengubah tawa Bapak menjadi lelucon. Saya hapus gincu di bibir, dan saya mulai mencukur kumis tipis saya. Agatha menyetrika selendang sambil memiringkan bibirnya. Jangan dengarkan Bapakmu, matanya berkata. Kami memang cocok sekali. Saya dan Agatha. Bapak tidak tahu apa yang kami lakukan di Kupang.
 
Leiden, 2019
 
Keterangan:
Uembubû : Rumah tradisional masyarakat Timor
Bahan : Pagar yang terbuat dari susunan kayu
Bahasa Metô : Bahasa masyarakat suku Metô, Timor
Kotpese : Sejenis kacang-kacangan
 
Felix K. Nesi, foto kurungbukadotcom

*) Felix K. Nesi, lahir di Nesam-Insana, Nusa Tenggara Timur. Bukunya yang telah terbit berjudul ”Usaha Membunuh Sepi” (2016) dan ”Orang-Orang Oetimu” (2019). Bergiat di Komunitas Leko Kupang, Komunitas Dusun Flobamora, dan bacapetra.co. http://sastra-indonesia.com/2021/08/bapak/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati