Rabu, 16 September 2009

Pengantar dalam Menjelajahi Kitab Para Malaikat

Hasnan Bachtiar
http://www.sastra-indonesia.com/

Pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya sastra pada umumnya, adalah hendak mengurai apakah suatu teks berpotensi sebagai kebenaran, kendati bukan merupakan teks keagamaan?

Teks merupakan fenomena yang sedemikian kaya dengan ketakterbatasan makna. Hal ini berlaku bagi teks apapun termasuk teks keagamaan yang berdimensi sakralitas (Northrop Frye, The Great Code: the Bible and Literature). Tetapi pada intinya, teks-teks bahasa sebenarnya adalah sarana untuk mengungkapkan realitas dengan cara tertentu. Kendati demikian, bahasa – termasuk teks bahasa - memiliki fungsi lain selain fungsi umum tersebut, yaitu fungsi komunikatif, yang mengasumsikan adanya hubungan antara pembicara dengan sasaran bicara, dan antara pengirim dan penerima (Roman Jakobson, Linguistics and Poetics: 350).

Menanggapi pengertian tersebut, pada hakikatnya penulis tidak terlalu tergesa dalam menjelajahi ketakterbatasan makna-makna dari ritus-ritus, jejak-jejak, simbol-simbol dan pelbagai penampakan lain yang berserakan dalam ruang kosmos. Belum lagi adanya ceceran-ceceran kebenaran yang tak terjangkau oleh kekuatan intelegensia (Mohammed Arkoun, Islam: to Reform or to Subvert?: 15), sekaligus watak gradualisme interpretasi tanpa batas (Paul Ricoer, The Conflict of Interpretation: 289). Karena itu, kecenderungan penulis lebih kepada, apa yang menjadi persoalan utama dalam bahasa dan teks?

Sejak semula, Aristoteles menungkapkan ketidakmungkinan untuk membawa ide-ide nalar ke dalam keberadaan benda yang nyata. Alih-alih perlambang ontologis suatu benda, namun harus menggunakan namanya sebagai simbol. Konsekuensinya adalah tampil suatu anggapan bahwa apa yang terjadi dalam nama-nama terjadi pula dalam benda.

“It is impossible in a discussion to bring in the actual things discussed: we use their names as symbols instead of them; and therefore we suppose that what follows in the names, follows in the things as well, just as people who calculate suppose in regard to their counters. But the two cases (names and things) are not alike. For names are finite and so is the sum-total of formulae, while things are infinite in number” (Aristoteles, On Sophistical Refutations).

Inilah problem bahasa di satu sisi dan aktualisasi pengertian di sisi lain. Problematika semakin meningkat ketika Heidegger menulis bahwa, para pemikir sejak dahulu selalu memikirkan dan membicarakan suatu hal dan benda yang ada, namun di sisi lain melupakan ”ada” itu sendiri sebagai landasan dan merangkum segalanya (Martin Heidegger, Being and Times). Dari sini Derrida mengungkap kenyataan bahwa manusia tidak mengungkapkan diri dan malah tidak dapat bernalar kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Dengan kata lain, manusia tidak dapat berpikir atau menulis apapun, kecuali merujuk pada tradisi pemikiran tertentu yang mengendap dan dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan (Jacques Derrida, Dissemination). Karena itu, berangkat dari pembedaan antara pikiran (noesis) dengan yang dipikirkan (noema) oleh Hegel dan Husserl, suatu struktur interpretasi bukan lagi berpijak pada logos-ucapan-penulisan, tetapi pada logos-penulisan-ucapan (Gayatri Chakravorty Spivak, An Introduction to Jacques Derrida of Gramatology: 133-173).

Menarik mengamati Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya monumental Nurel Javissyarqi, ketika dibenturkan dengan pelbagai problematika kebahasaan. Sebagai suatu teks yang otonom, kitab ini mengandung pelbagai nilai kosmos maupun representasi kosmos yang bisa dibaca oleh siapapun. Kondisi teks sebagai sebagai teks beserta kematian pengarangnya merupakan suatu syarat untuk lepas dari segala determinasi ide dan penjara struktur ide pengarangnya, termasuk pasungan pilihan-pilihan teori nalarnya. Pembacaan yang demikian diharapkan mampu menemukan suatu kondisi di mana kemurnian gagasan ditemukan tanpa terjebak dalam ideologi atau mitis yang hadir baik dengan kesengajaan ataupun semena-mena.

Berpijak pada postulat awal bahwa teks merupakan pintu logos dan kosmos sekaligus atau logos dan kosmos merupakan teks atau simbol sekaligus, melampaui dekonstruksi Derrida yang membongkar logosentrisme, bahwa teks-teks atau ayat-ayat dari Kitab Para Malaikat berpretensi memberi petanda terakhir (le signifie dernier). Sesungguhnya suatu petanda transendental, tidak hanya terbatas pada teks-teks keagamaan seperti pada asumsi Arkoun (Arkoun, ’Lecture de la Fatihah), namun juga terdapat pada teks apapun, walau tanpa berjubah sakralitas. Konsekuensinya, Hermes dan Avatar hanyalah seperangkat penunjang kebenaran, demi hakikat kebenaran itu sendiri sebagai ”ada”. Atau analoginya dalam Islam adalah, tinggal mengganti Hermes dengan Jibril dan Avatar dengan Muhammad. Jadi, petanda terakhir niscaya hadir dengan ataupun tanpa teks dan kosmos itulah teks yang sesungguhnya.

Demikianlah pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat, diharapkan adanya ide-ide fenomenologis yang melampaui sekedar ide-ide kritis ini mampu meraup makna-makna yang bergentayangan dalam semesta, yang terungkap dari jejak-jejak yang berlari-lari tanpa henti, tak beraturan dan seringkali tak tertangkap oleh kekuatan intelegensia.

*) Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RĂ«SIST) Malang.

MENCARI PERKEMBANGAN PROSA YANG MEMADAI*

Imam Muhtarom
http://terpelanting.wordpress.com/

Perkembangan prosa saat ini rupanya hendak berjalan sendiri dengan upaya melepaskan dari perkembangan sosial-politik yang ada. Hingar bingarnya para penulis prosa awal 1990-an yang kental tautannya dengan kekuasaan orde baru sebagai suatu respon yang nyaris tak bisa dihindari, kini seolah tidak mendapat jejaknya. Kalau pun ada, prosa demikian jarang, dan sekalipun ada nyaris tidak terdengar gaungnya.

Kala 1990-an, prosa dianggap cara yang sangat mewakili untuk mengritik kekuasaan orde baru, setelah berita tidak memiliki kemungkinan untuk menyuarakan, tokoh-tokoh vokal dipenjara, dan mereka yang hendak melakukan apa-apa yang oleh dianggap negara sebagai pembangkangan dibayangi sebutan “subversif”, “perusuh”, “organisasi tanpa bentuk”, dan “komunis”. Represi masif yang nyaris hadir dalam setiap sisi kehidupan masa orde baru telah menciptakan kondisi mencekam. Kenyataan sosial yang sangat politis tapi a-politis semacam ini hanya mungkin diungkap dengan cara-cara yang dalam sudut pandang kekuasaan diabaikan lantaran tidak membahayakan atau tidak paham. Salah satu jawabannya dengan menuliskan ke dalam prosa. Maka, prosa saat itu bertaburan idiom “kepala desa” dan “lurah” sebagai cara untuk menggambarkan kekuasaan presiden yang tak terbantahkan. Mengambil cerita wayang seperti Pandawa-Kurawa dan memparodikannya sebagai sarana untuk menyuarakan ketertindasan. Penulis macam Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan prosanya Saksi Mata, Agus Noor, dan Indra Tranggono, adalah penulis prosa yang berusaha menyerap jiwa zaman tersebut.

Rupanya kecenderungan penulis-penulis masa itu menganggap bahwa tujuan utama karya mereka adalah sejauh mana mengritik kekuasaan yang absolut. Semakin menunjukkan sikap kritis terhadap kekuasaan semakin pula karya tersebut dianggap berhasil. Sementara itu, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan, pihak media massa yang memuat prosa memiliki pandangan serupa untuk menyampaikan ketimpangan sosial-politik yang tidak bisa dimuat di rubrik pemberitaan.

Lantas, pada 1998 orde baru jatuh (tentu bukan lantaran prosa-prosa tersebut!), peta politik berubah dan kekuasaan menampakkan dirinya sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada sebelum 1998. Kekuasaan pada masa “reformasi” tak lain kekuasaan yang terbangun dari berbagai elemen kekuatan yang ada di masyarakat. Tak heran kekuasaan yang ada ramai oleh bahasa tawar-menawar. Kekuasaan pada “reformasi” merupakan hasil konsensus oleh berbagai kepentingan yang ada. Untuk memiliki daya tawar setiap kepentingan yang terwakili dalam partai mesti memiliki massa yang melimpah dan karena itu diperlukan dana yang banyak untuk mengoperasionalisasikan organisasinya. Dari titik ini, kenapa kebijakan-kebijakan yang berlatar liberal berhasil lolos menjadi sesuatu yang masuk akal.

Arah kebijakan tersebut, entah disadari atau tidak, menemukan kaitnya dengan gejolak yang ada di masyarakat. Kecenderungan untuk merayakan kebebasan yang sebelumnya dikekang seperti mendapat ruang pembebasannya. Maka, jika pada masa orde baru digembar-gemborkan tentang jati diri bangsa, masa “reformasi” ini adalah masa untuk mengabaikan identitas kebangsaan. Slogan yang umum pada globalisasi ini: sepatu dari Italia, pakaian dari Prancis, mobil dari Amerika, rokok dari kota Surabaya, makan di restoran Jepang di sebuah plaza yang dibangun oleh investor Inggris.

Kecenderungan kapitalisasi di setiap segi kehidupan ini tampaknya mendapat persetujuan dari penulis-penulis prosa. Mereka tidak peduli dan tidak mau tahu perihal tradisi budayanya, masa lampaunya, dan kebiasaan-kebiasaan orang tua mereka. Ciri menonjol generasi penulis prosa pasca-orde baru ini secara sosiologis suka menulis kesenangan seksual dan masa indah masa muda (chiclit dan teenlit), tidak suka merespon kejadian-kejadian besar terutama politik, tidak menyukai pembicaraan yang bermuara pada SARA. Sementara secara literer, mereka lebih mementingkan kemolekan tekstual daripada konsteks, percaya bahwa teks lebih ajaib dibandingkan muatan teks, tidak begitu suka membahas aspek sosiologis apalagi politis, dan suka membanding-bandingkan karya penulis besar luar negeri.

Momen ini semakin menemukan titik terangnya dengan bisnis buku yang telah dirintis kemunculannya oleh penerbit-penerbit kota Yogyakarta di awal masa “reformasi”. Penerbit di Yogyakarta mengeluarkan buku-buku kritis yang pada masa orde baru mustahil diterbitkan. Masa 1999-2000 buku-buku kiri bermunculan seperti bangkit dari kuburnya. Buku Marx, Lenin, Tan Malaka hingga Pramoedya Ananta Toer terbit. Dengan menampilkan wajah tokoh-tokoh tersebut di kulit muka buku, terlihat jelas para penerbit ingin memanggil roh kiri yang selama orde baru sama sekali tidak punya kesempatan muncul. Namun, kemunculan buku-buku kritis ini membangkitkan aksi berangus sepihak dari elemen masyarakat tertentu. Mereka masuk toko dan menjarah buku-buku yang beraliran kiri. Pada peristiwa ini, kebebasan pertama kalinya diuji bukan kaitannya dengan negara tetapi dalam kaitannya dengan pemahamam kebebasan antarelemen masyarakat. Sialnya, penerbitan buku yang lebih mengandalkan semangat pemikiran dan skala industrinya kecil dalam waktu singkat bergeser ke penerbitan kota Jakarta yang menerbitkan buku-buku hiburan yang komersial, selera serampangan, manajemen modern, dan tentu dana besar. Penerbitan yang belakangan ini semakin menghegemoni selera minoritas dengan diterimanya berbagai buku populer. Buku-buku kritis dan sastra tergelincir dan para penulis dengan obsesi popularitas mirip artis sinetron berhamburan bak kunang-kunang yang bersinar malam hari dan mati di siang hari.

Dalam kaitannya dengan perkembangan prosa dari masa 1990-an hingga sekarang, terlihat jelas pergeseran dari konteks ke teks, dari ekstrinsik ke intrinsik, dari peristiwa besar ke peristiwa kecil. Dan sebagaimana lazimnya dalam sejarah sastra Indonesia, pandangan yang mengusung “kebaruan” cenderung diterima tidak peduli apakah pandangan tersebut sesuai dengan konteks atau tidak.

Perimbangan Teks dan Konteks
Kenyataannya, para penulis prosa tersebut hidup dalam sebuah realitas sosial Indonesia yang penuh masalah. Mereka bukan tinggal di surga. Memang, prinsip sastra yang menjadi kesadaran para penulis pasca orde baru dengan menganggap keberpihakan pada realitas sosial berakibat terciptanya teks yang tidak “nyastra”, bisa saja benar. Sebaliknya, dengan berkomitmen pada teks mereka percaya terciptanya prosa yang bagus lebih mungkin. Sebab, prosa memiliki prinsip-prinsip tersendiri yang berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Konsekuensi dari prinsip ini, tentu saja, perhatian pada konteks di mana penulis tinggal menjadi sekunder sebab yang primer ada pada teks yang memiliki prinsip-prinsipnya tersendiri. Kalau pun memiliki persinggungan dengan realitas sosial, hal tersebut tidak menjadi perhatian utama, sebab yang utama adalah pencapaian di ranah teks.

Mungkin perlu dilacak secara sosiologis bagaimana pandangan semacam ini begitu mudah diterima oleh penulis-penulis prosa tanpa berusaha mencurigai terlebih dahulu bagaimana hakikat pandangan ini dan dari situasi sosial semacam apa pandangan ini berasal. Sebab dengan melihat pandangan ini dengan konteks sosial-politik di Indonesia, jika diterapkan mentah-mentah hanya akan memasung imajinasi penulisnya dengan lingkungan di mana ia tinggal. Memang, prinsip komitmen pada teks akan menjauhkan penulis prosa untuk menulis slogan yang kerap muncul dalam sebuah demonstrasi—meskipun kita tidak tahu apa yang tidak slogan dalam setiap pemakaian bahasa.

Keberpihakan pada ketimpangan sosial politik pada penulis prosa awal 1990-an yang bagi penulis prosa saat ini mereduksi kekayaan dan berbagai kemungkinan tekstual disanggah dengan menepis fakta sosial-politik. Apakah hukum bandul akan bergeser di titik ekstrem mengikuti pergeseran waktu, situasi, dan nilai dapat dipercaya sehingga mengabaikan perubahan penulisan prosa sebagai sesuatu yang terberi? Tentu saja tidak. Pergeseran selalu memiliki logika yang dapat dirunut dan semua itu akan bersandar pada konsep tertentu dan bagaimana konsep tersebut tersebar dengan berbagai aparatusnya.

Sekalipun pandangan kritis atas kondisi sosial-politik masa orde baru harus dikoreksi demi realitas sosial politik yang sungguh berbeda pada masa “reformasi”, namun tidak berarti menggagalkan nilai kekritisannya. Jika ketimpangan semasa orde baru sistem terlalu membekap rakyat, maka orde “rerformasi” ini membiarkan rakyat bersuara sebebas-bebasnya sebagai konsekuensi “demokrasi” sehingga tidak jelas lagi mana yang sungguh suara rakyat dan mana yang bukan. Sebab kekuasaan tidak lagi memusat di pemerintahan tapi terpilah menjadi sekian banyak partai, serdadu, pemilik modal, organisasi masyarakat, media, dan lembaga-lembaga asing. Sekalipun demikian, dengan jelas dapat dilihat kelaparan, pencemaran lingkungan, gizi buruk, pertikaian antaretnis, pengangguran, narkoba, perdagangan senjata, korupsi merebak.

Kesadaran yang besar atas tekstual masa sekarang akan menghasilkan prosa-prosa yang lebih memadai seandainya daya kritis terhadap kondisi sosial-politik penulis prosa semasa awal 1990-an tetap dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam penulisan prosa. Imajinasi tidak saja dipicu dari kemungkinan tekstual semata, tetapi juga dari pergulatan diri dan lingkunganmu!***

*) Jurnal Nasional - Minggu, 13 Januari 2008

Jalaluddin Rumi Lahir di Banyuwangi*

Anett Tapai
http://www.sastra-indonesia.com/

Sajak-sajak (puisi) dalam antologi ini adalah sajak kehidupan. Seperti halnya sastra itu sendiri yang diciptakan oleh kehidupan, maka sastra adalah gambaran kehidupan. Di sini ada kehidupan orang kaya, ada pula kehidupan orang miskin, ada kehidupan orang yang suka mengumpulkan harta saja, ada juga kehidupan orang baik. Yang lebih menarik adalah ada kehidupan orang kota dengan segala gayanya, dan ada pula kehidupan manusia yang penuh dengan kekurangannya.

Jika dipahami secara keseluruhan, antologi ini ibarat miniatur kecil dunia. Segala kajadian terekam dengan baik dalam buku ini. Maka pantas jika saya katakan, membaca buku ini adalah membaca muka dunia. Seperti juga saya melihat muka saya sendiri pada cermin.

Penyair merekam semua itu dalam sebuah kata-kata dan kalimat sehingga bisa dinikmati dengan nuansa yang berbeda. Tetapi, maknanya sangat menusuk. Katajamannya menggambarkan keadaan dunia, membuat penyair seperti seorang fotografer yang selalu mencuri gerak-gerik seseorang setiap detik dan mengabadikannya dalam sebuah gambar.

Semua itu adalah gambaran sebenarnya kehidupan dunia ini.

Semua aspek kehidupan, yang dirasanya sebagai kepincangan, oleh sang penyair disindir cukup tajam. Ada sebuah pengalaman pribadi yang kiranya melatarbelakangi penciptaan seluruh sajak yang ada. Sehingga setiap kata yang dihadirkan sangat fungsional.

Ada tokoh yang digambarkan selalu naik Mercy dan berjalan di jalan hotmix, tetapi ketika mati semua ditingalkannya, termasuk calana dalamnya.

Ini adalah implementasi kehidupan sebenarnya, yang mungkin orang lain akan risih mengungkapkannya. Tetapi, penyair sangat berani.

Penyair juga mengingatkan bahwa hidup bukan hanya senang semata, bukan pula hanya harta semata. Semua itu digambarkan dengan jelas dalam antologi ini. Oleh karena itu, sangatlah tidak benar jika hidup hanya mengejar harta dan kesenangan. Ada Tuhan di balik kehidupan yang harus selalu kita ingat. Sebab, karena dialah yang menghidupkan semua manusia.

Kehidupan hingga kematian sangat realis digambarkan. Sang penyair berhasil membangun sebuah cerita hingga puisinya bisa dinikmati layaknya cerita. Peristiwa seperti kelahiran, percintaan, kesenjangan kaya dan miskin, hingga kematian, digambarkannya dengan sangat hidup dan menyentuh.

Di berbagai kesempatan, sangatlah mudah membedakan puisi dan prosa, tetapi dalam antologi ini sungguh rumit. Nyaris tiada bedanya. Penyair telah membebaskan jiwanya karena dia sadar aturan dalam berkarya adalah pembatasan jiwa. Itulah penyair sejati.

Sajak-sajak di dalam antologi ini, secara pribadi telah menceritakan sebuah perjalanan hidupnya sendiri; yang dimulai dari kelahiran, kemudian tumbuh menjadi anak-anak yang lucu, kemudian menjadi anak dewasa yang mulai mengenal dosa, kemudian menjadi manusia yang penuh dosa, hingga akhirnya semua itu kembali…kembali legi ke awal mula. Laksana siklus kehidupan.

Dilihat dari bentuknya, sajak-sajak dalam antologi ini pada umumnya tidaklah mengikuti konvensi yang ada. Dalam hal ini, konvensi yang berlaku adalah serupa pantun, yaitu empat baris berturut-turut, dan begitu selanjutnya. Akan tetapi, penyair telah keluar dari semua itu. Sehingga kalimat-kalimat di dalamnya sangat mengalir apa adanya.

Rima yang digunakan dalam puisi ini juga sangat bervariasi, tidak lagi menggunakan rima layaknya pantun. Penyair telah membebaskan kata-katanya. Akan tetapi, ada juga yang masih teratur, dan itu justru membuat antologi ini semakin bervariasi. Dari situ terlihat bahwa penyair faham betul tentang kesusastraan.

Dari tema yang dihadirkan, mengingatkan saya kepada tokoh sufi dunia dari Turki, Jalaluddin Rumi.

20 Juni 2009

Anett Tapai (Hungaria) Master bahasa dan sastra Inggris. Menguasai bahasa Ibrani, Asyiri, dan Indonesia. Saat ini, aktif menjadi kritikus sastra Indonesia.
*) pengantar kedua antologi puisi tunggal JARAN GOYANG Samsudin Adlawi.

Rendra dan Salah Sangka Tentang Dia

Oyos Saroso HN*
http://www.lampungpost.com/

W.S. Rendra, sang fambloyan yang akrab disapa Si Burung Merak, wafat Kamis malam, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ia meninggal dengan tenang, Kamis malam (6-8) dalam keadaan Islam.

Bagi sebagian seniman dan masyarakat Indonesia, Rendra–lebih akrab disapa Mas Willy–adalah tokoh besar yang sangat dihormati. Ia bak magnet atau sihir yang membuat orang berbondong-bondong mendekat padanya, ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sahabat yang menenteramkan. Bengkel Teater Rendra yang ia kelola bersama istrinya di atas areal sekitar 2 hektare di Citayam, Depok, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlatih teater, tetapi juga menjadi “universitas kehidupan” bagi banyak orang.

Saya termasuk bagian kecil dari kelompok yang berbondong-bondong itu. Saya merasa beruntung karena bisa menuntaskan ambisi saya untuk bisa bertemu Rendra, belajar padanya, dan mengenalnya lebih banyak. Saya memang tidak seberuntung Sitok Srengenge, kawan lama yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan menjadi kakak kelas saya di Universitas Negeri Jakarta. Pasangan Sitok dan Farah Maulida (Farah juga kakak kelas saya di UNJ) pernah sangat dekat dengan Rendra karena menjadi anggota Bengkel Teater Rendra, sementara saya hanya sesekali saja bertemu Rendra. Namun, saya banyak belajar dari dia: tentang sastra, kebudayaan, dan kehidupan.

Saya ingat pada sebuah penggal sore, saya dan Sitok datang ke rumah pribadinya di Depok pada Oktober 1991. Saya diajak Sitok untuk “merayu” Mas Willy agar mau datang ke UNJ untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka Bulan Bahasa yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mas Willy harus dirayu karena bukan perkara mudah meminta dia menjadi pembicara. Maklum, saat itu merupakan “zaman gawat”: Mas Willy dicekal di banyak tempat karena kevokalannya mengkritik Orde Baru.

Ketika Mas Willy memastikan bisa hadir, persoalan baru muncul: berapa saya harus memberi honor Mas Willy. Kata Sitok, “Beri saja yang dibutuhkan dia saat ini! Kalau bisa memberi dia sapi dan kerbau dia akan lebih senang!”

Setelah konsultasi dengan Sitok, akhirnya saya putuskan kami (para mahasiswa jurusan) akan memberi Mas Willy mesin ketik merek Brother! Kalau tidak salah harga mesin ketik itu pada saat itu Rp300 ribu.

Persoalan muncul kembali ketika pihak kampus tidak mau menanggung risiko jika “ada apa-apanya” berkaitan dengan kedatangan Mas Willy. Sebagai ketua panitia, saya harus minta izin kepada Polres dan Kodim Jakarta Timur. Saya menolak dengan alasan seminar merupakan kebebasan mimbar yang menjadi otoritas rektor.

Saya tetap nekat mendatangkan Mas Willy dengan risiko apa pun. Akhirnya Mas Willy pun benar-benar datang. Gedung Teater Besar UNJ penuh pengunjung. Rektor UNJ Prof. Dr. Conny R. Semiawan pun hadir. Bahkan Bu Rektor menjadi peserta aktif. Itulah kali pertama, seingat saya, Mas Willy kembali bisa datang ke kampus setelah beberapa waktu lamanya dicekal dan dilarang berbicara di kampus-kampus di Indonesia.

Saya lebih mengenal Mas Willy ketika saya menyusun skripsi. Karena yang saya teliti adalah drama Panembahan Reso karya Rendra, mau tak mau saya harus sering konsultasi dengannya. Selebihnya saya mengenal dia dari buku-buku yang ditulisnya dan dari para muridnya. Salah satunya yang terpenting adalah dari Jose Rizal Manua, guru teater saya. Mas Jose, orang Padang yang fasih berbahasa Jawa, adalah guru teater yang baik. Ia menurunkan banyak ilmu dari Rendra kepada para anak asuhnya.

Saya merasa berutang budi kepada Mas Willy karena berkat dorongannyalah saya menekuni dunia jurnalisme dan sastra. “Jadi apa pun asal ditekuni dan konsisten pasti akan ada hasilnya,” kata dia.

Salah Sangka Tentang Rendra

Rendra lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra, di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Lahir dalam keluarga Jawa lingkungan keratun dan agama Katolik, Rendra akhirnya menempuh hidup “urakan” sebagai seniman teater. Sepulang dari Amerika Serikat, pada 1961 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.

Namun, grup ini tak lama kemudian terhenti karena ditinggal Rendra pergi belajar ke Amerika Serikat. Setelah Rendra pulang belajar dari Amerika, pada 1967 Bengkel Teater kembali hidup. Beberapa tahun kemudian Bengkel Teater pindah ke Citayam, Depok, dan lebih dikenal menjadi Bengkel Teater Rendra.

Selain sebagai seorang seniman–yang melahirkan banyak karya puisi dan naskah drama–publik mengenal Mas Willy sebagai seorang budayawan tangguh. Pemikirannya tentang kebudayaan termasuk brilian. Ia juga terkenal sebagai pribadi yang terbuka dan penolong. Pada era 80-an hingga 90-an, seniman rasanya belum menjadi seniman jika belum pernah mengunjungi Bengkel Teater. Grup teater pun sering akan merasa “absah” jika sudah bisa pentas di Bengkel Teater Rendra. Bengkel Teater Rendra pada masa itu benar-benar menjadi oase bagi para seniman, selain Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Sebagai seniman dan budayawan, tak ada orang yang meragukan konsistensinya. Mas Willy adalah sedikit dari penyair-dramawan Indonesia yang mendedikasikan hidupnya untuk sastra dan drama. Meski begitu, seiring dengan popularitasnya yang tidak pernah pudar sepanjang lebih dari 40 tahun, ada juga sisi hidup Mas Willy yang dinilai minor. Di antaranya soal poligami yang dilakukannya. Tiga istrinya: Sunarti, Sitoresmi, dan Ken Zuraida pernah tinggal satu atap. Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Ketika menikahi Sitoresmi pada 1970, Mas Willy masuk Islam. Nama W.S. Rendra yang sebelumnya kepanjangannya Wilibrordus Surendra Broto Rendra diubah menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Belakangan, ia lebih senang disebut Rendra saja. Proses menjadi mualaf juga menjadi cibiran banyak orang. Banyak orang ketika itu menuding Rendra masuk Islam demi bisa mendapatkan Sitoresmi. Namun, publik akhirnya bisa menilai Rendra tetap Muslim sampai wafatnya. Bahkan, Mas Willy tampak makin zuhud setelah naik haji.

Saya tersenyum simpul ketika membaca penuturan Mas Willy yang minta ampun pada Tuhan karena semua yang dia minum saat berhaji “air zamzam sekalipun” rasanya seperti minuman keras merek Chevas Regal. Itu karena meskipun sudah bergelar haji kebiasaan lama Mas Willy minum minuman beralkohol masih jalan terus.

Kata dia, “Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah.” Menurutnya, ia betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga ia ingin berteriak, “Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!”

“Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.” (Albaz-dari buku Saya memilih Islam Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press,

website : http://www.gemainsani.co.id oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com).

Sepak terjang Rendra memang sering membuat orang salah sangka tentangnya. Ketika ia menikahi Sitoresmi, banyak orang menyangka ia gila popularitas. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR dan Rendra datang untuk meneriakkan dukungan dan membacakan puisi, banyak orang menilai ia sedang cari muka. Ketika ia membaca puisi saat deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo di TPA Bantargebang, banyak yang menyangka Rendra sudah partisan. Saya pun termasuk yang salah sangka dan ikut jengkel dalam hati ketika Rendra runtang-runtung dengan Setiawan Jody saat acara konvensi Golkar menjelang Pemilu 2004 lalu.

Setelah saya renungkan, inti dari salah sangka itu lantaran Mas Willy ingin menjadi manusia merdeka yang memiliki moralitas otonom (dalam pengertian Kantian). Ia ingin menjadi dirinya sendiri yang selalu memihak si lemah. Ia tidak ingin berada dalam arus kekuasaan. Makanya, dalam pelbagai kesempatan ia selalu lontarkan ide perlunya daulat rakyat dan mengkritik keras setiap kekuasaan yang mengedepankan daulat raja.

Ya, Mas Willy tetap Mas Willy. Ia tak perlu lagi membuat orang salah sangka terhadapnya. Ia pun tak perlu lagi mengkritik daulat raja. Ia kini dengan tenang dalam daulat Tuhan. Selamat jalan, Mas Willy.

*) Sastrawan, tinggal di Bandar Lampung

Menjadi Penyair dari Catatan Harian

Dahta Gautama*
http://www.lampungpost.com/

KARENA keintensitasan menulis puisi, kemudian memublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa atau kemudian membukukan puisi-puisinya, seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tiba-tiba dipredikati sebagai penyair.

Apakah semudah itu untuk menjadi penyair? Tentu tidak. Menjadi penyair, mengambil istilah sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., melalui proses panjang yang berdarah-darah.

Kepada saya, Isbedy Stiawan Z.S. pernah mengatakan awalnya ia hobi membaca cerita-cerita silat Kho Ping Ho, ketika menunggu warung rokok milik ibunya. Kemudian ia tertarik dengan permainan kata-kata yang dicipta sedemikian dahsyat dalam novel silat itu. Di lain waktu, ketika ia duduk di bangku SMA, ia mulai menulis beberapa kalimat sederhana.

Hal itu hampir setiap hari ia lakukan, kalau mau dikata, mungkin, semua unek-unek yang ada di hatinya ia tulis. Kemudian jadilah bait-bait puisi. Beberapa tahun kemudian puisi-puisi itu menghantarkannya menjadi penyair.

Hal yang sama juga saya alami. Saya bingung juga menjawab pertanyaan-pertanyaan, peneliti dari Kantor Bahasa Lampung (tiga tahun lalu). Peneliti ini menanyakan bagaimana, kok saya memilih untuk menjadi penyair (sastrawan) dan bagaimana memulai proses kreatif saya sebagai penyair?

Saya bingung harus menjelaskan dengan memulai dari peristiwa yang mana. Yang saya ingat, kali pertama saya tertarik pada puisi ketika saya duduk di bangku kelas dua SMP. Ketika itu, Senin pagi, saya enggan ikut upacara bendera, yang memang rutin dilakukan di setiap sekolah. Saya takut ditunjuk oleh wali kelas menjadi petugas pengerek bendera atau membacakan teks Pancasila.

Perasaan enggan saya pun berasalan, karena saya malu. Sebab sepatu milik saya sudah robek dan butut. Di luar pagar sekolah, di lembar buku tulis agak tebal (buku catatan harian), saya menulis: Seandainya ayah bisa membelikan aku sepatu. Hari ini aku pasti bisa ikut upacara. Tapi, kata ibu, ayah tak punya uang. Oh, matahari.. sampaikan kepada Tuhan, beri ayahku uang.

Baiklah, apa yang saya sampaikan tentang proses kreatif Isbedy Stiawan Z.S. dan saya hanya sebagai instrumentalia saja. Saya menegaskan, bahwa berpuisi (menulis puisi) bisa dimulai dari membuat catatan harian.

Sunyi, kegelisahan, perasaan tertarik dengan teman satu sekolah atau bahkan guru yang galak. Biasanya kerab ditulis para remaja dalam catatan buku hariannya. Saya pernah mencuri membaca buku harian keponakan yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. Bila saya kutip, begini bunyinya: Pagi ini gerimis. Entahlah, langit tiba-tiba bocor. Aku ingin berenang bersama embus angin. Dingin. Tapi hatiku sunyi. Hari ini aku tak ke mana-mana. Karena rasa manusiaku seperti terkurung di ruang gelap tak berlampu.

Saya dibuat terkejut-kejut oleh buku harian remaja terkini, yang saya kira cuma kenal popcorn dan mal-mal. Yang ditulis keponakan saya dalam buku hariannya itu mengingatkan saya pada penyair perempuan Jerman, Else Lasker-Schuler. Else lahir pada 1869, keturunan Yahudi. Ia tertarik pada sastra ketika duduk di sekolah menengah pertama. Tetapi yang perlu diketahui, ia pun memulai karier kepenyairannya dari menulis catatan-catatan ringan di buku hariannya yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya.

Salah satu catatan hariannya, yang kemudian menjadi puisi yang membawa namanya menjadi penyair perempuan terkemuka adalah puisi Kiamat. Mari kita simak: Terdengar rintihan di dunia. Seolah tuhan sudah mati. Dan bayangan kelam yang jatuh itu. Menjadi beban berat bagaikan kuburan. Mari, kita bersembunyi rapat. Kehidupan bersandar dalam jiwa kita. Bagaikan dalam peti mati.

Else Lasker menulis catatan harian ini (kemudian menjadi puisi) ketika Hitler merebut kekuasaan di Jerman berikut dengan perangkat kekejamannya. Ia menggambarkan bagaimana suasana hatinya ketika itu, saat Hitler membunuh lawan-lawan politiknya. Ia mengibaratkan hidup di bawah pemerintahan Hitler, bagaikan berada dalam peti mati.

Penyair-penyair terkemuka dari Indonesia memulai kariernya dari catatan harian antara lain Diah Hadaning, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang dan masih banyak lagi. Kita juga mengenal sastrawan dunia Anton Chekhov, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Henrich Boll, Guenter Grass juga sastrawan Karibia peraih nobel sastra Derek Walcott.

Pergulatan dan Ketekunan
Totalitas dalam bersastra semacam meniti jalan panjang yang meletihkan. Seorang penyair terkemuka, tak pernah bisa ujug-ujug menulis puisi kemudian puisinya bisa langsung dimuat di majalah sastra atau koran-koran yang ada lembar budayanya. Pertimbangan seorang redaktur sastra tentunya sangat objektif. Diperlukan ketekunan dan kesabaran. Bakat saja tidak cukup. Karena tentunya, seorang sastrawan (penyair) harus memiliki wawasan yang luas cakupannya. Oleh karena itu harus banyak membaca sebagai referensi yang diperlukan sebagai sarana perbandingan.

Bersastra bukan membuka lahan, melainkan menciptakan dan menggarap dunia baru. Saya kira bagi penulis pemula yang ingin menceburkan diri ke dalam dunia sastra, tidak menjadikan sastra sebagai sarana untuk populer. Kepopuleran adalah imbas dari ketekukan kita. Ketenaran adalah imbas dari pergulatan yang panjang dalam bersastra. Dan ingat kepopuleran dan nama besar tidak pernah bisa diraih, ketika seorang merasa bahwa ia sudah menulis karya sastra bagus. Karena puisi “bagus” sesungguhnya sulit di definisikan. Ketika dihadapkan kepada khalayak sastra terkini, saya kira puisi Kiamat Else Lasker, yang begitu populer di zamannya, menjadi puisi yang sangat sederhana ketika kini kita membacanya kembali.

Dalam tulisan ini saya kembali ingin menegaskan, bahwa berpuisi (menjadi penyair) bisa dimulai dari hal-hal ringan, yakni dari menulis catatan di buku harian. Namun ada hal lain yang saya kira, sama-sama kita setujui, bahwa untuk menjadi penyair (sastrawan terkemuka) tidak mungkin cuma berasyik masyuk dengan tidak melakukan inovasi. Sebab, inovasi dan pembaruan juga berlaku dalam sastra, bukan hanya di dunia iptek. Semisal, karena yang dibaca cuma puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dan kebetulan karena mengidolakannya.

Maka konstruksi bahasa dalam puisi yang ditulis, ya diupayakan dibuat menyerupai puisi Subagio. Tentu teori referensi berlaku bagi semua sastrawan. Bahkan sekelas Chairil Anwar dan Sitor Situmorang. Bahkan kita dibuat bingung ketika membaca puisi-puisi W.S. Rendra, kita serasa membaca puisi-puisi Lorca.

Namun kita pun harus mengakui, dalam puisi-puisi W.S. Rendra memiliki ruh. Berkonstruksi bahasa yang kuat meski kesannya menyerupai puisi-puisi Lorca. Itu karena W.S. Rendra melakukan pembaruan dan inovasi dalam puisi-puisinya.

Pada suatu kesempatan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam perhelatan Cakrawala Sastra Indonesia (2005), saya sempat berbincang-bincang dengan cerpenis Ahmad Tohari. Pembicaraan kami, seputar puisi yang ditulis para siswa di lembar Kaki Langit majalah sastra Horison, ketika saya bilang puisi-puisi para siswa sepertinya dimulai dari catatan buku harian. Konstruksi bahasanya sederhana, ngalir dan kadang mengejutkan juga terkesan tiba-tiba meradang.

Ahmad Tohari berkomentar, “Mereka menulis puisi karena gelisah. Dan itu ciri catatan harian. Ungkapan-ungkapan yang ingin mengadu dan berpasrah diri tetapi juga memberontak.”

*) Penyair, tinggal di Bandar Lampung.

Menegasi Indentitas Sastra Indonesia*

Damhuri Muhammad**
http://www.infoanda.com/

Corak historiografi kesusastraan Indonesia modern yang masih berpijak dan bertolak dari ‘asal muasal’ dan pendekatan teleologis, memang sudah amat melelahkan dan terlalu banyak menguras tenaga dan pikiran. Sebagian pemerhati sastra mulai pesimis, kehilangan gairah, bahkan apriori.

Nirwanto Dewanto, dalam esainya (Kompas, 4/3/2000) mempertanyakan, masih perlukah sejarah sastra? Ini mencerminkan ketidakpercayaannya pada konstruk sejarah yang ditegak-berdirikan tanpa ‘kesadaran sejarah’ itu sendiri. Sejarah sastra yang ‘penuh lupa’ atau sengaja lupa berkepanjangan.

Andai seorang novelis atau penyair mengetahui sejak kapan sejarah sastra bangsanya bermula, dan bagaimana munculnya angkatan-angkatan dalam sastra, akankah ia tertolong untuk menghasilkan karya bermutu? Tidak!. Tak ada keterkaitan antara sejarah sastra dengan pergulatan sastrawan meraih kompetensi literer.

Bagi Nirwan, kita tak perlu sibuk berselisih paham untuk mempertahankan pendapat bahwa sastra Indonesia bermula sejak zaman Balai Pustaka, atau jauh sebelumnya. Tak perlu bersitegang urat leher memperdebatkan angkatan-angkatan dalam sejarah sastra. Masa depan sastra Indonesia tidak bergantung pada penulisan sejarah yang bercorak tautologis itu.

Namun, tidak segampang itu penyelesaiannya bagi Maman S Mahayana. Melalui buku terbarunya, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta, Bening Publishing, 2005), penggiat dan pemerhati sastra ini justru hendak bersitegas bahwa wajah sejarah sastra yang ‘buruk rupa’, bopeng, dan bolong-bolong itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tapi mesti ditambal, diluruskan, dan (bila perlu) ditulis-ulang.

Betapa tidak? Selain problem pemutakhiran data, buku-buku sejarah sastra yang terlanjur dikunyah dan dimamahbiak oleh para siswa di sekolah menengah, juga tidak luput dari keterceceran data. Banyak data yang mestinya dicatat, raib begitu saja. Tak sedikit nama yang telah berjasa dalam perjalanan sejarah kesusasteraan Indonesia terabaikan, dan terlupakan.

Tak dapat disangkal, buku-buku HB Jassin telah memberikan kontribusi amat besar. Banyak nama dan karya telah dicatat dan diangkatnya, berlimpah arsip yang didokumentasikannya, hingga nama Jassin pun kukuh sebagai dokumentator sastra dan tokoh penting dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Problemnya, kharisma sang ‘paus’ sastra itu, diterima para peneliti lain, tanpa pandangan kritis. Hal ini yang terjadi pada buku karya Zuber Usman, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, A Teeuw dan Jacob Sumardjo.

Kekeliruan mencolok adalah adanya lompatan dari periode Pujangga Baru ke periode pasca-kemerdekaan. Sementara, sastra Indonesia zaman Jepang hanya disinggung sepintas lalu. Itupun, hanya mengacu pada gagasan Jassin. Karya-karya yang dibicarakan pada masa itu hampir selalu jatuh pada dua novel terbitan Balai Pustaka, Palawija (Karim Halim) dan Cinta Tanah Air (Nur Sutan Iskandar). Dalam hal ini, para peneliti sastra merujuk pada dua buku karya HB Jassin: Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang (1954) dan Gema Tanah Air (1959).

Tapi, yang dilakukan Jassin dalam kedua buku itu, (dalam batas-batas tertentu) tidak berdasar. Mestinya karya-karya yang termuat dalam Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang adalah karya-karya yang muncul dalam rentang waktu 1942-1945. Tapi, karya-karya yang muncul selepas merdeka juga tercatat dalam buku itu, sedangkan karya-karya yang seharusnya masuk zaman Jepang justru tercatat dalam Gema Tanah Air.

Akibatnya, orang akan menyangka Chairil Anwar dan Idrus termasuk sastrawan zaman Jepang, sedangkan Darmawidjaja justru ditempatkan pada masa sesudahnya. Dalam kedua buku itu, tidak ditemukan nama-nama seperti Muhammad Dimyati, Yousouf Sou’yb dan Merayu Sukma. Lebih parah, dalam buku Jacob Sumardjo, Zuber Usman bahkan A Teeuw (yang mengacu pada Jassin), nama-nama itu tetap tenggelam tanpa alasan. Padahal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, karya-karya mereka tidak kalah penting dari yang lain. “Inilah blunder para peneliti yang hanya bersandar pada satu sumber,” kata Maman S Mahayana.

Selain ‘berikhtiar’ mengurai-jelaskan keterceceran data dalam sejarah sastra Indonesia, buku itu juga hendak mendudukkan sebuah konsepsi sastra yang bertolak ‘dari dan menjadi Indonesia’. Maman seperti hendak menyuarakan ‘kegelisahan akademik’ yang dialaminya selama malang melintang di jagad sastra. Kegelisahannya melihat geliat perjalanan sastra Indonesia yang belum menemukan identitas. Ibarat pohon yang berdiri-tegak, bersitumbuh tanpa akar.

Apakah benar sastra Indonesia itu ada? Kalau ada, dari manakah ia berasal? Di manakah akar identitas sastra Indonesia itu dapat dilacak? Inilah pertanyaan-pertanyaan hipotetik yang belum terjawab dalam penulisan sejarah sastra Indonesia dewasa ini.

Menurut Maman, kita tak perlu ‘malu-malu’ mengakui bahwa ‘darah daging’ kesusastraan Indonesia adalah ’sastra etnik’ yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional yang diangkat dari bahasa Melayu). Pencapaian jelajah tematik dan eksplorasi estetik para sastrawan, tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkan mereka.

Ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit (Azab dan Sengsara, 1920 dan Siti Nurbaya, 1922), masalah kawin paksa seolah-olah menjadi tema sentral. Lalu, ke manakah ‘etos merantau’ yang menjadi salah satu ciri kultur Minangkabau? Periksalah, novel-novel Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya nyaris tak pernah lepas dari semangat berkelana, ideologi perantauan. Tapi, etos ini seolah-olah sengaja dikesampingkan.

Begitu pun ketika ST Alisjahbana menyatakan, kebudayaan tradisional (kultur etnik) harus mati semati-matinya, dalam kenyataan hanya sekedar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya justru banyak memuat tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional atau sastra yang berakar dari kultur etnik.

Seperti dicatat Poerwoto Prawirahardjo (1933), Majalah Poedjangga Baroe pernah memuat tulisan Hoesein Djajadiningrat, Arti Pantoen Melajoe jang Gaib, yang menolak pandangan orang-orang Barat tentang pantun. Pada tahun yang sama, juga dimuat artikel Armijn Pane, Kesoesasteraan Baroe, yang menegaskan bahwa kebudayaan daerah tidak dapat diabaikan dalam kesusasteraan baru. Sejumlah puisi karya Imam Soepardi, Amir Hamzah, Tatengkeng, dan A Tisna juga memperlihatkan pengaruh kebudayaan etnik.

Karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru. Di sana, masih ada Armijn Pane dan Amir Hamzah yang tak berpaling dari kebudayaan etnik. Hal yang sama juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamirkan sikap berkesenian lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang mempertahankan kekaguman Alisjahbana pada kebudayaan Barat. Meski Chairil tidak menelannya secara mentah-mentah, tapi menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan proses kreatifnya.

Rentang panjang perjalanan sastra Indonesia yang tak pernah tercerabut dari akar budaya etnik itu dapat terlacak hingga babakan sejarah paling mutakhir sekalipun. Lihatlah, tokoh imajiner Ajo Sidi garapan AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, yang tak lepas dari kultur Minang. Demikian pula yang dilakukan Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Moenir (Bako, 1983), Wisran Hadi (Orang-orang Blanti, 2000), dan Gus Tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000).

Ekplorasi tematik yang digali dari kultur etnik merupakan peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air yang tak pernah kering. Tengoklah Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1982), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Kuntowijoyo (Pasar, 1994), beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur Jawa dengan cara amat cerdas.

Sampai di titik ini, maka sejarah sastra tidak hanya perlu, tapi juga penting. Sebab, hanya dengan penelusuran, pelacakan dan penulisan sejarahlah dapat ditemukan dan dirumuskan sebuah konsep sastra Indonesia yang ‘beridentitas’ kokoh dan orisinil (asali). Semesta sastra yang ‘meng-indonesia’ tanpa harus menghamba dan mengekor pada budaya Barat. Ya, sastra yang hidup, tumbuh, berkembang dan membiak dengan kultur etnik sebagai ruhnya.

*) Republika Online.
**) Penyair dan pengamat sastra.

Riau dalam Pusaran Sastra Indonesia

Sunaryono Basuki Ks*
http://www.jawapos.com/

Buku rujukan tentang sastrawan dan karya sastranya di Indonesia tidak banyak. Ernst Ullich Krastz, dosen di School of Oriental and African Studies, University of London, menyusun buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah berupa catatan tentang karya drama, prosa, dan puisi (Gadjah Mada University Press, 1989). Catatan yang dibuat Kratz melingkupi karya sastra yang terbit di dalam majalah (bukan buku dan koran) yang terbit antara 1920-1980.

Pamusuk Eneste menulis buku sejenis berisi nama pengarang dan karyanya, termasuk karya terjemahan: Buku Pintar Sastra Indonesia (Gramedia, 1981, dan Kompas, 2001). Suhendra Yusuf juga menyusun buku serupa (Mandar Maju, 1995), sedangkan Hasanuddin W.S. menyusun Ensiklopedia Sastra Indonesia yang diterbitkan di Bandung (Titian Ilmu, 2004).

Sesudah itu, tercatat Korrie Layun Rampan menerbitkan Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang memuat nama sastrawan dan riwayat hidup serta karyanya, sebagian besar disertai foto pengarang.

Kerja keras para penyusun buku tersebut sangat patut diacungi jempol walau ketika bukunya terbit pasti akan ketinggalan zaman karena membanjirnya karya sastra di seluruh pelosok Indonesia. Buku-buku rujukan tersebut selalu memerlukan pemutakhiran data, namun diragukan ada penerbit yang mau menerbitkannya.

Buku Leksikon Sastra Riau memuat informasi mengenai 173 sastrawan yang lahir di Riau atau tinggal di Riau dan berkarya di Riau. Kebanyakan memuat nama, tanggal, dan tempat lahir (bahkan sebagian menyertakan alamat pos serta alamat e-mail serta nomor HP si sastrawan) dan sejumlah karya sastranya. Buku disusun sesuai abjad dengan aturan Indonesia (tidak mengikuti aturan Inggris yang menulis last name lebih dulu). Panjang informasi mengenai pengarang bervariasi, mulai beberapa baris seperti Ahmad Rodhi yanga hanya tiga baris, Taufik Ikram Jamil yang satu setengah halaman, Sutardji Calzoum Bachri hampir dua halaman, hingga Hasan Junus yang dua setengah halaman.

Uniknya, buku itu juga dilampiri sejumlah halaman depan sebagai bukti otentik mengenai kegiatan penerbitan buku sastra di Riau yang dilakukan Universitas Islam Riau, BKKI Riau, Yayasan Sagang, Bengkel Teater Bersama dan Harian Riau Pos, serta penerbit-penerbit buku lain. Itu menandakan kehidupan penerbitan buku di Riau cukup marak. Namun, tentu saja buku tersebut bukan tanpa cacat. Di dalam dokumentasi halaman buku terlihat buku novel Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi (Yayasan Sagang dan JPBooks), namun ternyata nama Rida yang juga menulis kumpulan puisi Tempuling serta Perjalanan Kelekatu tidak tercantum di dalam buku itu. Rida K. Liamsi yang kebetulan CEO Riau Pos Group adalah sastrawan yang cukup aktif menulis dan memberikan ceramah sastra di berbagai tempat.

Melihat aktivitas sastrawan Riau yang tergambar pada pemuatan karya sastra mereka di Riau Pos dan koran-koran lain di Sumatera, tentunya jumlah 173 pengarang belumlah lengkap. Namun, setipis apa pun, buku itu sangat diperlukan untuk referensi.

Lantas bagaimana dengan Jatim yang penuh tokoh-tokoh sastra, baik yang sudah almarhum, sepuh, maupun sastrawan muda? Waktu menyusun bukunya, Kratz merujuk pada koleksi Soeripan Sadhi Hoetomo, sastrawan yang sangat aktif menulis artikel sastra dan kemudian mencurahkan perhatiannya pada sastra Jawa. Jatim punya Suparto Brata, Budi Darma, dan Zawawi Imron pada deretan sastrawan sepuh. Lalu, sastrawan separo baya seperti Shoim Anwar, lebih muda lagi ada Lan Fang.

Sedangkan yang almarhum, ada Totilawati dan Gatut Kusumo. Ada pula nama Agus Sunyoto, mantan pewarta Jawa Pos yang sangat produktif menulis buku, dan banyak lagi lainnya. Ratusan sastrawan yang masih hidup dan sudah almarhum berkiprah di Jatim sehingga pasti akan menjadi buku yang tebal dan sangat informatif. Tetapi, siapa yang mau mengerjakan dan menerbitkannya? (*)

*) Pencinta buku tinggal di Singaraja

Judul Buku : Leksikon Sastra Riau
Penyusun : Husnu Abadi dan M.Badri
Penerbit : Universitas Islam Riau dan Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia Riau
Cetakan : Januari 2009
Tebal : 154 + ix halaman

40 Hari Burung MERAK

Putu Wijaya
http://www.facebook.com/pages/Putu-Wijaya/43262432803

RENDRA
Pulang dari tahlilan 7 hari meninggalnya WS Rendra di Bengkel Teater, Citayam, pintu rumah saya terkunci. Saya terpaksa mengambil jalan samping. Di teras yang menghadap ke kebun saya tertegun. Pada salah satu kursi duduk sosok yang membuat darah saya tersirap.

“Mas?”
Tak ada jawaban. Saya mencoba menenangkan perasaan. Malam sedang di puncaknya. Tapi ada dering jengkrik yang membuat saya tenang. Saya coba menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang wajar.

“Ada apa Mas?”
Tidak ada jawaban. Atau saya yang tidak mendengar. Saya hindari semua pertanyaan di kepala dan menghadapi itu sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan.

“Aku paham, memang tidak mudah. Buatmu juga buat kami. Mas harus pergi padahal sejak malam purnama 6 Agustus itu, Mas selalu hadir di hati kami.”

Belum ada jawaban. Tapi saya mendengar suara batuk. Mungkin suara itu dari gardu satpam atau dari dalam rumah. Boleh jadi saya sendiri yang batuk.

Saya jadi teringat 40 tahun lalu di Yogya. Malam yang serupa, ketika kami melakukan pengamatan lapangan pada orang-orang jalanan dalam mempersiapkan pertunjukan Menunggu Godot. Kami gobrol di warung pinggir rel kereta dengan seorang pembual yang dengan tenangnya mengaku asal Godean dan masih bertaut famili dengan Pak Harto. Sambil nyeruput teh poci, kami nikmati saja semua cipoanya. Ia juga tahu kami tidak percaya. Tapi itu tak penting. Semuanya mengalir.

Di pasar tradisonal yang perlahan-lahan bangkit, tukang sayur meluap dari luar kota. Dengus sapi gerobak seperti menjilati punggung. Kami masuk ke dalam rimba kata-kata tanpa mengusut artinya. Semuanya hanya bunyi-bunyi berseliweran untuk saling bersentuh dan menyapa. Tak ada pertanyaan, semuanya diterima dan dinikmati sebagai bagian dari yang harus terjadi.

Waktu itu, saya masih mahasiswa indekosan yang biasa pulang sore. Pengalaman tengah malam itu lebih terasa sebagai pelanggaran hidup teratur. Meresapi kehidupan dengan citarasa lain. Saya menganggapnya sebagai sesuatu yang tak ada gunanya. Tetapi itulah salah satu inti dari karya agung Beckett yang mendapat anugerah nobel itu. Melihat sesuatu dengan sudut pandang baru.

Manusia tidak hanya lahir dan mati, tapi juga menunggu. Manusia tidak hanya melakukan hal-hal yang rasional dan sesuai dengan tujuannya. Berserakan segala yang tidak perlu yang kita pelihara sebagai sesuatu yang wajib. Misalnya membunuh waktu seperti yang dilakukan Didi dan Gogo ketika menunggu Godot yang tidak pernah datang dan juga tidak pernah diketahui apa siapanya.

“Ya?”
Saya terkejut dan menoleh. Tapi suara itu nampaknya suara saya sendiri yang ingin memecahkan kebuntuan komunikasi.

“Ya tanpa kau sadari, saya telah belajar dari kamu bagaimana melihat banyak hal, kalau tidak bisa dikatakan semua hal, dengan cara yang lain. Bisa aneh, nyeleneh, asing, kurangajar atau gila, tetapi menjadi baru dan melahirkan kesegaran. Dengan begitu hidup yang sama jadi berbeda dalam hitungan detik. Tak ada yang berulang, karena kita selalu menerimanya dengan cara dan pintu yang berbeda. Kau mengajak orang untuk total, orisinal dan otentik. Dan itu tidak mudah, karena memerlukan waktu. Lebih gampang meniru atau menjaplak yang sudah dirampungkan dengan baik oleh orang lain. Terimakasih.”

Saya ulangi sekali lagi.
“Terimakasih.”
Dia memalingkan muka.

“Saya paham, kamu datang malam-malam bukan untuk mendengar aku bilang terimakasih. Seperti dulu, kau ingin menyerap apa yang sedang terjadi. Aku tidak tahu apa kau setuju, tapi aku khawatir. Makin lama makin banyak kelak orang yang tidak pernah mengenal kamu akan bicara tentang kamu. Mereka akan cenderung membuatmu sebagai dongeng. Tidak kalah dengan semua anekdot tentang Chairil Anwar. Banyak orang mengidolakan kelakuan yang ‘gila’ dan tidakan yang anarkis. Kau memiliki semua persyaratan itu. Ketampananmu yang meruntuhkan hati banyak perempuan. Keberanianmu melawan penguasa. Pernyataan-pernyataanmu yang kenes, tajam dan ‘kurangajar’. Semuanya sudah menjadi legenda. Kau akan jadi dongeng yang tak habis-habisnya sehingga kau sendiri habis.”
Tiba-tiba saya mendengar tertawa. Tidak ada orang yang tertawa seperti itu kecuali dia.

“Aku serius. Kelakuanmu akan jauh lebih terkenal dari pikiran-pikiranmu. Apa yang kau maksudkan dengan ‘mempertimbangkan tradisi’, ‘keberanian melawan’, kegagahan dalam kemiskinan’, bagaimana tidak menyerah’, ‘melihat segala-sesuatu dengan sudut pandang baru’ , bisa jadi dimanfaatkan dengan keliru. Gaya kau tampil di panggung, cap ‘burung merak’mu, ucapan-ucapanmu yang gagah, akan terpampang di T-shirt dan dipakai berjuang oleh parlemen jalanan. Walhasil kau akan terus disebut-sebut sekaligus ditinggalkan.”

Saya terkejut oleh pikiran saya sendiri. Tapi waktu menoleh, saya lihat dia tidur. Ini keempat kalinya saya memergoki dia tidur. Pertama, 41 tahun lalu, ketika nonton drama di gedung PPBI, Yogya. Kedua, 24 tahun lalu, waktu nonton drama Brecht di Jerman Timur. Yang ketiga, awal tahun ini, pulang dari pembukaan pameran sketsa almarhum Nashar dalam pesawat Garuda.

“Aku tidak akan ikut menjadikan kamu dongeng. Bagiku kau sebuah buku pelajaran. Kau memang empu yang tinggal di atas awan yang bertugas seperti polisi lalu-lintas pada kebijakan penguasa. Kau juga kawan bercanda di warung samping rel kereta api mendengarkan celoteh para pembual. Tapi kebesaranmu juga musuh, yang harus dilewati oleh seorang kalau ingin berhasil. Seperti yang pernah kau bilang, mengagumi dan menghargai tak boleh sampai menghilangkan sikap kritis.”

Dalam tidurnya, seperti biasa saya dengar dulu di Bengkel Teater, terdengar bunyi keritan gigi. Penyair Darmanto Yt yang juga seorang psikolog itu, pernah bilang, suara itu adalah tanda ambisinya yang besar dan berkobar-kobar.

Belakangan saya bertemu dengan pelukis Hardi sebelum siaran langsung mengenang Rendra di Metro TV. Ceritanya membuat saya sedih. Jadi sebagai orang yang pernah memiliki 3 istri dan 11 anak, Rendra bukan hanya seorang sastrawan besar, tetapi juga seorang kepala keluarga yang punya tanggungjawab berat.

“Ini negeri macam apa, kok membiarkan sastrawan yang sebesar itu sampai cari komisi dari jual lukisanku untuk membiayai keluarganya! “kata Hardi gemas, sambil memperlihat surat Rendra dari penjara, ketika memintanya mencari bantuan ke Buyung Nasution dan Ajip Rosidi untuk mendukung kesejahteraan keluarganya.

Saya merasa amat trenyuh. Tak semua kelakuan almarhum bisa dinilai sebagai sesuatu yang diyakininya. Meskipun dia sudah tersohor sebagai sosok yang tak kenal kompromi. Mungkin ada yang terpaksa dilakukannya dengan berat hati dan penuh kesadaran itu tak pantas, tapi tak ada cara lain. Karena bagaimana pun, sama dengan manusia lainnya, dia harus bertahan. Dostojewsky pun terpaksa menulis cerita bersambung “Rumah Mati Di Seberia” yang tersohor itu di koran, untuk bertahan hidup.
Di situ saya kehabisan kata-kata. Sudah jelas. Tak perlu ditanyakan lagi. Saya tahu kenapa dia duduk di situ. Lalu saya mendekat dan memegang tangannya.
“Aku juga minta maaf, Mas.”

Jakarta, 23 Agustus 09
—————————————————

ROAD SHOW monolog BURUNG MERAK Putu Wijaya & Teater Mandiri

Peringatan 100 hari Rendra dengan menampilkan warisan pemikirannya: Mempertimbangkan Tradisi – Kegagahan Dalam Kemiskinan – Berani Melawan – Pantang Menyerah – Memilih dan Menilai Dengan SUdut Pandang Baru – Total, otentik, enerjetik dan orisinal

lintas:
Bogor (31 Oktober) – Bandung (8 November) – Cirebon (9 November)– Pekalongan (10 November) –Semarang (11 November) –Kudus (12 November) – Yogya (14 November) – Solo (15 November) – Surabaya ( 17 November) - Jombang (18 November) – Mojokerto (19 November) – Surabaya (21 November) – Malang (23 November) – Singaraja (25 November) – Denpasar (27 November).

Mengharapkan teman-teman penyelenggara Roadshow Burung Merak di wilayah memberikan alamat gedung/tempat diselenggarakannya monolog BURUNG MERAK. Bandung (STSI, teater arena), Yogya (Padepokan Butet), Solo (Taman Budaya), Semarang (Unesa), Surabaya (Unair dan Metropolis Apartemen), Malang (Universitas Ma Chung)

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati