Sabtu, 28 Februari 2009

Menggagas Perihal Monolog

Yanto Le Honzo
http://www.sinarharapan.co.id/

Di mana dan bagaimana posisi monolog pada proses kreatif teater selama ini masih bukan menjadi hal utama dalam teater yang sudah telanjur memosisikan dirinya sebagai kerja kolektif yang selalu sibuk dengan gagasan dan ide artistik yang kadang sangat kompleks. Sebagai bentuk pertunjukan, monolog lebih kecil intensitas kehadirannya dibanding pementasan grouping pada pertunjukan teater. Monolog lebih disikapi pada sekadar proses kematangan dan jam terbang seorang aktor.

Awalnya, monolog hanya istilah untuk menyebut bagian dari suatu pertunjukan, yang berupa sebuah dialog panjang tokoh pada tokoh lainnya atau untuk menyuarakan isi hati tokoh, semacam solilokui, yang berfungsi untuk memunculkan efek dramatis pada adegan. Itu dapat kita telusuri pada naskah-naskah Shakespeare atau Goethe. Bahkan pada masa jauh sebelumnya, seperti pada naskah-naskah Yunani.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya, monolog diposisikan tersendiri kehadirannya oleh para penyair masa Victorian seperti Robert Browning dan Alfred Lord Tennyson, untuk pembacaan syair-syairnya dengan sebutan “dramatic monologue”. Monolog kadang dikaitkan dengan “dramatisasi sastra”.

Lambat-laun, monolog kian menemukan posisinya, ketika para penulis naskah drama seperti August Strindberg atau Anton Chekov menuliskan naskah khusus dalam bentuk one-act play. Naskah-naskah drama itu dan kehadiran teori teater Stanislavski memengaruhi bentuk dan gaya monolog, lepas dari pengaruh sastra seperti yang digagas Browning.

Memasuki era modern, monolog kemudian bisa ditilik dalam dua bentukannya: “Interior monologue”, yaitu monolog dengan satu atau lebih dari satu karakter tokoh dalam pertunjukannya, termasuk bentuk solilokui, dan “eksterior monologue”, yaitu dialog yang lebih ditujukan pada penonton, termasuk dialog dengan tokoh yang imajiner.
Dari sedikit runutan tentang kehadiran monolog itu, tampak bahwa monolog tidak bisa lepas dari fungsinya sebagai alat pemeranan dan penghubung sastra lewat aktor (monologist) yang memainkannya. Monolog kemudian dianggap sebagai cara seseorang diuji kemampuannya sebagai aktor yang harus menguasai berbagai karakter dan emosi, juga motivasi dalam satu naskah.

Tapi apakah monolog adalah bagian dari teater atau teater itu sendiri jelas sesuatu yang sangat tipis perbedaannya? Karena monolog tidak bisa hadir dengan mengesampingkan elemen-elemen lain di dalamnya, seperti teks, musik, cahaya, bahkan penyutradaan, khususnya untuk konsep pertunjukan di dalam ruang. Pada kasus tertentu, seorang sutradara yang juga seorang aktor memang tidak kesulitan dalam mengatur aktingnya, seperti Putu Wijaya, misalnya. Aktor menjadi sutradara bagi dirinya sendiri. Itulah yang menjadi pilihan umum bagi para monologist.

Bagi saya, kerja monolog tetaplah sebuah kerja komunal seperti pada umumnya kerja teater. Seorang aktor harus menempatkan posisinya sebagai aktor, bukan sutradara. Dia hanya bertanggung jawab pada aktingnya sendiri. Sutradara yang bertanggung jawab pada proses penjadiannya.

Dalam perjalanan proses kreatif, tidak bisa dihindari ketika teater harus membuka dirinya untuk menerima pengaruh dan dipengaruhi oleh unsur disiplin seni lain demi kemajuannya, seperti halnya juga tari dipengaruhi oleh teater atau musik yang membawa semangat teater di dalamnya. Teater pun pada akhirnya harus menerimanya juga.

Pada tahun 60-an, pada dunia seni rupa mulai berkembang sebuah seni pertunjukan “performance art”. Sebuah seni pertunjukan yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan memadukan berbagai elemen seni rupa, juga teater, musik, dan tari yang mampu memutus jarak antara pelaku dan penontonnya. Apalagi ketika seni instalasi dan video art mulai berkembang, performance art muncul sebagai seni pertunjukan yang menghadirkan simbol, imaji dan pencitraan pada benda, bahkan tubuh sebagai bahasa ungkap. Teks hanya hadir sekadar sebagai puisi yang gelap dan meng-solilokui. Performance art menjadi seni pertunjukan yang konseptual, dan menghantam konvensi tradisional tentang seni pertunjukan yang telah umum.

Teater pun pada sebagiannya akhirnya hadir dengan keterpengaruhan itu di atas panggung. Teater hadir menjadi pertunjukan yang multi-media, seperti pada monolog Humanus Balonitus yang dibawakan Asep Budiman dari Bandung atau Citra Pratiwi dari Teater Garasi dengan monolognya Ophelia; Rahasia Kolam Kematian.

Lalu bagaimana monolog dengan pengertian teks dan aktor menjadi pusat pertunjukan dan monolog yang masih menyediakan ruang di luar teks dan actor? Tentunya itu memerlukan tafsir ulang tersendiri. Monolog kemudian bisa kita lihat sebagai dua hal yang berbeda: monolog sebagai gagasan dan monolog sebagai bentuk.

Dari beberapa pertunjukan monolog itu bisa kita lihat, bagaimana kemudian tubuh dan benda-benda juga gambar berebut untuk saling berbahasa di atas panggung, dan teks tidak lagi naratif-realis mengalir dari mulut monologist. Pada kasus ini, monolog hadir sebagai gagasan pertunjukan, karena yang hadir bukan lagi sesuatu yang tunggal (mono), tetapi peristiwa yang multi-tafsir.

Kata “monolog” menjadi tidak relevan lagi bila melihat gejala yang telah mengalami lintas disiplin seni itu. Pertunjukan itu lebih tepat kalau dikatakan sebagai pertunjukan “monoplay” di mana aktor adalah pusat, sekaligus subordinat dari sebuah ide dalam kerja penjadian teater.

Monolog melahirkan turunannya sendiri, yaitu pertunjukan tunggal yang masih membawa semangat keaktoran dan kemurnian teater yang tetap disebut “monolog” dan pertunjukan tunggal yang telah dipengaruhi oleh kegairahan performance art yang disebut “monoplay”.

Jakarta, Februari 2009

Dari Diskusi dan Pentas Sastra Indonesia-Malaysia Shafirasalja DKR

Kontra Mitos dalam Minda Melayu

Purnimasari
http://www.riaupos.com/

Dalam beberapa cerita jenaka Melayu masa silam, orang banyak dikejutkan dengan mitos yang ditabrakkan. Tapi justru mitos kontra mitos inilah yang kemudian menjadi keunikannya. Namun medan magnet spiritual tetaplah ‘petir’ yang menjadi kekuatan sastra Melayu.

Peserta dialog dan pentas sastra Indonesia-Malaysia yang membahas peran kesenian, terutama sastra dalam membangun peradaban Melayu dari masa ke masa, yang ditaja Dewan Kesenian Riau banyak didominasi para seniman dan cikgu. Ini terbukti dengan hadirnya ratusan orang guru yang mengikuti dialog yang dibahas oleh UU Hamidy, Shamsudin Othman, SM Zakir dan Ahmad Razali di aula Dewan Kesenian Riau, Sabtu (21/2).

Bahasa, Tamadun Bangsa

Menurut Shamsudin Othman, penyair, pelukis muda Malaysia, runtuhnya tamadun suatu bangsa bukan karena peperangan maupun penjajahan tapi lebih oleh ketidakyakinan penganut tamadun atau peradaban itu pada jati diri maupun kesucian bahasanya. Dalam konteks Melayu serumpun, tentunya Bahasa Melayu adalah lambang sastra, seni dan pengucapan agung yang jadi ikon tamadun itu sendiri.

Apa yang berlaku di negara-negara dunia ketiga seperti Malaysia mi-salnya, lanjut Shamsudin, para pemimpinnya sedang berusaha mengubur bahasa mayoritas pribumi karena pesimis bisa bersaing dalam arus globalisasi. ‘’Karena itu, mengambil langkah jalan ke belakang ini akhirnya mengacu doktrin jahiliyah dan primitif. Zaman penjajahan sudah lama berlalu tapi seakan ada dikotomi baru yang dilihat sedang meresap dalam pemikiran penguasa. Resapan inilah yang akhirnya jika tidak diatasi akan membawa kehancuran tamadun suatu bangsa,” ujar Shamsudin dalam acara yang dipandu Samson Rambah Pasir, sastrawan Batam yang membacakan cerminnya berjudul Pejabat Gulai Terung.

Dikatakannya, tamadun bangsa ialah soal marwah dan kesucian. Karenanya, asas terpenting adalah bahasa bangsa itu sendiri. Dalam konteks ini, Bahasa Melayu adalah wahana mahapenting dalam menentukan kehebatan bangsa Melayu. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Rusia, Prancis dan Cina misalnya, senantiasa berusaha menyemaikukuhkan bahasa mereka hingga ke akar umbi supaya tiap lapisan masyarakat bangga dan cinta akan bahasa sendiri. Akhirnya, dari semangat yang luar biasa itu, kini mereka menguasai dunia.

‘’Sebuah tamadun pada hakikatnya terlalu muluk untuk diungkap dan didengar. Tapi bagaimana dengan agenda meneruskan kehidupan yang terpaksa bersaing dalam globalisasi dan kematangan fikir? Apa kita sudah siap jadi manusia cemerlang dengan karya-karya agung sehebat Hamzah Fansuri, Hamka dan lain-lainnya jika manusia yang lahir pada zaman itu hidup dalam anarkis dan bobrok?” ungkapnya.

Ia menilai hal itu juga berlaku pada sastra Malaysia saat ini. Tiga puluh tahun silam, A Samad Said menulis novel Salina (1967) dan Shahnon Ahmad menulis Ranjau Sepanjang Jalan (1970) yang memaparkan petani gigih yang tabah merempuh zaman-zaman hitam kolonial. ‘’Kenapa pada abad ke-21 ini, hal-hal kemiskinan, kelaparan, penindasan dan kezaliman masih subur dalam karya-karya sastrawan kita? Itu bermakna, usia negara yang beranjak tua tak dapat memisahkan sejarah yang berulang. Yang membedakan cuma angka dan manusianya,” tuturnya.

Dalam perkiraan yang tak berbelah bagi, lanjut Shamsudin, tamadun yang ingin dicapai itu ialah tamadun insaniah yang tinggi. ‘’Kita ingin melihat orang Melayu membelah cakrawala dengan keimanan yang teguh. Kita ingin melihat Melayu yang dapat menulis puisi-puisi indah seperti Iqbal maupun Amir Hamzah. Kita ingin melihat Melayu yang dapat membina dengan cinta keimanan bukan nafsu serakah dan rasa yang memabukkan. Juga, kita ingin melihat orang Melayu yang punya jihad seperti Syaidina Umar maupun Salehuddin al-Ayubi,” tuturnya.

Tiga Gelombang Besar Pengarang Riau

Sementara itu, menurut UU Hamidy, pengarang di Riau dapat dilihat dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama sejak pertengahan abad ke 19 sampai 1930-an, meliputi Raja Ali Haji, para pengarang Rusydiah Klab antara lain Raja Ali Kelana, Abu Muhammad Adnan, Raja Hitam Khalid dan Raja Aisyah Sulaiman berlanjut dengan Tuan Guru Abdurrahman Siddik sampai Soeman Hs.

Gelombang kedua sejak tahun 1950-an sampai tahun 1970-an meliputi para pengarang antara lain: Yong Dolah, Idrus Tintin, Tenas Effendy, Hasan Junus, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsudin, Sudarno Mahyudin, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Wunulde Syafinal dan Rida K Liamsi. Sedangkan gelombang ketiga bisa dikesan sejak tahun 1980-an sampai tahun 2000-an sekarang, di antaranya Taufik Ikram Jamil, Dasri, Eddy Ahmad RM, Kazzaini Ks, Husnu Abadi, Fakhrunnas MA Jabbar, Samson Rambah Pasir, Mosthamir Talib, Abdul Kadir Ibrahim, Abel Tasman, Tien Marni, Musa Ismail, Marhalim Zaini, M. Badri, Hary B Kori’un dan banyak lagi.

Dikatakan UU, ciri-ciri pengarang gelombang pertama adalah: pengarang memakai Bahasa Melayu dan tulisan Arab-Melayu, pengarang menulis berbagai jenis tulisan (tidak hanya sastra), pengarang yang baik dari kalangan ulama, karangan sastra meliputi hikayat, syair, pantun, gurindam dan cerpen dan didukung oleh Kutub Khanah Marhum Ahmadi (perpustakaan) Mathaba’atul Risuwiyah dan Al Ahmadiah Press (percetakan, penerbit) Majalah Al Imam dan Peringatan serta ruang muzakarah (perbincangan) Masjid Pulau Penyengat untuk kajian Islam.

Sedangkan ciri pengarang gelombang kedua: memakai Bahasa Indonesia dan tulisan Latin, pengarang relatif hanya mengarang bidang sastra, pengarang dari kalangan terpelajar (relatif tak ada kalangan ulama), karangan bidang sastra meliputi novel, cerpen dan puisi ditambah sedikit kritik sastra dan didukung oleh Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Riau, Penerbit Bumi Pustaka dan Harian Haluan terbitan Padang.

Pengarang gelombang ketiga memiliki ciri: memakai Bahasa Indonesia ditambah dengan dialek Melayu tempatan, pengarang relatif berkarya dalam bidang sastra saja ditambah sedikit ilmu sosial, pengarang dari kalangan terpe-lajar/mahasiswa dan relatif hampir tak ada ulama, karangan bidang sastra meliputi cerpen dan puisi cukup banyak sedangkan novel hanya sedikit dan mulai muncul ulasan (kritik) sastra dan didukung oleh Surat Kabar Riau Pos serta media lainnya di Riau, Majalah Sagang dan Yayasan Sagang yang memberi penghargaan tiap tahun, Dewan Kesenian Riau serta beberapa penerbitan seperti Unri Press dan UIR Press.

Medan Magnet Spiritual

UU menilai, membaca karangan para pengarang Melayu abad ke 19 yang cemerlang lagi piawai ini, kita dapat memperoleh berbagai keterangan, data, gagasan, serta ide maupun pemikiran untuk menulis. Tapi tidak hanya itu. Karangan mereka ternyata memberikan pesan-pesan kebenaran, sehingga makin jauh dibaca, kita akan makin ditarik oleh medan magnet spiritual.

‘’Syair Perahu Hamzah Fansuri yang salah satunya berbunyi, ‘’ibarat perahu, tamsil tubuhmu” terbukti tak pernah luntur oleh zaman. Bahkan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji masih relevan dipakai untuk mengkritik tabiat penguasa zaman sekarang, contohnya yang gemar berhutang. Padahal, di masa dahulu, tidak ada raja-raja Melayu yang membuat hutang,” ujar pria penulis tidak kurang dari dari 50 judul buku ini.

Kondisi ini, lanjut UU, berbeda dengan karya-karya sastra/tulisan-tulisan kebudayaan yang hanya sebagai mode, cuma memikat sesaat. Pengarang gelombang pertama adalah kejayaan pemakaian gurindam, syair, pantun, hikayat, sekaligus masa kejayaan penggunaan tulisan Arab Melayu. Ketika Bahasa Indonesia mulai masuk, perlahan-lahan terjadi penurunan kualitas karena ungkapan-ungkapan terbaik tetap ada dalam Bahasa Melayu. Bahasa Indonesia mengakibatkan pengarang kehilangan nuansa-nuansa yang halus. Dan pada gelombang kedua sastra Melayu, tidak muncul lagi ulama yang menjadi penulis. Akibatnya, mulailah medan magnet spiritual meredup.

‘’Mengapa? Karena yang semula sastra mengambil nafas dari Islam yang menjadi kekuatan ruh dan diperkuat dengan ulama yang menjadi penulis sudah tak ada lagi. Jadinya, karya-karya yang lahir lebih bersifat mendunia, walaupun belum dapat dikatakan mengarah pada sekulerisme. Sementara di zaman dulu, Raja Ali Haji tidak hanya menulis Gurindam Dua Belas, tapi juga sejarah, hukum nikah, tata bahasa, kamus, dan lain sebagainya,” ungkap UU.

Pada gelombang ketiga, demikian UU, dipakailah dialek Melayu tempatan untuk memberi warna lokal Melayu. Tetapi tetap belum mampu mengembalikan kekuatan medan magnet spiritual itu. Penulisan novel juga semakin sedikit padahal ia termasuk sekelas hikayat. Karena itu, ketika ditampilkan karya pengarang abad ke 19 dan pengarang yang piawai yang mengandung medan magnet spiritual itu, medan pembaca yang punya sentuhan keruhanian justru tersentak. Karena rupanya sastra Melayu zaman silam bisa memberi pencerahan pada akal budi. Sementara, sastra Melayu yang hadir sekarang didominasi oleh suasana hiburan, paling-paling hanya ditambah sedikit protes sosial.

‘’Jika tradisi cendekiawan Melayu yang mengarang dengan muatan medan magnet spiritual ini terpelihara, insya Allah dunia Melayu akan mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang egois, hedonis, sekuler, materialistik, bahkan munafik. Berpijak pada budaya materialistik munafik hanya bagaikan berdiri di atas lumpur. Semakin banyak bergerak, semakin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan. Sementara budaya Melayu dengan medan magnet spiritual bagaikan meluncur di atas lumpur dengan papan tonkahan,” tutur UU.

Mitos Kontra Mitos

Menurut UU, dalam gambaran perkembangan karya sastra, cerita jenaka mempunyai perkembangan yang menarik. Setelah cerita jenaka Melayu yang lama seperti Pak Belalang dan Pak Pandir jauh surut, muncul kumpulan cerita jenaka Soeman Hs dalam tahun 1930-an, Kawan Bergelut. Tidak lama kemudian 1950-an sampai 1960-an muncul cerita jenaka Yong Dolah di Bengkalis dalam bentuk lisan, yang enak didengar di kedai kopi. Sementara itu pertunjukan randai di Rantau Kuantan (Kuantan Singingi) menyegarkan pertunjukannya dengan menampilkan joget (tarian) serta cerita yang mengandung unsur humor tentang kehidupan puak Melayu di perkampungannya. Selepas itu grup lawak budak Melayu Fakhri dan Udin dengan nama Smekot (semeter kotor) membuat cerita jenaka Melayu makin berkibar. Tidak lama kemudian cerita jenaka Melayu mendapat penyegaran dengan munculnya rangkaian cerita Wak Atan, sebagai trademark cerita jenaka Mosthamir Thalib.

‘’Salah satu hal yang paling menarik adalah dihadirkannya mitos kontra mitos dalam banyak cerita jenaka. Tapi bagai-manapun juga, dalam kontra mitos tetap ada ”kilat-kilat” medan magnet spiritual. Meski ”petir”-nya tetap ada dalam medan manget spiritual yang ditarah sangat bagus oleh para pengarang abad ke-19 dan pengarang Melayu yang piawai. Jadi pencerahan akal budi masih ada terpantik dalam cerita jenaka,” urainya.

UU mencontohkan, dalam cerita Pak Belalang misalnya, kita dapat menemukan tokoh Pak Belalang yang hanya orang biasa, lemah tak berdaya. Dalam kontra mitos ia dihadapkan dengan Raja sebagai pihak yang kuat yang bisa berhadapan dengan apapun. Maka ketika Raja meminta Pak Belalang menerka apa isi dalam genggaman tangannya, itu sebenarnya tak lain hanyalah sekadar tipu muslihat. Sebab sebenarnya, apapun juga jawaban Pak Belalang, ia tetap akan dibunuh.

Dalam cerita Selimut Bertuah karya Soeman Hs dalam bukunya Kawan Bergelut, mitos kontra mitos ini pun dapat ditemui. Untuk memikat hati istrinya yang seorang janda, sang suami pun membelikan selimut untuk anak tirinya (mitos). Si istri pun merasa sangat bahagia karena ia merasa sang suami telah sayang benar pada anak tirinya tersebut. Dalam kontra mitosnya, Soeman Hs mengarang bahwa ternyata selimut yang dibelikan itu sudah cacat karena ada lubang bekas api rokok. Mitos kontra mitos ini pun dengan rancaknya dibalikkan kembali. Dengan selimut yang berlubang itulah suatu hari kemudian, si anak memergoki ayah tirinya mengambil makanan di siang hari sewaktu bulan puasa.

Dalam cerita jenaka Yong Dolah, mitos kontra mitos pun ditemui. Dalam salah satu ceritanya, Yong pergi berlayar ke Vancouver. Ketika tengah melaut, ia melihat sebuah kotak. Setelah diperintah nakhoda untuk mengambilnya, kotak itu ternyata berisi banyak sepatu, tapi hanya untuk kaki kiri semuanya. Karena dianggap tak berguna (mitos), nakhoda pun menyuruh Yong untuk membuang saja kotak itu. Ternyata keesokan harinya, Yong menemukan kembali sebuah kotak di laut. Dan setelah dibuka, isinya ternyata juga puluhan sepatu, tapi hanya untuk kaki kanan semuanya (kontra mitos).

‘’Namun, pencerahan akal budi dan nikmat keruhanian itu baru dapat ditangguk jika pembaca/pendengarnya mampu merenungkan kembali makna yang terkandung di balik cerita jenaka itu. Jika tidak, maka cerita jenaka tak lebih dari sekadar hiburan semata,” kata UU.***

Membaca Pipa Air Mata

Romi Zarman
http://www.riaupos.com/

Hampir setiap koran di negri ini memiliki halaman sastra. Masing-masingnya tentu memiliki cara yang berbeda dalam mengapresiasi penulisnya. Ada yang mengapresiasi dengan cara memberikan honor yang layak bagi penulisnya. Ada yang mengapresiasi penulisnya dengan cara mengumpulkan sejumlah karya dalam satu buku. Kompas, misalnya, mereka menyeleksi cerpen-cerpen yang dimuat selama setahun dan mengumpulkannya dalam bentuk buku. Begitu pun puisi dan esai yang dimuat di rubrik “Bentara”.

Belakangan Riau Pos juga mengapresiasi penulisnya dengan membukukan sejumlah karya. Adapun tahun 2008, Riau Pos mengumpulkan sejumlah cerpen yang pernah dimuat selama setahun dengan judul buku Pipa Air Mata. Dalam buku tersebut, terhimpun lima belas cerpen yang ditulis oleh berbagai pengarang. Selain dari Riau, buku tersebut juga menghimpun tiga cerpen dari pengarang Sumatra Barat dan daerah lain. Tentu hal itu mengindikasikan bahwa Riau Pos sangat diminati oleh pengarang-pengarang dari luar Riau. Bahkan, seperti dikatakan redaktur sastranya dalam buku ini, naskah-naskah yang masuk juga ada yang berasal dari Medan, Lampung, Bandung, Jakarta, Jogjakarta, Semarang, dan Kudus, dll.

Adapun kelima belas pengarang itu adalah, Deddy Arsya, Eddy Akhmad RM, Fakhrunnas MA Jabbar, Fariz Ihsan Putra, Gde Agung Lontar, Hary B Kori‘un, Joni Lis Efendi, M Badri, Mohm Amin MS, Pinto Anugrah, Olyrinson, Pandapotan MT Siallagan, Sobirin Zaini, Sultan Yohana, dan Yetti A KA. Kelima belas pengarang di atas terdiri dari berbagai generasi. Ada Fakhrunnas, selama tahun 2008 saya juga membaca cerpen-cerpennya di sejumlah koran nasional. Ada Hary B Kori‘un, karyanya yang paling kuat menurut saya adalah Nyanyian Batanghari (lihatlah bagaimana pengarangnya berhasil mengolah karakter Martinus Amin dengan jalinan cerita yang apik). Ada Yetti A KA, dengan bahasa yang puitik ia mengolah cerita, walau di beberapa cerpennya kita melihat adanya alur yang agak samar.

Cerpen pertama dari buku ini adalah karya Deddy Arsya, dengan judul “Kurir Peluru”. Ia bercerita tentang seorang kurir yang bertugas sebagai pengantar peluru semasa terjadinya perang saudara. Saya pikir cerpen ini berhasil tanpa melibatkan tendensi cerita. Lihatlah ceritanya yang berlatar perang. Perang saudara yang dimaksud pengarang adalah perang antara Pusat dan PRRI/Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), yang terjadi di Sumatra Tengah antara tahun 1958-1961. Secara historis, perang saudara itu merupakan bentuk ketidakmampuan Jakarta untuk menerima kritik dari daerah. Saat itu daerah melancarkan kritik pada pusat. Akan tetapi, kritik itu dibalas dengan senjata. Padang dibombardir. Tentara Pusat merajalela. Permerkosaan dan penindasan terjadi di mana-mana. Efek dari semua itu adalah trauma yang sangat mendalam. Orang Minang disebut pemberontak. Dan lebih pedihnya lagi, Ahmad Yani, diberi gelar pahlawan oleh Jakarta. Sebagai seorang komandan operasi pada saat itu, Yani tak pernah dimintai pertanggungjawabannya atas jatuhnya korban dari kalangan sipil yang tak bersalah.

Tentu saja bila kita membaca latar cerpen itu akan membuat kita sedikit emosi. Akan tetapi, pada bagian inilah pengarangnya berhasil merangkai kisah. Tanpa tendensi, pengarangnya berhasil menggambarkan sosok manusia pandir dalam jalinan kisah yang apik. Bahasanya terang. Alurnya jelas, dengan sudut pandang orang pertama. Sekilas teknik cerpen ini mengingatkan kita pada teknik cerpen “Rubuhnya Surau Kami”.

Cerpen kedua dalam buku ini adalah “Pil-Kadal”, karya Eddy Akhmad RM. Bercerita tentang seorang anak yang hendak maju dalam pemilihan gubernur. Akan tetapi, ketakutan segera merayapi ayah kandungnya. Tokoh Ayah dapat digolongkan sebagai potret masyarakat kecil dengan tetap mempertahankan prinsip dan idealisme. Pada bagian awal cerpen ini, melalui tokoh Ayah, pengarang menyuarakan suara komunal tentang kegundahan masyarakat dalam setiap pemilihan gubernur. Lihatlah logika yang digunakan pengarangnya... paling sedikit setiap calon harus memiliki uang Rp.150 miliar. Ke mana hendak mencari uang sebanyak itu?... Kalaulah Ahmad melakukan hal yang sama seperti dilakukan calon lain... mau jadi apa negri ini? (hal. 11). Untunglah pengarangnya tidak terlalu hanyut dengan kegundahan itu. Di pertengahan cerita, pengarangnya mulai menarik cerita ke dalam konflik. Konflik itu terjadi ketika tokoh Ayah membaca di sebuah koran bahwa anaknya mundur dari pencalonan gubernur dikarenakan tidak mendapat restu dari orangtua. Tentu saja Ayahnya tersentak karena ia tak pernah melarang anaknya. Pada bagian inilah konflik antara Ayah dan anak mulai terjadi.

Cerpen Fakhrunnas, “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau”, berkisah tentang sebuah kota pelabuhan yang dilanda bencana karena merajalelanya perbuatan maksiat. Saya pikir, cerpen ini memiliki ruang tersendiri sehingga tidak heran kenapa ceritanya agak terasa bertenden. Sejauh pengamatan saya atas cerpen-cerpen Fakhrunnas, cerpen ini agak berbeda dari cerpen-cerpennya yang lain. Biasanya cerita digerakan oleh alur, dialog yang padu serta didukung dengan suasana yang menggigit.

Cerpen “Simpul”, karya Fariz Ihsan Putra, bercerita tentang detik-detik kematian seorang presiden. Penyajian ceritanya sangat apik. Lihatlah bahasa yang digunakan pengarangnya, sangat detail dan penuh sebab-akibat. Ia bercerita dengan sabar dan memiliki alur yang terang. Tidak seperti “Sejarah Sungai Darah”, karya Gde Agung Lontar. Meminjam istilah Raudal, cerpen ini adalah cerpen “gumam” bila dilihat dari bahasa yang digunakan. Tidak adanya alur yang jelas dan ditambah lagi dengan bahasa yang cendrung metaforik menyebabkan pembaca sukar memahami cerita. Padahal bila ditelisik secara seksama, maka tokoh cerpen ini hanya bergumam tentang silsilah sebuah sungai. Sekilas pengarangnya nampak ingin bereksperimen. Hal itu terlihat dari minumnya tokoh cerita dan adanya beberapa suku kata yang mengganggu keutuhan sintaksis, seperti “perlelahan”, “terkekejut”, “memarah” dan “memasing” (saya kira keberadaan kata-kata ini perlu dipertanyakan secara morfologis).

Cerpen keenam adalah “Cinta Ibu”, karya Hary B Kori`un. Cerpen ini menggambarkan kegetiran hidup di Tongar, Pasaman Barat. Saya kira Hary sangat memahami benar kondisi masyarakat Tongar. Tidak hanya pada cerpen ini. Dalam Nyanyian Batanghari pun ia juga berkisah tentang Tongar dengan segala kompleksitas persoalannya. Bahkah, jauh-jauh hari, Hary telah melakukan penelitian dalam bentuk skripsi atas kasus Tongar di Pasaman Barat. Tentu saja data-data itu akan semakin membantukannya dalam berimajinasi.

Lihatlah tokoh Aku dalam cerpen ini. Ceritanya mengalir lancar, mengisahkan seorang ibu yang tetap setia menunggu suaminya tiba dari Suriname. Kesetiaan itu terus dipertahankannya hingga akhir hayatnya. Cerita ini tidak hanya menceritakan tentang penantian seorang istri, melainkan juga bercerita tentang tragisnya kehidupan masyarakat Tongar. Lihatlah pada akhir cerita. Kuburan sang ibu diratakan dengan tanah dan dijadikan ladang sawit oleh pihak perkebunan. Sesuatu yang benar-benar tragis di negri ini!

Sementara, cerpen ”Teman Kecil”, Yetti A KA, juga bercerita tentang seorang ibu. Ia kecewa pada anaknya karena telah menghamili seorang perempuan. Seperti biasanya, bila kita perhatikan sejumlah cerpen Yetti, maka ceritanya sering berpusar pada tema-tema keluarga, dengan jalinan bahasa yang puitik dan terkadang dengan menyamarkan alur cerita.

“Pipa Air Mata”, karya M Badri, yang menjadi judul buku ini, bercerita tentang sebuah kampung di tengah hutan, yang diberangus oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Pengarangnya berhasil mengolah data jadi cerita yang memikat. Lihatlah bagaimana Badri membangun cerita dengan alur yang terang. Mampu membangkitkan emosi pembaca. Seperti halnya juga dalam “Bakau Sungai Tanjung”, Sobirin Zaini. Dengan suasana yang mencekam, pengarangnya juga berhasil membangun cerita jadi memikat dengan latar yang sama-sama dunia Melayu. Sementara “Hujan dan Pertemuan”, berkisah tentang seorang pelacur. Mohd Amin MS, melalui cepen “Menjadi Kutu”, bercerita tentang seorang tokoh aku yang menjadi kutu. Cerpen ini bersifat simbolis. Lihat saja dari judulnya: Menjadi. Dan proses menjadi kutu itulah yang ditampilkan oleh pengarangnya.***

Minggu, 22 Februari 2009

CERPEN DENGAN AROMA EKSOTISME

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Perjalanan cerpen Indonesia mutakhir, terutama selepas pemberlakuan otonomi daerah, tampak makin menunjukkan peta kultur keindonesiaan yang lebih beragam. Keberagaman itu seperti mencelat begitu saja ketika persoalan etnisitas diangkat dan menjadi tema cerita. Kehidupan perkotaan dengan kecenderungan tokoh-tokohnya yang teralienasi atau tak punya identitas kultural yang kerap ditawarkan para penulis yang lahir dan besar di tengah masyarakat perkotaan—metropolis, tidak lagi mendominasi tema cerpen yang bertebaran di berbagai majalah dan suratkabar Minggu.

Para epigon yang tersihir oleh narasi yang puitik, penuh aroma bunga dengan latar cerita yang bermain di sebuah tempat yang begitu abstrak yang berada entah di mana nun jauh di sana, terus saja menjalankan mesin produksinya. Mereka memang produktif, tetapi sekadar menghasilkan tumpukan karya yang penuh busa dan gelembung kata-kata. Substansi cerita diselimuti oleh balon raksasa yang bernama narasi puitik; sedap dan membuai, meski tidak persis sama dengan tukang obat di pasar tradisional.

Sementara itu bermunculan pula cerpenis yang coba mengusung semangat untuk tidak ikut-ikutan mendewakan kisahan yang membuai namun tak punya pijakan kultural. Di belahan bumi yang lain, di wilayah Nusantara ini, sejumlah cerpenis coba bermain dalam dunia persekitarannya. Maka cerpen-cerpennya laksana merepresentasikan potret masyarakat tempat sastrawan yang bersangkutan itu dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkaran kehidupan sosial-budayanya.

Mereka punya rumah etnik dengan pekarangannya yang kaya problem sosiologis. Mereka punya ibu budaya yang melahirkan dan mengasuhnya hingga dewasa. Mereka tak hendak berkhianat pada ibu budayanya. Tak ingin jadi epigon mengusung dunia yang tidak dikenalnya, meski narasinya membuai. Mereka tak hendak pamer metafora jika yang dikisahkannya tak punya pijakan kultural. Dalam konteks itu, cerpen-cerpen mereka itu tidak hanya mewartakan persoalan kehidupan sosial-budaya dengan berbagai etnisitasnya, tetapi juga sekaligus melengkapi peta sastra Indonesia yang selama ini diperlakukan seolah-olah hanya milik kaum elitis.

Lihat saja karya-karya Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Abel Tasman, Marhalim Zaini, Olyrinson –sekadar menyebut beberapa—yang di belakangnya, ada sejarah masa lalu Kerajaan Melayu, di sekelilingnya ada problem masyarakat puaknya yang termarjinalkan, di depannya ada hasrat untuk membebaskan diri dari kepungan pesismisme. Lihat juga cerpen-cerpen Jamal T Suryanata yang mengungkap kegagalan ketika tarikan tradisi (Banjar) begitu kuat dan harapan untuk lepas dari keterkungkungan itu, tak mendapat respon dari keluarga dan masyarakatnya. Lain lagi dengan Oka Rusmini, Cok Sawitri atau Wayan Sunarta. Kultur Bali dengan Hinduismenya digunakan sebagai sumber inspirasi. Bali dengan segala dinamika sosio-budayanya menjadi sumber ilham; titik berangkat untuk coba menilai kembali hakikat mempertahankan tradisi dan ketidakmampuan menghindar perkembangan zaman dan perubahan sosial. Hal yang jauh sebelumnya dieksplorasi Korrie Layun Rampan atas kultur dan masyarakat Dayak sebagai ibu budayanya, atau Darman Munir atas kultur ninik-mamaknya.

Di ujung Sumatera, kita juga masih dapat berjumpa dengan Azhari, Fikar W Eda, D. Kemalawati, Silaiman Tripa, Nasir Ag dan sederet panjang sastrawan Aceh. Mereka –lewat karya-karyanya—coba menerjemahkan masa lalu keagungan Kesultanan Aceh, kekayaan kultur etnik, sejarah hitam peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer) yang penuh bersimbah darah, dan bencana mahadahsyat Tsunami. Jadilah karya mereka sarat nostalgia, kekayaan budayanya, kegetiran atas tragedi kemanusiaan, dan kegelisahan yang bersimbah harapan. Keseluruhannya lalu termanifestasikan dalam karya yang khas mengungkap manusia Aceh yang multidimensi.

Kultur Jawa juga tak pernah sepi melahirkan sastrawannya yang tak berkhianat pada ibu budayanya. Umar Kayam, Linus Suryadi, Kuntowijoyo, Arwendo Atomowiloto, Suminto A Sayuti, Danarto, bahkan juga Darmanto Jatman, dan sederet panjang nama lain, adalah sebagian sastrawan Indonesia yang punya kesadaran kultural atas ibu budaya mereka. Beberapa cerpenis setelah generasi Ahmad Tohari dan Gus Mus dapat pula disebutkan, antara lain, Yanusa Nugroho dan Triyanto Triwikromo. Ahmad Tohari coba mengangkat wong cilik Jawa pinggiran, Gus Mus memotret kehidupan dunia pesantren lengkap dengan kisah-kisah para aulianya, Yanusa Nugroho coba merevitalisasi kembali tafsir dunia pewayangan, dan Trianto Triwikromo cukup piawai mengungkap mitos dan mitologi Jawa. Semuanya jadi begitu khas, eksotik, dan mempesona.

Begitulah, ketika sastrawan coba menawarkan latar ibu budayanya, kondisi masyarakat yang melingkarinya, dan dunia persekitarannya, maka ia menjelma menjadi potret yang penuh dengan aroma eksotisme. Untuk karya-karya yang seperti itu, usaha melakukan generalisasi hanya akan sampai pada kesia-siaan. Kekhasan itu hanya milik pengarangnya. Dengan begitu, karya-karya itu juga selalu akan menjanjikan greget dan rasa penasaran pembacanya.
***

Antologi Topeng karya Sawali Tuhusetya tidak terelakkan mesti dimasukkan ke dalam kotak eksotisme itu. Meski begitu, kekuatan yang bersumber pada kekhasan selalu akan membawa kegagalan ketika kita coba membuat generalisasi. Jadi, sastra yang pada dasarnya khas itu menjadi lebih khas, karena di sana ada unikum, ada eksotisme manakala kita menelisik lebih jauh segala ceruknya. Dalam konteks itu, Sawali Tuhusetya berhasil mengeksploitasi sisi lain dari kultur Jawa dengan segala mitos, mitologi, sistem kepercayaan, dan dunia pewayangan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Jawa. Antologi yang berisi 19 cerpen ini laksana serangkaian potret orang Jawa yang tak dapat melepaskan diri dari tradisi yang kukuh mencengkramnya. Maka, rasionalitas dan irasionalitas bisa menjadi peristiwa yang aneh mencekam—mengerikan, tetapi sekaligus juga menarik, bersahaja, dan kadangkala juga menciptakan kelucuan.

Pilihan Sawali Thusetya atas tema-tema yang diangkatnya seperti merepresentasikan sikap ambivalensinya atas tradisi dengan segala ketahayulannya, penolakan atas sisi gelap berbagai hal yang berbau klenik, dan sekaligus ketidakmampuannya untuk mengubur ingatan kolektif itu. Jadi, di situlah permainan Sawali. Ia dibetot masa lalu tradisi budaya yang telah melahirkan dan membesarkannya, dan ia ingin melepaskan diri dari segala betotan itu. Tetapi, adanya kesadaran akan ketidakmampuannya melepaskan betotan itu, pada akhirnya, memaksa segalanya harus diterima dan dijalani begitu saja. Mengalir dan mengikuti ke mana arus itu akan membawanya ke muara. Maka, yang terjadi kemudian adalah coba merevitalisasi, menafsir ulang, memberi pemaknaan baru, melakukan aktualisasi, atau menerjemahkannya dalam bentuk transformasi. Jadilah kemudian sejumlah cerpen dengan aura eksotisme.

Sekadar contoh kasus, sebutlah misalnya, cerpen “Topeng”, “Dhawangan”, atau “Jagal Abilawa”. Dalam cerpen-cerpen itu, Tuhusetya menangkap sisi lain dari tradisi kesenian Jawa. Ia mengemas dan menempatkannya dalam konteks kekinian. Kisahannya jadi tampak realis. Tetapi manakala kisahan itu memasuki inti masalahnya, kisah-kisah surealis tiba-tiba saja seperti harus dihadirkan. Dan selepas itu, muncul kesadaran bahwa di sana ada sesuatu yang negatif, sesuatu yang seyogianya ditinggalkan, dan tetap menjadi kisah masa lalu. Jadilah rasionalitas yang kemudian menjadi irasionalitas itu, harus dikembalikan pada rasionalitas masyarakat masa kini.

Dalam konteks kehidupan masyarakat masa kini, peristiwa dalam cerpen “Topeng”, “Dhawangan” atau “Jagal Abilawa” itu laksana mewartakan potret yang sesungguhnya tentang perilaku masyarakat yang kerap mencari pembenaran –legitimasi rasional—dengan menghadirkan sesuatu yang irasional. Pembangunan fisik, seperti jembatan, waduk, atau gedung-gedung bertingkat, mesti didahului dengan penanaman kepala kerbau atau upacara ritual yang bersumber dari berbagai mitos. Sejumlah menteri atau pejabat yang memelihara guru-guru spiritual, atau para selebritas yang dalam setiap tahun baru meminta para peramal meneropong karier mereka. Begitulah, batas rasionalitas dan irasionalitas menjadi begitu tipis. Dalam hal ini, mitos yang sebenarnya irasional itu, justru berfungsi sebagai sarana legitimasi, mengukuhkan optimisme, sebagai jaminan keamanan dalam menjalani kehidupan di masa depan.

Sawali Tuhusetya memang tidak bercerita secara eksplisit mengenai mitos-mitos itu. Ia hanya bercerita tentang sisi lain dari tradisi kesenian di Jawa. Tetapi makna cerpen-cerpennya sesungguhnya coba melakukan gugatan, memberi penyadaran, bahwa dalam beberapa hal, mitos sering kali malah menjebak, menjerat, dan orang yang percaya itu, akan terperosok pada kubangan sistem nilai yang kemudian berkembangbiak menurut pikirannya sendiri.
***

Secara tematis dengan pemanfaatan latar yang bermain dalam ruang lokalitas, Sawali Tuhusetya telah memilih wilayah yang aman. Ia bakal menonjol sendiri di antara bertebarannya cerpenis yang muncul belakangan ini. Meski begitu, titik tekan kepentingannya bukanlah di sana. Ada kekuatan lain yang tidak dimiliki cerpenis lain yang kecenderungannya sekadar mengandalkan kekuasaan bahasa, yaitu aura eksotisme yang hanya milik mereka yang akrab dengan dunianya. Kesenian Jawa dengan segala sistem kepercayaan, tata nilai, dan kisah-kisah supernaturalnya –dalam cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi ini—tentu saja berada dalam wilayah kekuasaan Sawali. Maka, ia menjadi khas, unik. Tetapi ketika ia dikaitkan dengan persoalan masyarakat (Indonesia) yang dalam kenyataannya tetap berada di tengah garis demarkasi antara tradisi dan modernitas, cerpen-cerpen Sawali Tuhusetya laksana menyodorkan kritik sosial yang tajam.

Dalam semangat multikulturalisme ketika kita bersepakat mengangkat keindonesiaan dalam keberagamannya, dalam keberbedaannya sebagai kekayaan kultural, maka langkah yang dilakukan Sawali Tuhusetya sangat mungkin memberi kontribusi penting. Penting, tidak hanya bagi pemerkayaan tema khazanah sastra Indonesia, tetapi juga penting sebagai pintu masuk memahami kultur keindonesiaan. Dalam konteks itu pula, pembelajaran sastra di semua peringkat sekolah, mestinya dilakukan dengan semangat multikultural. Dan karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai halaman depan memasuki rumah kebudayaan Indonesia. Sawali Tuhusetya dalam antologi cerpennya ini telah menyajikan sisi lain dari sebuah halaman rumah kebudayaan Indonesia dalam sajian yang menarik dan eksotik.
Sungguh, saya bahagia membaca antologi cerpen ini!

Bojonggede, 26 Januari 2008

Benteng Kebencian

Trisna
http://oase.kompas.com/

Siang itu matahari terasa lebih terik dari biasanya. Panasnya seolah menusuk setiap pori-pori kulit tubuh dan menembus hingga bagian dalam kepala. Angin yang bertiup pun terasa kering, karena asap kendaraan yang selalu memenuhi udara dan memberi warna kehitaman pada langit Jakarta.

Meskipun begitu, suasana hiruk pikuk tetap terlihat di sebuah terminal bus. Jika bukan karena tuntutan hidup, supir-supir angkutan umum, para pedagang, dan berpuluh-puluh penumpang itu akan memilih untuk tinggal di rumah, menghindari panas menyengat itu, sambil berharap, seandainya mereka bisa bekerja di sebuah ruangan ber ac milik perusahaan-perusahaan besar. Sebuah ‘andai saja’ yang juga mereka sadari, mungkin tak akan pernah tertulis dalam buku kehidupan yang dibuat Tuhan untuk mereka.

Di sebuah masjid dekat terminal itu, kumpulan artis jalanan cilik sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar gratis binaan sekelompok mahasiswa. Jauh di sudut ruangan itu, seorang gadis dengan gitar yang selalu dibawanya untuk mencari nafkah, terus memperhatikan sosok lelaki yang sedang mengajar. Matanya jauh menembus kedalam pikiran dan hati lelaki itu, berusaha mencari-cari sel saraf mana yang menyimpan dua buah kata ‘ingin berhenti’, dan sebuah ruang tempat rasa jenuh bersembunyi.

Dia tak juga menemukannya. Senyum sang guru terlalu hangat. Tawanya terlalu renyah. Perhatiannya terlalu alami. Semua terlihat seperti berasal dari dalam hati. Atau mungkin, aktingnya bagus sekali, batin gadis itu. Dia berpikir, mungkin lain kali bila ia kembali ke situ, ia sudah akan menemukannya. Akhirnya dia beranjak menuju terminal, kembali menjajakan suaranya di bus-bus ibukota.

Dia memasuki bus patas jurusan Thamrin yang hampir seluruh kursinya telah terisi. Dia menyanyikan lagu-lagu favoritnya. Dilihatnya satu persatu wajah penumpang bus. Penampilan mereka beragam, tapi entah bagaimana, matanya menangkap sebuah kesamaan. Individualis. Ya, di matanya hanya hal itu yang membuat mereka semua tampak sama, tak berbeda. Pandangannya jauh kedalam, mencari tahu yang tersembunyi dibalik setiap pasang mata. Dia tak perduli bila tatapannya tampak sinis, karena puluhan pasang mata yang dilihatnya pun tak jauh lebih baik. Arogan. Tak bersahabat.

Malam hari dia pulang ke rumah. Ayahnya yang seorang supir bajaj, sedang sibuk memperbaiki sebuah kipas angin butut, sementara adik lelakinya sudah tertidur pulas. Dia membaringkan diri di kamar, kembali memulai pertarungannya dengan malam yang tak pernah bisa mengantarkan dirinya terlelap. Malam yang selalu membawanya pada berbagai masalah hidup dan ingatan pahit tentang ibunya.

Dari celah gorden yang menjadi penutup kamarnya, dia bisa melihat punggung sang ayah. Ayah yang masih saja giat bekerja meski usianya tak lagi muda. Ayah yang tak pernah mengeluh meski banyak hal baik dirasa menjauh. Ayah yang telah mewariskan berjuta keteladanan tentang bagaimana bersabar. Dan bagian yang dibencinya dari warisan itu adalah kenyataan bahwa untuk bersabar, dia harus bisa berpikir positif. Karena untuknya, itu berarti dia harus selalu maklum, termasuk untuk setiap hal buruk yang orang lain lakukan padanya.

Dia selalu berpikir, entah bagaimana seseorang bisa selalu berpikir positif tanpa harus sakit hati dan menyimpan dendam. Dia ingat betul percakapan dengan ayahnya, saat ia bertanya tentang kepergian sang ibu. Ibu, yang di matanya hanya tampak sebagai makhluk individualis lain di muka bumi ini.
“Ibumu pasti punya alasan…” kata sang ayah.
“Itu sudah jelas. Dia bosan hidup susah. Dia ingin melepas tanggung jawabnya sebagai istri sekaligus ibu. Begitu kan Pak?” Gadis itu menjawab datar.
“Entahlah. Ibumu tak pernah mengatakan alasannya. Kalau memang benar begitu, wajar Nak. Manusiawi. Siapakah orang yang mau selamanya hidup dalam kemiskinan?

Itu tak sepenuhnya salah ibumu. Bapak pun bersalah karena tidak bisa memberikan hidup berkecukupan sebagaimana mestinya. Ya sudah. Biarlah. Ini yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk Bapak, untuk kalian. Mungkin ini yang terbaik”
Kata-kata itu lagi. Dia tahu, kata-kata itu bagi ayahnya, berarti sebuah mantra ampuh. Mantra yang membuatnya terus bersemangat untuk melanjutkan hidup. Mantra yang membuatnya percaya, akan selalu ada hal baik menunggu di luar sana. Kata-kata itu juga yang didengungkan banyak orang. Orang-orang yang selalu menyerahkan semuanya pada keadaan, orang-orang gagal, orang-orang yang dalam hidupnya salah membuat pilihan. Beberapa karena kepasrahan pada Yang Kuasa agar dapat bertahan, sementara yang lain demi sebuah pembenaran, bahwa mereka, tak melakukan kesalahan.

Dia teringat juga lain hari saat dia berbicara soal kakak lelakinya yang telah menikah, dan hampir tak pernah mengunjungi mereka.
“Maklum saja. Dia sudah berkeluarga. Dia punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Mungkin untuk itu saja tak mudah, apalagi bila harus memenuhi kebutuhan kita juga? Yang penting dia masih datang menengok sesekali…”
Sesekali yang amat jarang sekali, batin gadis itu.

Begitupun saat dirinya membicarakan keputusannya untuk berhenti sekolah saat SMA. Saat itu, dia diterima di salah satu sekolah negeri cukup ternama. Dia memutuskan keluar ketika pada semester dua, dia sudah diharuskan melunasi uang pendaftaran yang kemarin sempat ditangguhkan. Belum lagi biaya buku-buku dan akomodasinya yang juga tak murah.
“Sepertinya semua jadi sia-sia. Bapak sudah mengeluarkan uang banyak untuk sekolahku hingga SMA, sekarang harus berhenti. Pernahkah Bapak meyesal?”
“Dari SD hingga kemarin kamu masuk SMA, apa kamu senang?”
Gadis itu mengangguk.
“Maka Bapak tak pernah menyesal. Kalaupun ada penyesalan, itu karena tidak bisa membuatmu menyelesaikan pendidikan di SMA…”

Dibalikkan tubuhnya hingga menghadap dinding. Dipejamkan matanya. Ingatan terakhir telah merubuhkan benteng ketegarannya. Benteng yang dibangunnya demi menghindari serangan dari manusia-manusia yang tak pernah tampak manusiawi di matanya. Manusia yang mendewakan materi, manusia yang tak pernah menyadari kehadiran orang seperti ia dan keluarganya, manusia yang tak pernah tulus menghargai. Manusia yang mengukur segalanya dari harta dan jabatan. Dan betapa dia membenci mereka semua.

Benteng itu juga yang sering rubuh tiap kali ia tersakiti. Tapi dia paham kenapa. Fondasi bentengnya adalah campuran material yang tak seimbang antara sabar dan paham, sekaligus benci dan dendam. Dia membenci dirinya sendiri. Kalau saja material warisan sang ayah diterimanya, bentengnya tak akan pernah rubuh. Dia tak akan pernah terluka.

Matanya masih terpejam saat air mata bergulir dari kedua sudut matanya. Sekali lagi, malam menjadi satu-satunya saksi kejatuhan bentengnya, kerapuhan dirinya. Ia menahan sakit pada tenggorokannya agar isakannya tak terdengar. Pada akhirnya lelah mengantarnya terlelap. Dia bermimpi, dirasakannya seseorang menyentuh pipinya. Tangan kasar itu dengan halus menghapus jejak air mata di wajahnya. Sebuah mimpi indah baginya.

Lelaki itu masih memandangi putrinya yang tertidur pulas. Hatinya menangis. Setiap kali ia melihat kesedihan di wajah putrinya, ia hanya bisa berdoa lebih banyak lagi, berharap Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya, untuk semua orang seperti mereka di seluruh dunia.

Gadis itu sedang beristirahat di depan sebuah pertokoan tak jauh dari terminal. Dia mengenali wajah beberapa orang yang terlihat hilir mudik di pertokoan itu. Bukan karena mereka benar-benar kenalannya, tapi karena ia terlalu sering duduk di depan pertokoan, dan mereka terlalu sering berbelanja.

Seperti wanita cantik yang selalu kelihatan modis itu. Dia membawa banyak tas belanjaan di kedua tangannya. Seperti biasa pula, dia akan duduk di kafe sebelah pertokoan untuk menunggu sang supir datang dengan mobil sedannya. Lalu, hal yang tak biasa terjadi. Dia memanggil si gadis pengamen yang sudah sejak tadi, tidak, tepatnya sejak berminggu-minggu lalu, selalu menatap sinis padanya dari kejauhan.

Gadis itu mengambil tempat duduk di hadapan si wanita cantik. Tanpa berbasa-basi, wanita itu berkata,
“Berhenti memandang orang seperti itu…” Wanita itu meletakkan segelas moccachino yang baru diteguknya.
“Memandang seperti apa?” Gadis itu keheranan.
“Pandangan itu. Skeptis. Sinis. Kamu harus lebih sering berbicara dengan orang lain…”
“Maaf Tante, ini tentang apa ya?” Gadis itu masih tak mengerti.
Seolah tak perduli, wanita itu terus melanjutkan perkataannya.
“Buka pandanganmu lebih luas. Kamu akan menemukan dan kemudian paham, bahwa dunia ini, tak cuma dipenuhi orang-orang jahat. Tak semua orang tak peduli. Mungkin, jenis orang-orang yang tak kau sukai itu memang bertebaran di muka bumi ini, tapi kamu tahu? Orang sepertimu juga tak sedikit. Orang yang sibuk mempertanyakan banyak hal, sibuk membenci semua orang…”

Ditatapnya wanita yang sejak tadi dia rasakan tengah menegur dirinya. Dia telah mengerti apa yang dimaksud wanita itu. Meski terdengar sok tahu, tapi entah bagaimana, wanita itu seolah bisa mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan dirinya.
“Aku beritahu padamu. Yang sebenarnya Kamu benci bukan mereka, tetapi nasib dan ketidakberdayaanmu sendiri. Nikmati saja hidup, tak peduli betapa tak beruntungnya dirimu, tak peduli bila tak ada yang mau memperhatikanmu…”

Supir sudah datang dengan mobil sedan silver-hitamnya. Tanpa menunggu perintah, dimasukkannya tas-tas belanjaan itu ke dalam mobil. Sang majikan memintanya menunggu di dalam mobil.
“Seharusnya Tante juga yang paling mengerti bahwa semua itu tidak mudah. Praktik selalu lebih sulit daripada teori bukan? Tante butuh berapa lama untuk menyadari semua?” Kali ini, si gadis berbalik seperti memahami wanita itu, yang sejenak, memperlihatkan raut wajah terkejut.
Wanita itu tidak menggubris pertanyaan terakhirnya.
“Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Membayangkan dirimu akan kehilangan banyak momen indah dalam hidup, mungkin akan membantumu kembali berpikir”
“Aku tidak punya apa-apa, apa yang bisa hilang?”
Wanita itu menghela napas.
“Kalau kamu terus begitu, mungkin kemanusiaanmu yang akan hilang. Bila Kamu begitu membenci sesuatu, hanya ada dua kemungkinan. Kelak Kamu benar-benar menghindari sesuatu itu, atau sebaliknya Kamu menjadi bagian dari sesuatu itu.
Kamu masih muda. Ubah stereotyping mu terhadap orang-orang, karena pikiranmu itulah yang akan terus membuatmu tersakiti.”

Wanita itu bangkit dari duduknya. Dia membuka tas dan mengambil sebuah amplop berisi sejumlah uang yang telah dipersiapkannya untuk diberikan ke sebuah yayasan.
“Ini untukmu. Lanjutkan sekolah.”

Si wanita baru akan beranjak pergi, ketika gadis itu berkata sesuatu yang mengejutkannya.
“Ada kemungkinan ketiga bukan? Menghindari sesuatu itu, dengan menjadi bagian darinya. Tante memilih itu…”
“Hidup hanya hitam putih. Manusia memilih abu-abu. Sudah biasa kan?” Kata wanita itu tanpa memalingkan wajah pada si gadis. Dia tersenyum dan berjalan menuju mobilnya.
“Ke yayasan, Nyonya?” Tanya si supir.
“Nggak. Kita ke ATM dulu…”
Gadis itu masih memegang amplop.
Tujuh juta rupiah.

Dia masih terpana, memandangi mobil si wanita yang sudah tak tampak lagi di depan mata. Uang itu serta merta membuat pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Semua masih samar. Hanya sebuah rencana yang tergambar jelas di pikirannya. Dia akan membangun kembali fondasi bentengnya, kali ini tanpa material benci dan dendam. Dia tahu, pembangunan itu akan menghabiskan banyak malam…
*****

Taman Labirin di Kaki Bukit

Rama Dira J
http://oase.kompas.com/

AKU mendengar sesuatu. Denting shamisenkah itu? Hmm, begitu cantik. Siapa yang memainkan? Pasti dia juga cantik. Langkah kakiku makin bersemangat menuju ke arah kaki bukit. Denting shamisen di pagi buta itu telah menghipnotisku.

Dulu aku pernah mendengar denting shamisen yang cantik. Tapi bukan di tempat ini. Aku mendengarnya di Kyoto. Gadis cantik di sebelah apartemenku yang memainkannya. Namanya Kiyoko. Ah, Kiyoko. Aku sudah terlanjur menjadikannya bagian dari masa laluku. Kami pernah menjalin hubungan, meski tak berumur lama. Aku memutuskan hubungan kami ketika tiba saatnya aku harus meninggalkan Kyoto, setelah studiku selesai.

Kini, aku kembali mendengar denting yang serupa. Aku berani memastikan, yang memainkan shamisen ini pasti cantik, sebab Kiyoko cantik. Meski Kiyoko pernah mengatakan padaku bahwa tak ada hubungan antara denting shamisen dengan kecantikan pemetiknya, aku sudah terlanjur yakin, jika yang memetik shamisen adalah perempuan cantik maka denting shamisen yang dihasilkan juga cantik.
Mulanya, denting yang kudengar kali ini malu-malu, hanya sayup-sayup saja, seperti petikan-petikan yang berasal dari mimpi. Tapi kini, ia begitu bening, mengalun lembut, membuai-buai, menyusup menembus kabut yang mengapung, bergulung-gulung dalam hembusan angin, menghantam dinding bukit, terpelanting hingga ke lembah.

Huhh….. hanya tangan putih gemulai dengan jari-jari lentik, yang bisa menghasilkan petikan secantik itu. Aku mempercepat langkah. Kabut di depanku berhamburan perlahan untuk kemudian lenyap seperti ada tangan raksasa yang menyibaknya, memberi restu jalanku kepada si pemetik shamisen.

Pagi belum sempurna sebenarnya. Matahari masih malu-malu di ufuk timur. Aku terus berjalan dengan tas ransel di pundak yang dipenuhi dengan peralatan fotografi. Denting-denting itu semakin jelas, seperti sengaja diperdengarkan khusus untukku supaya segera mendatangi si pemetiknya.

Kesenyapan kaki bukit yang dihiasi kecantikan denting shamisen itu tiba-tiba terganggu oleh deru iringan truk bermuatan penuh manusia yang dengan susah payah berjuang mendaki di jalan yang menanjak. Truk-truk itu kemudian menyalipku. Setelah berbelok pada jalan yang menikung di depan sana, truk-truk itu berhenti. Dari atasnya para gadis pemetik teh yang berasal dari lembah, berloncatan keluar. Mereka semua mengenakan caping bambu yang lebar di kepala dan sepatu karet tinggi di kaki serta keranjang bambu di pundak. Tanpa buang banyak waktu, mereka bergegas menuju ke kebun teh untuk segera memetik pucuk-pucuk dedaunan di sana.

Matahari sudah muncul sempurna. Semakin dekat saja denting shamisen itu. Aku bergegas, tak sabar bertemu dengan pemetiknya, khawatir kalau-kalau ia tiba-tiba berhenti dan aku pun kehilangan jejak. Jalan mendaki yang kulewati kini, lurus membentang. Di depan mataku, persis di kaki bukit, kulihat ada sebuah vila besar bergaya Renaisans, yang seolah-olah mendadak muncul dari balik kabut. Denting shamisen terdengar jelas dari arah vila itu, aku jadi tak ragu mengarah ke sana.

Tiba di depan vila itu, tak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat. Hanya denting shamisen yang membuatku yakin kalau vila itu dihuni. Aku memencet bel di depan pagar besi yang berdiri kokoh dengan ujung-ujung seperti tombak menghujam langit. Denting shamisen berhenti. Dari jalan kecil di samping vila itu muncul seorang perempuan berbusana tidur panjang. Dari jauh, ia sudah tersenyum ramah menyambutku. Di balik pagar, ia langsung menyapa, “Ada yang bisa saya bantu?”

“Ya. Dari tadi, saya mendengar petikan shamisen yang indah di sekitar sini. Saya ingin berkenalan dengan pemainnya. Apa benar berasal dari vila ini?” Ia tak segera menjawabku. Sebentar, ia memandang mataku. Mungkin, setelah yakin kalau aku orang baik-baik, ia akhirnya mengiyakan apa yang kutanyakan.
“Jadi, Anda pemetik shamisen itu?” tanyaku lagi setelah ia membukakan pintu pagar, mempersilahkan aku masuk.
“Ya…” jawabnya pelan dengan desahan.

Sekali lagi, apa yang menjadi keyakinanku bahwa denting shamisen yang cantik hanya bisa dihasilkan oleh pemetik yang cantik, mendapatkan pembenaran kali ini. Perempuan ini cantik, meski tak lagi masuk dalam kategori gadis muda. Perempuan itu mengajakku melintasi jalan kecil di samping vila untuk menuju ke taman belakang.

Taman itu adalah taman yang ditata sedemikian rupa, dimana tanaman-tanaman pangkasnya yang hijau seluruh, dibiarkan tumbuh setinggi tubuh orang dewasa, membentengi jalan kecil yang melingkar-lingkar yang tak kuketahui dimana ujungnya. Di bagian tengah taman itu ada sebuah ranjang spring bed yang besar dengan naungan fiberglass permanen yang terpasang di atasnya. Di atas ranjang itu terbaring sebuah shamisen. Perempuan itu duduk di tepi ranjang sementara aku duduk di hadapannya, pada bangku batu. Untuk memecahkan suasana asing aku kemudian memperkenalkan diri kepadanya. Kukatakan bahwa namaku Nino, fotografer dari sebuah majalah fotografi di Jakarta dan aku datang ke daerah Puncak ini untuk mengambil foto aktifitas pemetikan teh yang ada di kebun teh.

“Jadi, Anda wartawan?” Ia menanyaiku dengan ekspresi penuh kecurigaan sambil menuangkan teh dari teko ke gelas kecil yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Sempat kuperhatikan tangannya. Sekali lagi aku benar. Tangan itu adalah tangan putih gemulai dengan jari-jari lentik penghasil petikan yang cantik.

“Bukan, saya hanya fotografer. Saya bukan wartawan.” Mendengar itu, ia tersenyum lantas mulai bercerita kepadaku bahwa ia takut bertemu dengan wartawan. Ketika kutanya mengapa, ia bilang dirinya merupakan bagian dari rahasia seseorang yang mempunyai kedudukan politis yang penting di negeri ini. “Dia anggota dewan”. Katanya lagi, jika sampai ada wartawan yang mendatanginya dan kemudian mengendus rahasia ini, maka tamatlah karir yang dimiliki kekasihnya itu. Tanpa malu-malu ia memberikan pengakuan yang lebih jauh lagi kepadaku bahwa dia berstatus kekasih simpanan.

“Sudah tiga bulan ia tidak menandatangiku. Ia sibuk melawat ke luar negeri.”

Aku hanya mengangguk tak begitu peduli dengan pengakuan yang disodorkan oleh perempuan itu. Ia kembali duduk di ranjang. Ia ambil shamisennya untuk kemudian ia petik, mengiringi acara minum teh kami. Dalam iringan shamisen ia kembali bercerita, “Sebenarnya, aku tidak pernah mengira hidupku seperti ini. Tinggal di vila besar, penuh dengan kemewahan, tapi dibiarkan sendirian, bahkan tanpa pembantu” Ia melanjutkan bahwa kekasihnya meminta ia tetap tinggal di dalam vila itu seorang diri agar perselingkuhan sang kekasih tidak diketahui oleh keluarganya dan media. Jadilah ia kini sebagai perempuan yang selalu menunggu.

“Akhir-akhir ini aku mulai menyadari bahwa harta yang memang menjadi motivasi awalku untuk menjalin hubungan dengan kekasihku itu, tak bisa menghasilkan kebahagiaan sebagaimana yang kukira. Dan, ia tidak pernah menyadari bahwa aku juga membutuhkan perhatian dan kejelasan status.” Ia berhenti memetik shamisen untuk menyeruput tehnya. Ia kembali bercerita sambil memetik shamisen setelah cangkir di tangannya tandas.

“Sampai sekarang ini, ia tidak berhenti membanjiriku dengan uang dan hadiah. Padahal, aku tak begitu butuh semua itu. Aku menginginkan dirinya. Aku ingin dia segera menikahiku. Jika aku mengatakan itu padanya, ia tak pernah menanggapinya dengan serius.” Ia berhenti memetik shamisennya, membaringkannya.
“Shamisen ini ia beli di Kyoto dua tahun yang lalu waktu ia ikut lawatan ke Jepang. Ini adalah jenis shamisen yang langka. Harganya mahal. Hanya ini pemberiannya yang kusuka. Shamisen dari Kyoto..”
Kyoto? Aku jadi teringat dengan Kiyoko. Jangan-jangan itu shamisen milik Kiyoko. Kiyoko menjualnya setelah aku meninggalkannya. Mungkinkah itu? Ah, pikiranku terlalu jauh.

Aku mendekat, mengambil shamisen itu setelah ia menyodorkannya kepadaku. Kuperhatikan, memang ini adalah shamisen jenis yang langka, sudah jarang ada di pasaran. Tiga dawainya terbuat dari benang sutera. Bagian kepalanya tertutup kulit yang berasal dari kulit kucing. “Ya. Ini memang shamisen yang langka.” Aku kembali memberikan shamisen itu kepadanya dan ia mulai lagi memetiknya. Aku kembali duduk, mengambil cangkir tehku, menghirupnya sedikit demi sedikit sambil terus menikmati denting yang cantik dari shamisen itu.

Ia terus bercerita bahwa dulunya ia sempat kuliah di sekolah seni selama enam semester. Ia mengambil jurusan alat musik tradisional. Selama dua semester itulah ia sempat belajar memetik shamisen. Namun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti kuliah setelah berkenalan dengan kekasih yang menawarkan kehidupan yang penuh dengan janji kebahagiaan itu. Meski orang tuanya menentang keputusan itu, ia tidak peduli. Malahan ia melangkah lebih jauh lagi. Ia menerima saja untuk dijadikan sebagai kekasih simpanan lelaki yang sudah beristri itu. Orang tuanya menjadi semakin murka mendengar kabar tersebut hingga kemudian membuat mereka tak lagi menganggapnya sebagai anak.

“Akhir-akhir ini, aku kangen pada mereka semua. Aku kangen ibu, ayah dan adik-adikku.” Dari air matanya yang menitik, aku tahu ia sudah lama merasakan kesepian yang menyakitkan. Aku mencoba menenangkannya. Dengan berlagak agak sok tahu, aku bilang padanya bahwa konsekuensi yang diterima sebagai orang kedua memang selalu tidak enak. Aku kemudian mencoba memberinya usul, kalau memang ia ingin lepas dari kesepian dalam penjara kemewahan itu, ia harus meninggalkan vila dan semua kenangan bersama sang kekasih yang sejak mula sudah ia ketahui telah menjadi milik orang lain itu.
“Aku mencintainya dan katanya dia juga mencintaiku.”
“Oh, kalau begitu, lain soal. Ini masalah perasaan. Aku tidak bisa mengusulkan sesuatu yang bisa menjadi solusi.”

Aku kemudian diam, ia kemudian bercerita lagi bahwa taman labirin ini adalah salah satu bentuk realisasi rasa cinta sang kekasih kepadanya. Kekasihnya membuat taman labirin itu karena memang perempuan ini mengimpikan taman semacam itu semenjak ia kecil. Di taman itulah katanya mereka menghabiskan banyak waktu jika sang kekasih datang.

Ia terus menumpahkan segala macam rasa kesepiannya kepadaku. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Sementara itu, sinar matahari mulai bisa menembus masuk ke dalam taman labirin. Aku kemudian mempertimbangkan untuk pamit pada perempuan itu sebab dalam pikiranku, inilah saat terbaik untuk mengambil foto para gadis pemetik teh. Setelah kukatakan itu, ia tidak mengijikan aku pergi. Ia malah memohon padaku untuk di sana dulu beberapa saat.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu” katanya kemudian, sambil menarik tanganku, mengajakku menuju ke bagian dalam taman labirin itu. Aku pun menurut saja ke mana ia membawaku. Kami terus berlari masuk dan masuk. Membelok ke kiri, ke kanan, menemukan jalan buntu, kembali lagi ke arah semula, mencari jalan lagi, berjalan terus masuk, keluar, masuk, keluar, jalan buntu, kembali lagi, jalan lagi.

Katanya, ia sekedar ingin menunjukkan apa yang selama ini sering ia lakukan bersama sang kekasih. Untuk menenangkan nafasnya yang sudah satu-satu, ia mengajakku duduk pada sebuah bangku batu. Di tengah diam kami yang tiba-tiba, aku menagih janjinya, “Boleh saya pamit sekarang?”. Bukannya mengiyakan, ia malah tertawa dan dengan santainya berkata, “Aku tak tahu jalan keluar.” Aku panik, dia malah menarikku, memelukku, membawaku bergulung-gulung di atas rumput permadani yang ada dalam taman labirin itu.
*****

DENGAN wajah yang dihiasi senyuman penuh kebahagiaan, ia berdiri di balik pagar untuk melepas kepergianku. Kami baru saja menemukan jalan keluar dari taman labirin itu ketika matahari sudah condong ke barat. Aku segera meninggalkannya, meninggalkan vila itu, meninggalkan taman labirin, meninggalkan sebuah peristiwa, menuju ke kebun teh untuk mengambil foto para gadis yang tengah memetik teh dalam lanskap senja.
Semakin menjauh dari vila itu, justru kudengar denting shamisen cantik yang makin mendekatiku. Mendadak, aku kembali teringat Kiyoko di Kyoto.

Jogja 2007 – Tarakan 2008

Bidadari dari Desa

Aba Mardjani
http://oase.kompas.com/

BAGI Ratri, langit di Cibaresah selama sebulan ini selalu saja biru. Bagi gadis kecil itu, langit di Cibaresah adalah padang angkasa luas tempat karnaval awan-awan yang tak pernah jemu dinikmatinya setiap hari. Gumpalan kapas yang putihnya amat kemilau itu seakan tak pernah bosan memamerkan segala keindahannya yang mengagumkan. Langit Cibaresah seakan tak pernah memperlihatkan kepekatannya. Kalaupun langit itu menangis, air matanya selalu luruh di malam hari saat seluruh warga dibuai lelap.

Itu pun berupa tempias halus atau gerimis. Seingat Ratri, sejak bulan lalu, tak pernah ada hujan lebat di kampungnya. Langit seolah telah kehabisan airnya. Sama seperti Ratri yang tak mampu lagi mengalirkan air mata di kala ia menangis di malam yang sepi dalam dekapan dingin kampungnya.

Sebulan lalu kebahagiaan gadis berusia 7 tahun itu direnggut alam yang seolah murka. Bapak dan emak serta Giwo kakaknya pergi untuk selama-lamanya bersama luruhnya lereng bukit akibat pohon-pohon ditebangi warga secara serampangan. Sejak itu, tak ada lagi tempat bagi Ratri untuk mengadu dan berkeluh kesah.

Tak ada bapaknya yang selalu pulang dari kebun dengan seikat jagung muda di tangannya. Tak ada lagi ibu, wanita yang tak pernah kehabisan dongeng-dongeng indah atau terkadang lucu menggelikan. Dongeng-dongeng yang selalu dirindukan Ratri saat waktu tidur tiba. Tak ada lagi Giwo yang selalu berada di depannya bila ia disakiti teman bermainnya, laki-laki atau perempuan.

Ratri ingat sekali peristiwa setelah magrib kelabu itu. Ia tengah belajar mengaji di sebuah rumah tak jauh dari rumahnya. Sendirian karena Giwo membandel ketika disuruh ibunya pergi mengaji bersama Ratri. Ia bilang mau menyusul belakangan. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara gemuruh. Lalu orang-orang berlarian menuju lokasi rumahnya yang telah tertimbun tanah longsor. Mereka berupaya menolong. Sebisanya. Dengan peralatan seadanya. Sambil terus berdoa dan berharap semoga orang-orang yang tertimbun tanah yang menggunung itu bisa diselamatkan.

Tapi bapak dan emak serta kakaknya tak lagi terselamatkan. Ratri menangis sekerasnya. Menjerit sekencangnya. Membelah kegelapan Cibaresah. Ia berharap orang-orang yang dicintainya terbangun mendengar lengkingan tangisnya. Ia berharap orang-orang yang selama ini menyayangi dan melindunginya bukanlah jasad-jasad yang kini terbujur kaku.

Tak ada yang bisa mencegah ketika Ratri kemudian menghabiskan hari-harinya di pekuburan bapak, emak, serta Giwo kakaknya. Di sana ia menemukan dunia baru. Dunia yang damai dalam terpaan angin lembut di bawah payung rindangnya pepohonan. Di sana ia bisa bermain masak-masakan sembari berceloteh sendirian. Tanpa rasa lelah dan bosan. Di sana ia kadang-kadang bermain boneka-bonekaan terbuat dari gumpalan kain bekas sembari sesekali cekikikan. Berada di antara pekuburan keluarganya Ratri tak lagi merasa sendirian.

Untuk makan Ratri tak pernah pusing. Setiap hari selalu ada warga yang membawakannya makanan. Apa saja. Dan Ratri memakan semua yang disuguhkan. Untuk tidur di malam hari pun Ratri tak pernah risau. Ia bisa membuang lelahnya dan kemudian lelap di mana ia suka tanpa ada yang tega melarang. Setiap balai-balai terbuat dari bambu yang ada di hampir semua teras rumah penduduk adalah tempat yang nyaman baginya. Dan, begitu kokok ayam jantan terdengar ditingkahi suara cerewet burung-burung prenjak yang kelaparan, ia membuka matanya.

Sama seperti pagi ini, ketika ia membuka matanya di balai-balai Pak Somad yang letaknya tak seberapa jauh dari kompleks pekuburan wakaf itu. Laki-laki setengah tua itu membelai rambut Ratri yang kusut karena tak pernah kena air dan disisir. Sepiring singkong rebus sudah tersedia di sampingnya. Aroma sedapnya membuat caping hidung Ratri kembang kempis.
"Ayo makan. Perutmu pasti kosong, Rat."

Pak Somad adalah tukang bersih-bersih kuburan yang setiap hari, tanpa diminta, dan tanpa bayaran, menjaga serta mengawasi Ratri. Ia yang selalu mengingatkan Ratri untuk beristirahat dari bermain bila matahari telah tergelincir dan sinarnya tumpah di pekuburan orangtuanya. Sesekali Ratri menurut. Sesekali ia seperti sama sekali tak mendengar suara Pak Somad dan terus bermain sampai matahari benar-benar menyelinap di balik perbukitan.

"Sudah hampir sebulan kamu begini, Rat," Pak Somad seolah bergumam. "Sayang sekali kamu tak mau diambil sebagai anak oleh Pak Jaya yang kaya raya itu."

Ratri terus menyantap singkong mentega berwarna gading itu. Matanya terus menatap pekuburan ketiga anggota keluarganya.
"Oya, hari ini Pak Somad dengar orang-orang kota yang sedang membuat film seram yang nantinya mau dimasukkan ke televisi itu akan datang lagi. Ini hari yang terakhir. Bagaimana menurutmu, Rat?"

Ratri tak menjawab. Terus mengunyah singkong. Diam-diam Pak Somad mengamati wajah gadis kecil di hadapannya itu. Diam-diam ia mengagumi garis kecantikan pada wajah bocah itu. Andaikan ia hidup bersama orang berharta dan berkecukupan, Pak Somad membatin, tentulah Ratri bakal terlihat amat cantik. Sayang ia tak bisa dibujuk untuk menuruti keinginan Pak Jaya, begitu Pak Somad mengenalnya, yang siap membawa Ratri ke kota jika ia bersedia. Pak Jaya adalah salah satu pemain film yang sangat ramah dengan para penduduk setempat.

Sekitar pukul sembilan pagi serombongan orang dengan pakaian serba indah datang lagi ke kompleks pekuburan wakaf itu. Seperti juga kemarin, kini pun para wanita-wanita jelitanya datang dengan wajah bening seperti tanpa bekas noda. Senyum mereka sumringah. Tak ada yang jelek di mata Pak Somad membuatnya tak mampu berkedip.

Yang mengherankan Pak Somad, hari ini tiba-tiba Ratri jadi berubah begitu ceria. Ia tanpa ragu-ragu mengungkap kekagumannya pada kecantikan wanita-wanita itu.

"Mereka cantik sekali. Wajah mereka bening. Kayak bidadari," katanya di telinga Pak Somad membuat Pak Somad terperangah. Belum pernah ia melihat Ratri seceria itu.
"Saya pun ingin seperti mereka."

Pak Somad agak terkejut. Dipandanginya wajah gadis itu. Wajah yang polos dengan gurat-gurat kecantikannya yang tak terawat. "Ratri bisa seperti mereka kalau Ratri mau," katanya dengan hati-hati. Ia masih menerka-nerka isi hati Ratri. "Bukankah sudah saya katakan bahwa Pak Jaya ingin mengambilmu sebagai anak? Kamu tinggal bilang ya, maka semuanya akan beres."

Tanpa diduga, Ratri mengangguk pelan membuat Pak Somad berjingkrak gembira. Saat itu juga jauh di lubuk hatinya melintas bayangan seorang bidadari cantik dari desa Cibaresah bernama Ratri yang kemudian menjadi terkenal. Agak tergopoh-gopoh ia kemudian menemui Pak Jaya. Laki-laki simpatik itu tengah istirahat di bawah pohon.

"Apa saya tak salah dengar?" laki-laki dengan kumis tebal itu memandangi wajah Pak Somad.
"Kalau benar begitu, besok saya jemput. Pak Somad bisa membantu Ratri membereskan segala sesuatunya."

***

Malam itu Ratri duduk sendirian di gubuk Pak Somad. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun langit memamerkan kebiruannya. Awan-awan putih yang bergumpal bagai cendawan berjalan beriringan.

Pada diamnya melintas kembali dalam benak Ratri tentang para bidadari yang tadi siang tampil untuk terakhir kalinya di desanya. Orang-orang menyebut bidadari-bidadari itu bintang film. Ia kemudian tersenyum. Terbayang wajah Pak Jaya, laki-laki yang sangat baik yang ingin membawanya ke kota.

Pelan-pelan Ratri lalu melangkah menuju pekuburan tempat ayah dan ibunya serta Giwo kakaknya berbaring. Di sana air matanya meleleh.

"Maafkan aku, emak, bapak, dan kak Giwo," suara Ratri pelan. "Besok aku akan pergi ke kota. Tapi, aku berjanji akan selalu datang menjenguk emak, bapak, dan kak Giwo."

Sepi menyungkup. Ratri menarik napas. "Malam ini, aku akan tidur di sini. Aku ingin minum dan mandi embun bersama bunda, bapak, dan kak Giwo."

Ratri merebahkan tubuhnya di sela-sela ketiga makam itu. Tanpa alas apa-apa. Dalam telentang ia pandangi birunya langit dan putihnya awan. Udara dingin membuat tubuhnya agak menggigil. Tapi Ratri tak peduli. Untuk terakhir kali sebelum meninggalkan Cibaresah, ia ingin betul-betul berada di dekat orang-orang yang dicintainya. Ia tak ingin meninggalkan mereka begitu saja. Beberapa saat kemudian, ketika embun bening mulai turun, mata Ratri pun terpejam.

***

Di pagi buta keesokan harinya Pak Somad menangis sekeras-kerasnya sambil memeluk Ratri. Tubuh itu telah lunglai. Di mata Pak Somad seluruh tubuh Ratri tampak begitu bening. Belum pernah ia melihat Ratri sebening itu. Ia bahkan lebih bening dibandingkan para bintang film yang kemarin berdatangan ke pemakaman itu. Ratri benar-benar telah menjelma menjadi seorang bidadari.

September 2005/Oktober 2008

Tetanggaku Cina

Weni Suryandari
http://oase.kompas.com/

“Ma........Mama, Bu Mita udah pulang!” celoteh yang biasa kudengar setiap kali aku baru pulang mengajar dan baru mau membuka pintu pagar. Rumah yang terletak di hadapan rumahku itu selalu ramai dengan celoteh anak-anak kecil, si kembar dan si bungsu. Ketiganya laki-laki semua.

Aku menengok dan tertawa melihat celoteh mulut-mulut kecil itu. Mereka berebutan naik ayunan bahkan celah-celah pagar untuk bisa mengintipku dari balik pagar yang ditutupi fiberglass
“Iya, kenapa sayang? Ibu masuk dulu, ya?” Aku menyahut sambil membuka pagar.
“Ibu capek ya? Habis ngajar ya?” ah, anak itu sebenarnya santun. Pasti kalimat itu ditirunya dari sang mama. Biasanya sang Mama berada di dalam sambil membaca majalah atau menonton televisi. Papanya masih berdagang di pasar Kecapi, wilayah Pondok Gede, sebuah toko emas miliknya sendiri.

Siang itu, terik matahari meruapkan hawa panas pada tekanan atmosfir yang begitu pengap, menggigit seluruh permukaan kulitku, membuat suhu tubuhku meningkat. Bajuku basah di bagian punggung dan dada oleh keringat yang mengucur deras. Hal pertama yang ingin kulakukan adalah segera masuk ke kamar dan melucuti seluruh pakaian dinasku. Seperti biasanya aku langsung berbaring sambil menikmati udara dingin dari AC kamarku yang sudah dinyalakan oleh anak sulungku yang tiba lebih dulu dari sekolahnya di sebuah SMP di bilangan Halim, Jakarta. Jika sudah begini, aku tak bisa mendengar kicauan bocah-bocah itu dengan jelas, karena jendela tertutup rapat.

Ya. Sebuah keluarga Tionghoa tinggal persis di hadapan rumahku. Keluarga kecil bahagia sejahtera. Terdengar klise, tapi ini fakta. Mareka pandai berbaur dengan lingkungan Pribumi. Suami istri itu tak pernah memikirkan perbedaan warna kulit, mata, agama diantara kami. Aku muslim, berjilbab dan ia berpakaian biasa. Ia sering mengajakku pergi kemanapun yang kami inginkan Kebetulan aku bisa menyetir mobil dan ia belum lancar berkendara di jalan raya. Dari itulah kami saling membutuhkan sebagai teman bercerita selama perjalanan yang biasanya kami tempuh berdua. Ke mal-mal seputar Jakarta bahkan ke Bandungpun kami tempuh sendiri, tanpa dampingan laki-laki, suamiku maupun suaminya. Ia menungguiku melaksanakan sholat di Mushalla mal. Kadang pula kami pergi bersama dengan anak-anak kami.

Bocah-bocah itu, si kembar laki-laki yang sangat lucu berusia 5 tahun dan adik bungsunya yang baru 2,5 tahun. Mereka bergaul dengan keluargaku tanpa memandang bahwa aku berkulit gelap bermata bulat lebar, artinya tidak sipit dan berkulit putih seperti keluarga mereka. Akupun tidak merasa canggung bergaul dengan mereka, karena keterbukaan mereka (atau keterbukaanku juga?) dalam bertegur sapa.

Setiap pagi kudengar suara-suara ribut mereka berceloteh riang hendak berangkat ke sekolahnya, sebuah TK di sekitar perumahan kami. Bahkan pada sore hari, ketika mereka sedang bermain di jalanan depan rumah, terdengar suara mereka dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar. Kadang mengetuk-ngetuk pintu pagarku sekedar untuk mengadukan kenakalan adik atau kakaknya. Maklum lingkunganku adalah perumahan kelas menengah, BTN bertipe 45 yang sederhana.
“Pak Kardi.....Pak Kardi...........Tian belum mandi!” Atau, “Pak Kardi........Pak Kardi.............Christoper main becek-becekan nih, gak mau pake sandal!” Aku tersenyum lucu. Meski yang dipanggil-panggil adalah suamiku, aku juga yang menyahut karena suamiku belum pulang dari kantor.

“Ayooo...........siapa yang gak mau mandi? Bukan anak pintar kalau gak mau mandi!” barulah yang disebut tadi buru-buru masuk pagar rumahnya, dan bilang,
“Aku mau mandi, aku mau mandi!” sambil terbirit-birit masuk dengan tidak bercelana. Mamanyapun kadang kewalahan menghadapi kenakalan anak-anak itu. Bagiku, anak-anak tetaplah anak-anak. dengan kelincahan dan kepolosan tingkahnya tanpa dipengaruhi dunia pikiran orang dewasa. Tak peduli Cina, Jawa, Ambon, Batak atau Belanda sekalipun. Aku senang karena mereka memelihara wibawaku sebagai Ibu Guru. Mamanya selalu menekankan pada mereka bahwa aku adalah Ibu Guru.
“Awas lo, ada Bu Guru. Nanti mama bilangin ke Bu Guru!” begitu bila didapatinya anak-anaknya sulit makan ketika disuapi. Biasanya mereka menurut dan terbirit-birit masuk rumah dengan berteriak............
“Bu Mita............aku mau mandi!” sambil terbirit-birit masuk rumah dengan tertawa riang. Jika mereka sudah mandi, mereka akan memberikan laporan singkat padaku
“Bu........Toper sudah mandi. Tian juga ! “ Dengan senang hati aku tertawa mendengar perbincangan mereka dari teras rumahku. Aku sama sekali tidak terusik dengan kehadiran mereka, karena mereka adalah tetangga yang menyenangkan dan tak terlalu usil pada tetangga sekitar.

Ci’ Abuy, begitu aku memanggil ibu dari si kembar, Christian dan Christoper, adalah sosok yang lugu. Tak terlalu bangga dengan ke-Cinaannya dan tak terlalu perduli tentang perbedaan etnis ini. Suatu hari aku mampir ke rumahnya sepulang mengajar, bercerita banyak hal tentang kejadian di sekolahku. Kutanyai anak-anak itu,
“Ayo........mana bukunya, Ibu mau lihat, sudah belajar apa saja? Sudah
bisa nyanyi apa?” Mereka tertawa girang berebutan mengambil tas masing-masing dan menyerahkan buku-buku tulisnya padaku.
“Ini.......ini! Kokoh sudah sampai huruf sa pu! ” Si Kakak menghambur kehadapanku membolak-balik bukunya. Adiknya berebut menyela
“Ini.....ini. Dedek sudah sampai sini!” ditunjuknya deretan huruf sa pi

Aku tertawa mengamati buku-buku mereka. Kusuruh mereka menyanyi satu persatu bergantian, lagu-lagu TK yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah. Mereka segara menyanyikan lagu Pelangi-pelangi, Taman Kanak-kanak, Naik Kereta Api, dan sebagainya. Ah.......mereka lancar membawakan lagu-lagu itu. Lidahnya bukan lidah Cina, meski agak samar pengucapan huruf “r” nya.

Dengan wajah tulus aku bertepuk tangan ketika mereka selesai menyanyi. Kuberikan soal hitungan di buku mereka masing-masing, berebutan mereka menjawab adu cepat. Sambil tertawa-tawa bangga akan dinilai oleh Bu Guru yang sebenarnya bukan gurunya. Kunilai juga keduanya dengan angka seratus dengan tanda tanganku dibawahnya. Mereka kegirangan dan berebutan duduk disebelahku. Berbagai permen dan makanan disuguhkan padaku. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Kubilang, “Tidak nak......Ibu sudah kenyang!”

Pernah suatu hari anakku yang bungsu berulang tahun. Seperti biasanya aku membuatkan nasi kuning dan kukirimkan pada tetangga sekitar, tanpa merayakannya dengan pesta di rumah. Hanya kusisipkan kata-kata dalam secarik kertas dari komputer bahwa hari ini 15 Desember Qonita berusia 7 tahun. Disertai tulisan permohonan ucapan doa dari tetangga sekitar sebagai penutup pada kartu ucapan itu..

Dua hari setelah itu Ci’ Abuy bertandang ke rumahku. Ia amat menyesal tidak dapat membantuku. Dengan ekspresi kecewa ia ungkapkan penyesalannya karena tak membantu. Yah, memang menurutku tak perlu memberi kabar karena aku terbiasa memasak sendiri apalagi dengan lauk yang tak banyak macam.
“Ibu kok gak ngasih tahu saya. ‘Kan saya bisa bantuin masak. Kok diam-diam sih?” ujarnya
“Ah, Cuma masak sedikit Ci’! Gampang kok, aku takut ngerepotin kalau minta bantuan!” jawabku tersenyum.

Ia biasa ringan tangan. Jika ia tidak sedang pergi kemana-mana kalau di RT ku ada acara khusus dan kami masak banyak, ia tidak berat hati terjun membantu meski bersimbah peluh di dapur siapapun. Padahal kulit putihnya yang bersih dan wajahnya yang cantik (agak sedikit di bawah Gong Li), sering kuanggap tak patut belepotan masakan dan berbau bumbu. Begitulah keakraban kami dalam bertetangga dengannya. Karena sikap dan pembawaannya, tak ada tetangga lainnya yang merasa keberatan dengan kehadirannya di wilayah kami atau bersikap aneh dan tertutup menghadapinya. Karena kutahu ia memang asyik dalam bergaul. Tidak pernah ada masalah dengan siapapun.

Pagi belum saja beranjak ketika suamiku menerima surat penempatan tugas di kota lain. Ya, kami harus pindah ke kota S. Ci’ Abuy begitu kaget mendengar kami akan pindah rumah.
Setelah rumah kami laku terjual dan pekan depan akan ditempati oleh orang lain. Kami segera siap-siap berkemas. Seluruh perabotan rumah sudah kami paketkan sedikit demi sedikit, tinggal furniture yang akan berangkat dengan truk bersamaan dengan kami di mobil lainnya.
Selama sepekan Ci’ Abuy membantuku membereskan barang-barang kami. Tetangga sekitar sudah kupamiti dan kumintakan ma’af jika keluarga kami banyak berbuat khilaf dan menyakitkan mereka. Tentu saja semua tetangga terperangah. Betapa tidak!

Kami menempati rumah ini sejak anak keduaku berusia 6 bulan sampai saat ini, sudah kelas V SD. Semua merasa kehilangan dengan kepergianku. Teman akrab maupun yang kurang akrab, tetangga baru maupun lama, dengan karakter yang berbeda-beda semua pasti akan meninggalkan kenangan manis, atau pahit sekalipun dan tak terlupakan di benak masing-masing.
Tahukah mengapa aku ceritakan semua ini? Tak lebih karena tetangga Cina-ku itu selalu menangis setiap kali membantuku mengepak barang-barangku, seolah kami memang sudah berpisah.
“Ya Ampuun........Bu Mita, kenapa harus pergi sih? Saya jadi sedih, gak punya teman yang bisa diajak ngobrol..” Isaknya dengan hidung memerah menahan tangis. Dari tadi kulihat ia menahan sedu sedannya.
“Nanti siapa lagi yang bisa ngawasin Kokoh Dedek. Mereka cuma menurut sama Bu Mita. Ya Ampun Dedek....Kokoh.........Bu Mita mau pindah! Kita gak bisa ketemu lagi deh....” suaranya lirih sambil menengok anak-anaknya.

Si Kembar Kokoh dan Dedek terbengong-bengong di samping mamanya yang sedang memasang-masang lak ban buat menutup dus buku-bukuku. Mereka tak mengerti bagaimana harus bersikap. Tapi kutahu mereka sedih, menatapku dengan termangu dan pandangan mata memelas. Aku menangis juga. Kupeluki anak itu satu persatu. Meski jilbabku bersimbah keringat karena mondar-mandir berjongkok dan berdiri mengurusi barang-barang dan airmata di pipiku berlinangan, Kokoh dan Dedek tak perduli. Kedua bocah itu memelukku erat. Si Bungsu Ah Se (Lexi) memandang adegan itu dengan bengong. Ia belum mengerti toh usianya baru 2 tahun.
“ Ci’.........nanti kita telepon-teleponan ya. Jangan sampai putus hubungan. Sekali sekali mainlah ke sana!” Wanita cantik itu mengusap air matanya lagi!

Esoknya, pagi-pagi sekali selepas Subuh kami akan berangkat. Beberapa tetanggaku menunggui keberangkatan kami. Kusuruh anakku mencium tangan mereka semua, satu persatu. Suamiku memeluk bapak-bapaknya dan aku memeluk ibu-ibunya satu persatu. Semua terisak mengucapkan selamat jalan. Yang paling menyisakan kenangan bagiku adalah pribadi Ci’ Abuy. Ia diam-diam menitipkan masakannya yang merupakan makanan favoritku.
“Buat bekal di jalan Bu. Gak pake B lho!” ujarnya. Tentu saja aku tahu karena ia tak doyan B meski Cina. Duh, jam berapa ia bangun dan memasak untuk kami? Aku makin terharu. Kusambut paket itu. Berat amat! Tapi aku simpan juga. Nanti di jalan baru aku buka jika kami ingin makan. Ci’ menangis melambaikan tangannya ketika kami berangkat pelan-pelan. Akupun begitu. Christopher dan Christian si kembar belum bangun, Lexi si bungsu juga masih terlelap, toh pagi itu masih gelap.

Selang satu jam ketika hari sudah terang, diperjalanan aku membuka dus berat berisi makanan yang masih hangat itu. Ada fuyung hai dengan saus khasnya, kailan cah sapi dan nasi putih cukup untuk berlima. Semua diletakkan dalam wadah rapat. Ups, dibawah wadah makanan ada dus rapi terbungkus kertas kado rapat sekali. Kuangkat bungkusan itu. Berat juga! Tak sabar kubuka bungkusnya, aha, rupanya dua buah buku tebal-tebal. Dia tahu aku senang membaca). Satu berjudul La Tahzan yang terkenal itu, satunya lagi kisah cinta Nabi Muhammad dengan Khadijah dengan cover tebal berwarna pink. Kedua-duanya cukup mahal bagiku.

Betapa girang hatiku! Kupeluki kedua buku itu. Ia masih ingat, waktu itu ketika aku ajak dia ke toko buku, aku ingin sekali membeli kedua buku itu, namun aku meletakkannya kembali di rak buku, tidak jadi. Uangku sudah tak cukup, karena kubelikan novel-novel sastra dan psikologi. Sepanjang perjalanan pulang dari toko buku itu aku berceloteh tentang betapa bagusnya buku itu,
“Sayang uangku sudah habis untuk membeli buku-buku ini Ci’ !” keluhku saat itu ketika baru keluar dari tempat parkir. Ah, rupanya adegan itu ia ingat dalam-dalam.

Ia belikan kedua buku itu untukku sebagai kenang-kenangan. Tak peduli bahwa buku-buku itu adalah buku-buku Islam. Ikatan batin antara kami begitu kuat meski kami berbeda etnis. Aku membatin dalam hati, pasti Tuhan punya cara tersendiri untuk membalas ketulusannya. Ketulusan Ci’ Abuy, tetangga Cinaku itu...............

Jakarta, 26 Desember 2006

Kamis, 19 Februari 2009

Karet Gelang di Jempol Hamsad

Yanusa Nugroho
http://majalah.tempointeraktif.com/

BIBIR DALAM PISPOT, Penulis: Hamsad Rangkuti, Cetakan I, Penerbit Buku Kompas, 2003, xxiv + 174 halaman.

Keunggulan Hamsad Rangkuti, ia piawai mengangkat peristiwa sehari-hari menjadi tema cerpen yang kuat dan memikat.

SEBAGAI penulis cerpen, bolehlah namanya ditulis dengan huruf kapital—sebagai tanda salut kita kepadanya. Cerpennya telah dibaca ribuan, mungkin jutaan orang di seluruh Indonesia. Karyanya telah mengeram di sanubari banyak penulis cerpen lainnya, yang tak jarang menetas menjadi cerita baru.

Hamsad Rangkuti memang jempolan. Cerpennya nikmat dibaca karena yang diangkat adalah persoalan keseharian—tema yang diakuinya diilhami dari berita-berita di koran. Sebagaimana ciri khas cerpen sastra, selalu saja kisah yang disajikan Hamsad membuka horizon baru. Ada tema tentang kerinduan, keteduhan, kepolosan, kejujuran, dan berbagai percikan nafsu manusiawi yang tak bisa disingkirkan begitu saja. Cerpen Hamsad adalah sebuah cermin besar yang menangkap nadi kehidupan manusia yang bernama Indonesia.

Bibir dalam Pispot, cerpennya yang terbit tahun 2003 dan memperoleh Khatulistiwa Award, juga istimewa, selain Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), dan Sampah Bulan Desember (2000). Cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? dalam Bibir dalam Pispot memberikan senyum pedih akan sebuah kisah cinta. Ini memang cerpen Hamsad paling ngetop setelah Sukri Menggenggam Pisau Belati. Meskipun oleh banyak sastrawan cerpen ini dianggap bukan karya terbaik Hamsad, bolehlah saya katakan karya ini telah menjadi "gunjingan", bukan hanya lantaran aspek intrinsik dari cerpen itu sendiri, namun pada kemampuan Hamsad memancing pertanyaan: ini kejadian nyata atau rekaan?

Berkisah tentang keputusasaan seorang perempuan yang nyaris bunuh diri, dari segi tema cerpen ini sebetulnya biasa saja. Tapi kepiawaian Hamsad menata kata telah membuat kisah sederhana tersebut terasa indah.

Cerpen Pispot, yang diilhami oleh berita di koran, memberikan kepedihan yang lain lagi. Di sini kekuatan Hamsad mempermainkan perasaan pembaca terasa sekali.

Bayangkan, kita menjadi saksi sebuah pencurian, dan bersaksi di depan polisi dengan mengatakan bahwa barang curian tersebut ditelan si maling. Namun, setelah "kita" diinterogasi, ternyata keyakinan kita berbalik 180 derajat. Dari yang semula yakin bahwa "dia" maling, kemudian berubah dan yakin bahwa "dia" bukan maling. Belakangan, di akhir kisah, ternyata "aku" tahu bahwa "dia" sesungguhnya si maling.

Pispot, di samping memiliki judul yang menyaran pada sesuatu yang menjijikkan, ternyata menciptakan ruang hidup bagi manusia yang tak lebih menjijikkan daripada pispot itu sendiri. Akan tetapi Hamsad tidak terjebak pada kritik sosial ala demo jalanan yang terkadang galau tak jelas apa maunya.

Pria kelahiran Titikuning, Medan, tahun 1943 ini menuliskan apa yang dijalani dalam hidupnya sehari-hari. Dia mengaku bahwa dirinya bukanlah penulis produktif dan "pengelamun yang parah" (xiv). Tapi kecermatan dan kepekaannya dalam mendeskripsikan apa yang "tertangkap" inderawinya sangat jelas terasa.

Dia dengan ketelitiannya dan kebersahajaannya—sebagaimana senyumnya yang selalu mengembang itu—mampu memberikan pernyataan yang, menurut saya, sangat penting. Bahwa proses menulis bukan soal ide semata, tetapi juga bagaimana mengendapkan dan mengolah ide itu agar menjadi sesuatu yang "mengeram" lama di sanubari pembacanya.

Cerpen-cerpen Hamsad yang bertema seragam selalu disajikan dengan unik dan beda. Bibir dan Pispot, yang mengambil tema keseharian hidup, terasa tetap memiliki perbedaan satu sama lain.

Kreativitas Hamsad ini mungkin dipicu oleh hidupnya yang eksentrik. Di kotak kacamatanya, ia selalu menyisipkan karet gelang yang akan dipakainya mengikat jempol kaki jika kebelet namun tak mungkin buang air di dalam kendaraan. Gelang karet itu, kata Hamsad, cukup efektif membantu menahan diri agar tidak kebobolan.

Bibir dalam Pispot tentu tak punya hubungan dengan gelang karet itu. Tapi seorang Hamsad Rangkuti tahu persis bagaimana mengolah banyak hal kecil seperti karet gelang menjadi sebuah cerpen bernas. Bibir dalam Pispot hanya salah satu wujud kepiawaiannya itu.

Realisme Hamsad Rangkuti

Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/

Jakarta: Sastrawan Hamsad Rangkuti, 65 tahun, menghabiskan akhir Ramadan di Bangkok. Kerajaan Thailand mengundang dia ke sana untuk menerima penghargaan sastra SEA Write Award. Ini penghargaan sastra tahunan dari kerajaan Thailand yang diberikan kepada pengarang Asia Tenggara.

Putri Maha Vhakri Sirindhorn menyerahkan penghargaan kepada Hamsad dan delapan pegiat sastra lainnya dalam sebuah upacara di Bangkok, 30 September lalu. Hamsad mendapatkan penghargaan itu karena buku kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot.

Selain Hamsad, kali ini penghargaan diberikan kepada Mohammad Bin Pengiran Haji Abd Rahman (Brunei Darussalam), Sin Touch (Kamboja), Othong Kham-Insou (Laos), Hatta Azad Khan (Malaysia), Elmer Alindogan Ordonez (Filipina), Stella Kon (Singapura), Watchara Satjasarrasin (Thailand), dan Nguyen Ngoc Tu (Vietnam).

Hamsad menambah daftar pengarang Indonesia yang memperoleh penghargaan itu. Sejak 1978, sudah ada 30 orang yang menerima penghargaan itu, antara lain Goenawan Mohamad (1981), Umar Kayam (1987), A.A. Navis (1992), dan Suparto Brata untuk novel Saksi Mata pada 2007.

Dia tidak sepakat dengan seniman yang menyebutkan penghargaan itu sebagai arisan. "Saya emosi mendengar omongan itu. Saya bilang, jangan kauremehkan ini. Arisan ini harus ada setoran, yaitu karya. Kau tidak masuk arisan kalau tidak ada setoran. Ke-30 orang itu semua punya karya," tuturnya ketika dihubungi Tempo saat ia berada di Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Hamsad bersama istrinya, Nurwindasari, dan putri bungsu Anggi Mauli Rangkuti berangkat ke Bangkok pada 25 September lalu. Istri ikut untuk jaga-jaga bila Hamsad sakit. Putrinya ikut untuk tugas khusus: penerjemah. "Saya tidak bisa berbahasa Inggris," kata Hamsad lewat telepon dari Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Dua menit dipakai Hamsad untuk menyampaikan terima kasih dan harapannya akan perkembangan dunia sastra. Putrinya, Anggi, menerjemahkan ke bahasa Inggris. Wartawan setempat pun menanyai Hamsad. "Tapi yang diwawancara justru putri saya, yang menjawab pertanyaan soal saya dalam bahasa Inggris," ujar Hamsad sambil tertawa.

Susunan acara yang disodorkan panitia pada 26-30 September lumayan padat. "Hanya hari pertama yang kosong. Itu pun karena saya sampai malam di sana."

Hari selanjutnya, dia diajak jalan-jalan ke sejumlah museum, obyek wisata dan sejarah. "Saya jadi tidak bisa ke mana-mana," tuturnya. Maksudnya, tidak bisa jalan-jalan selain tempat-tempat yang dijadwalkan panitia.

Pada 1 Oktober bertepatan dengan Lebaran Idul Fitri, ia balik ke Jakarta. Beberapa hari kemudian, ia terbang ke Tenggarong, Kutai Kartanegara. Ia mengisi lokakarya menulis cerpen untuk para pegiat sastra di sana.

Ia juga memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari bahan sejarah kerajaan Kutai. "Saya ingin menulis cerpen berlatar sejarah sini," tutur cerpenis yang belakangan banyak mengisi pelatihan menulis di berbagai daerah

Lalu, kapan waktu terbaiknya untuk menulis? "Selalu pagi, setelah salat subuh dan jalan kaki dua-tiga kilometer, saya pulang sudah segar, mandi, lalu mulai mengarang." Malam harinya, ia mematangkan tulisan itu.

Dia tetap berpegang teguh pada realisme, yang menjadi ciri khas cerpen-cerpennya. "Saya membikin apa yang pembaca suka," tutur peraih Khatulistiwa Literary Award pada 2003 itu. Ia mengaku tidak hendak memuaskan diri sendiri "maupun berakrobat kata-kata".

Kenangan tentang Senen di Atas Panggung

Mustafa Ismail
http://www.tempointeractive.com/

Jakarta: Mereka bicara tentang Senen. Cerpenis Hamsad Rangkuti menceritakan pengalamannya ketika dipeluk dari belakang oleh seorang wanita di Senen, ketika pertama kali datang ke Jakarta dan berkumpul dengan seniman Senen. Penyair Taufiq Ismail memaparkan banyak nama seniman yang berkiprah di Senen. "Sesekali H.B. Jassin juga ke sini, tapi ia tidak suka nongkrong, ngobrol ke sana-kemari," kata Taufiq.

Kenangan tentang Senen itu ditumpahkan di atas panggung Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka di Gelanggang Remaja Senen, Jakarta Pusat, Jumat malam lalu. Sejumlah seniman tampil dalam acara itu, seperti Taufiq Ismail, Hamsad Rangkuti, Misbach Yusa Biran, Dedy Mizwar, Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, Sihar Ramses Simatupang, dan Viddy A.D.

Hamsad membacakan petikan novelnya berjudul Ketika Lampu Berwarna Merah, yang mengambil latar Senen. Novel setebal 210 halaman ini pernah dimuat bersambung di sebuah koran pada 1981 dan diterbitkan menjadi buku 10 tahun kemudian. Bagian novel yang dibacakan itu menceritakan seorang wanita yang meninggal di sebuah gubuk.

Dilukiskan, wanita tua tersebut ditemukan telah kaku pada sebuah malam. Lalu, tiga orang lelaki datang membawa mayat itu dan menaruhnya di sebuah pintu toko. Mereka berharap akan mendapat rezeki dari apa yang mereka lakukan. Benar saja, pagi-pagi, ketika si pemilik toko bangun, ketiga lelaki yang pura-pura tidur ini pun dibangunkan dan diminta menyingkirkan mayat itu.

Setelah berhasil mendapat uang, mereka pun membawa pergi mayat tersebut. Bukan ke makam, melainkan ke toko lain. "Masih ada tiga toko lagi yang perlu didatangi. Mayat ini tidak akan berkurang setelah toko yang terakhir sekalipun," kata salah seorang di antara mereka. Mereka pun mengulang apa yang mereka lakukan di toko pertama.

Adapun Taufik Ismail menyampaikan orasi berjudul "Sesudah 63 Tahun, Berharap akan Keadilan Masih Bisakah?" Dalam pidato itu, salah satunya, ia menyorot kemerosotan akhlak, budaya permisif yang makin menjadi-jadi, narkoba, alkohol, nikotin, dan pornografi. "VCD biru dengan kata-kata, itulah fiksi gaya masa kini," katanya di atas panggung.

Seusai sesi baca sastra dan orasi, pada pukul 8 malam acara dilanjutkan dengan pertunjukan musik merdeka oleh Komunitas Planet Senen. Ini adalah babak terakhir rangkaian acara yang dimulai sore itu. Sesi pertama adalah diskusi tentang sastra urban dan kemerdekaan berekspresi. Acara ini lekat dengan kata-kata "merdeka" karena masih mengambil momen Hari Kemerdekaan RI.

Antara Vrederburg dan Bahasa

Danang Harry Wibowo*
http://www.lampungpost.com/

BENTENG Vrederburg yang terletak di depan Gedung Agung, Yogyakarta, salah satu peninggalan Belanda yang sampai saat ini masih berdiri megah. Benteng tersebut mengingatkan kembali betapa puasnya Belanda berkuasa selama 350 tahun di negeri ini. Momentum sejarah yang dapat dijadikan bahan kontemplasi betapa malunya bangsa ini ditindas bangsa lain.

Apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka? Secara konstitusional memang bangsa ini sudah merdeka. Akan tetapi, semua ranah kehidupan di negeri ini, termasuk bahasa dan budaya yang notabene menjadi pembeda dengan bangsa lain, terus diobok-obok bangsa lain.

Tempe yang dilisensikan menjadi makanan khas oleh Jepang, reog ponorogo yang dialihnamakan menjadi tari barong serta lagu "Rasa Sayange" yang dijadikan ikon pariwisata oleh Malaysia sebagian contoh betapa lalainya bangsa ini.

Menggelikan bukan? Pencurinya tetangga sendiri. Lebih menggelikan lagi, masyarakat Indonesia yang sebelumnya abai dengan budayanya menjadi berang mengetahui miliknya dicaplok orang lain.

Lalu, bagaimana nasib bahasa Indonesia? Meski tidak akan punah seperti halnya Benteng Vrederburg karena diatur dalam undang-undang dan penuturnya lebih dari satu juta orang, Bahasa Indonesia mulai dinomorduakan masyarakat sendiri. Bagaimana tidak? Untuk menyingkat televisi, masyarakat dengan tidak malu menyebutnya tivi.

Harusnya, masyarakat mencontoh Hamsad Rangkuti, seorang sastrawan yang jelas-jelas mempunyai lisensi untuk menomorduakan kaidah bahasa, sampai-sampai menuliskan kata tersebut dengan huruf tercetak miring. Itu artinya Om Hamsad, panggilan akrab Hamsad Rangkuti, sadar kalau yang dia pakai itu bukan bahasanya (lihat kumpulan cerpennya yang berjudul Bibir dalam Pispot, 2004:142). Luar biasa. Lagi pula, apakah sulit menyebut layar kaca itu dengan teve karena kata itu terdiri dari huruf t (te) dan v (ve)?

Lalu, berapa banyak orang yang sadar kalau yang tepat itu imbauan bukan himbauan? Memangnya ada kata panutan? Bukankah kita lebih akrab dengan kata menganut yang berubah secara morfologis dari kata dasar anut?

Kejahatan terjadi bukan karena niat, melainkan karena ada kesempatan, maka waspadalah. Sebenarnya, kondisi kritis seperti beberapa contoh di atas tidak perlu terjadi. Andai kesadaran masyarakat untuk menjaga aset budaya dan bahasa telah terpupuk sejak lama, rasa-rasanya pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri tidak perlu repot-repot menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 yang isinya mengenai pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah.

Mungkin, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan juga akan melakukan hal sama untuk menjaga budaya Indonesia agar tidak dicomot bangsa lain, seperti yang dilakukan negara tetangga. Ya, hitung-hitung untuk menyejukkan suhu yang mulai panas dan membuat gerah.

Sayangnya, bahasa dan budaya bukan benda mati, seperti Benteng Vrederburg yang mudah dipugar ketika mulai reot dan usang, melainkan benda hidup yang akan punah jika manusia, si pemakai dan penutur, tidak mau menggunakan dan melestarikannya.

Pertanyaan remeh terakhir, apakah ingin bahasa dan budaya yang ada di Indonesia lambat laun menuju kepunahan layaknya beruang es yang mulai bermatian karena pemanasan global?

*) Staf Pembinaan pada Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Jumat, 13 Februari 2009

Lokalitas Sastra Indonesia

Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/

Definisi sastra lokal mengandaikan satu kesusasteraan yang terkungkung dan dikungkung oleh satu lokalitas. Meski kita sudah terbiasa menerima kehadiran sastra lokal tanpa mempertimbangkan vitalnya aspek eksklusivitas sastra bersangkutan. Bahkan cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang inklusif hingga terbuka pada pengaruh asing. Ambil contoh, eksistensi sastra Sunda. Itu pasti bukan sastra yang hanya hadir dalam medium bahasa Sunda dan diumumkan dalam media cetak berbahasa Sunda supaya dibaca oleh komunitas yang terbiasa berkomunikasi dalam dan dengan bahasa Sunda.

Ketika kita membaca sajak-sajak Godi Suwarna mutakhir, meski ia memakai bahasa Sunda secara teramat personal, tapi kita tetap bisa meraba dan meli-hat bayang-bayang pola ekspresi Afrizal Malna. Atau sajaknya Soni Farid Maulana, Kembang Kembangning Simpe, yang mengingatkan kita pada sajak rupa - tetapi bukan rajah atau isim yang khas Sunda. Maka kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Sunda. Semua itu jelas merujuk kepada sebuah pola dan mode estetika dan ekspresi sajak modern Indonesia, meski telah diadaptasikan di dalam dan dengan bahasa Sunda yang bagus - meski kadar Sundawiah Soni Farid Maulana di bawah Godi Suwarna. Dan, ketika kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Sunda, maka kita mengerti kalau lokalitas (sastra) itu tak boleh eksklusif dan harus selalu inklusif.

Terminologi lokalitas yang coba ditekankan secara eksklusif itu selalu dibarengi sikap permisif dan toleran mengandaikan sifat inksklusif - sehingga estetika, ekspresi, idiomatik, kekayaan budaya, seting sosial, filsafat dan seterusnya dari satu komunitas (budaya) bisa beralih dan dipinjam oleh komunitas (bu-daya) lainnya. Ini agar teks sastra mutakhir satu komunitas (budaya) mendapat pengayaan verbal dan substansial. Tetapi apakah itu wajar? Bagi sebagian pelaku sastra (Sunda), hal itu malah dijadikan pertanda kalau energi kreatif sastra atau sastrawan (Sunda) masih dinamis, bisa mengaktualisasi diri hingga lahir trend dan genre baru.

Godi Suwarna atau Soni Farid Maulana, misalnya. Kita juga tahu kalau tidak ada lagi rasa, aroma, substansi dan hakikat Sunda di sana. Bahkan Sunda masa kini, yang secara sosial-politik terdesak oleh dominasi Indonesia (Jawa) dan dunia global.

Isu sastra lokal hanya ada dalam khazanah sastra Indonesia, dan diformulasikan sebagai sastra Indonesia yang terbuka pada realitas para pelakunya (para sastrawan itu) berjejak pada geografis Indonesia yang terkotak-kotak dalam kekayaan budaya suku. Ada Sunda - meski orang Cirebon tidak merasa Sunda dan orang Banten lama mempunyai kejayaan sejarah sendiri. Ada Jawa - yang terpecah dalam wilayah budaya pesisir, Madura, Ujung Timur, dan mungkin Samin dan Tengger. Sehingga, sastrawan Indonesia yang menulis sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia berhak menampilkan manusia Sunda dengan seting Bandung atau Sumedang. Atau, seorang sastrawan Pariaman mengungkapkan karakter manusia dan filsafat hidup Minang dalam bahasa Indonesia bagi pembaca non-Minang. Dan, seterusnya.

Lokalitas adalah eksotisme. Sebuah bagian dari genre sastra romantik - sejak setengah abad lalu menggejala di dalam tradisi balada. Sebagai eksotisme, hal itu menjadi semacam kegenitan 'dandyisme' yang menyebabkan sebuah teks sastra tampil kemayu. Setengah tidak dipahami oleh apresiator yang berbeda latar, budaya dan bahasa (ibu) dari si sastrawan, karenanya terpaksa dibuatkan catatan kaki - atau pengantar oleh kritikus apresiatif yang banyak membualkan eksotisme bagi turis.
***

Ada kecenderungan teks sastra Indonesia tidak bisa gampang dicerna dalam apresiasi awam tanpa membawa bekal referensi budaya lokal. Ada faktor-faktor estetika, ekspresi seni, filsafat, karakter, kekayaan budaya dan seterusnya - yang teramat lokal. Dengan melihat lokalitas Bloomington dalam kumpulan cerpen Budi Darma, Orang-orang Bloomington, atau Orang-orang Pinggiran dan yang Terpinggirkan dalam cerpen Joni Ariadinata, maka kita melihat lokalitas sebagai potensi seting, karakter tokoh, serta kemungkinan konfliks - selain idiom rasa bahasa. Karenanya, lokalitas menjadi kemungkinan menjelajah Nusantara dengan bahasa sebagai pisau analisis dan menjadikan teks sastra sebagai altar per-sembahan eksotisme posmo. Tak lebih dan tak kurang.

Bila tak punya motif menjual eksotisme lokal bagi orang kebanyakan di pasar, kenapa mereka masih memilih bahasa Indonesia? Padahal hal lokal itu akan menggejolak penuh gairah kalau disampaikan dalam dan dengan bahasa daerah. Bukankah sastra lokal akan tampil sangat eksklusif ketika diungkapkan dengan estetika, ekspresi dan bahasa daerah? Seorang Godi Suwarna atau So-ni Farid Maulana lebih mendekati ideal sastra lokal ketika mengadaptasikan yang nasional ke lingkup komunitas suku. Meski secara finansial lebih bagus mengekspor eksotisme lokal ke dunia global dengan bahasa Inggris sehingga kita mendapat julukan maestro posmo.

Tapi apa benar lokalitas (sastra) berhubungan dengan pangsa pasar? Ekslusivitas karya sebenarnya berjiwa inklusif dan memiliki efek finansial? Jadi, selalu ada langit di luar dan langit di dalam diri setiap sastrawan? ***

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati