Sabtu, 23 Oktober 2010

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA *
http://www.sastra-indonesia.com/

Iman Budi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.

Setiap ujaran bahasa merupakan tanda dari objek yang ditandainya. Tanda-tanda tersebut pada dasarnya memiliki makna, baik hanya sebatas ikon maupun indeks, bahkan bisa jadi itu merupakan simbol. Makna yang dihasilkan ikon biasanya hanya bersifat tersurat, sedangkan makna yang ditimbulkan indeks dan simbol itu bersifat tersirat. Indeks dan simbol maknanya bersifat konotatif.

Puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Potretmu, Potretku, Potret Kita Nanti. mengandung makna yang begitu dalam akan realitas kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia. Penyair seolah memberikan gambaran dan alarem kepada setiap manusia akan perjalanan hidupnya. Ia memperingatkan bahwa yang mesti ditakuti oleh setiap orang dalam hidupnya bukanlah kematian, melainkan masa tua. Ituah hantu jiwa yang eksistensinya perlu diwaspadai oleh setiap orang.

Sungguh bukan maut yang menakutkan // tapi tua terpuruk sendirian (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Kata terpuruk dalam baris kedua puisi di atas menggabarkan bagaimana suatu kondisi seseorang yang berada dalam kesusahpayahan. Kata itu memiliki konotasi makna yang lebih kuat dan mendalam akan gambaran pribadi seseorang yang begitu menyedihkan dan begitu payah. Kata terpuruk tersebut dapat merujuk pada derajat dan martabat. Seseorang hargadirinya digambarkan telah hilang. Ia berada dalam kehinaan.

Masa itu sebagaimana gambaran penyair, terjadi saat diri telah renta dan sudah tidak ada lagi orang yang berkenan menemani. Sanak, saudara, teman, bahkan keluarga sudah tidak ada di sisi lagi. Hal itu belum cukup, yang lebih tragis lagi adalah saat tubuh dalam keadaan sakit. Tubuh sudah tidak berdaya dan telah diserang benih-benih penyakit. Saat-saat itulah yang sungguh memrihatinkan bagi setiap orang. Itulah potret manusia ke depan yang harus diwaspadai keberadaannya

Dimakan batuk dan kembali ingusan // dijaga tongkat, sapu pengusir lalat // menunggu suapan sanak kerabat (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Ini adalah gambaran realitas yang terjadi di masa tua. Penyair begitu jeli dalam mengungkapkannya. Penyakit yang kerap menghinggapi usia-usia lanjut adalah penyakit batuk dan flu. Lebih dari itu, kata kembali ingusan bahkan tidak sekedar menyaran pada penyakit flu. Kata itu dapat menjadi simbol bagi keadaan saat masa kanak-kanak, di mana mereka kerap ingusan meski tidak terkena flu. Kata tersebut memiliki makna konotasi bahwa seseorang yang telah lanjut usia itu pola pikir dan perilakunya seolah-olah kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia menjadi bersikap lebih manja dan ingin perhatian yang lebih dari kerabat dan keluarganya. Tapi bagaimana jika realitas berbicara lain, ketika lanjut usia seseorang tidak ada yang memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih kepadanya? Ia tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhannya, baik makan, minum, maupun yang lain. Sungguh, betapa terpuruknya ia.

Keadaan itu belum melihat dari sisi fisiknya. Di usia tua, tenaga dan kekuatan seseorang telah menurun derastis. Jangankan untuk mengangkat beban, berdiri tegak saja sudah tidak mampu. Ia harus ditopang dengan tongkat penyangga. Kondisi semacam inilah, bagi masyarakat jawa kerap memberi julukan kepada mereka sebagai sapu gerang (sapu pengusir lalat). Sapu yang sudah tidak dapat difungsikan lagi untuk membersihkan tumpukan sampah. Itulah simbol dalam kehidupan masyarakat bagi mereka yang tengah measuk pada kriteria lanjut usia. Ia sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi tenaganya. Yang dapat dilakukanya hanyalah sebatas mengusur lalat saja.

Biasanya, ketika sanak-saudara dan keluarga sudah tidak ada di sisi dan tidak mendampingi mereka yang tengah lanjut usia, harapan satu-satunya hanyalah kerabat dan teman sejawat. Tidak adanya keluarga dan famili yang menemani mereka, kemungkinan disebabkan faktor-faktor tertentu, seperti meninggal dunia dan berada di tempat jauh. Itu biasanya yang kerap terjadi.

Puisi ini juga mengandung isyarah pengingat untuk mereka yang berada di kejauhan yang sekian lama tengah meninggalkan keluarganya. Apalagi keluarga yang telah lanjut usia, misalkan; orang tua, kakek, nenek, dan lain-lain. Alangkah mulianya mereka yang berkenan mengikat kembali tali silaturrahmi keluarga. Membawa mereka yang tengah lanjut usia keluar dari kesendirian dan keterpurukan usia.

Selai itu, puisi tersebut memberi isyarat bagi para lanjut usia, jika terjadi demikian, janganlah berharap sesuatu yang lebih akan kehadiran teman sejawat. Bisa jadi mereka telah wafat terlebih dahulu. Biasanya saat-saat semacam itu, mereka kerap mengenang masa lalu yang indah yang tengah dilewati bersama, entah dengan sanak,-saudara, kerabat, keluarga, maupun teman-teman sejawat. Kini kenagan hanya tinggal kenangan yang tidak mungking diulang kembali di masa depan. Oleh sebab itu, untuk menghadapi kondisi semacam itu, seseorang tidak perlu memberikan harapan kebahagiaan yang berlebihan. Apalagi sampai membongkar kembali kenangan indah masa lalunya. Yang mereka butuhkan hanya satu, yaitu pendekatan diri kepada tuhan. Ajaklah mereka untuk banyak mengingat Tuhan, sebab tujuan mereka yang lanjut usia hanya satu, yaitu menjemput kematian yang ada di depan mata dan hanya tinggal sejengkal saja.

Jangan bertanya teman sejawat kemana // sebab lama telah mendahului
Jangan menyapa dengan salam bahagia // karena cita-citanya satu semata. Mati! (Dunia Semata Wayang, bait 2 dan 3, hal 34).

Kata mendahului maknanya berkonotasi pada kata mati. Orientasinya adalah keadaan jiwa yang telah kembali pada pemiliknya, yaitu Tuhan. Teman sejawat di sini digambarkan telah terlebih dahulu kembali pada alam keabadian. Ia telah masuk pada alam kehidupan setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, keberadaan teman sejawat tidak perlu diharapkan lagi. Kondisinya pun pasti sama sebab keterkaitan usia, bahkan bisa jadi ia telah wafat terlebih dahulu.

Fenomena yang tidak dapat dipungkiri dalam realitas kehidupan manusia adalah adanya harapan dalam pribadinya. Ini dimulai dari masa kanak-kanak bahkan jika seorang bayi telah diketahui kehendaknya, ia pasti memiliki kehendak yang sama, yaitu ingin lekas besar dan bercinta. Kehendak inilah yang menyugesti seorang anak untuk selalu mengejarnya. Pada dasarnya mereka selalu dibayang-bayangi dengan fantasi yang indah dan membahagiakan saat beranjak besar, dewasa, dan bertaut dengan cinta. Mereka akan terobsesi dengan kegagahan, ketampanan dan kecantikan atas diri sendiri, sehingga mereka dengan mudah menggaet hati lawan jenisnya untuk masuk dalam dunia percintaan. Dunia yang secara imajinatif digambarkan sebagai dunia yang selalu diselimuti dengan keindahan dan kebahagiaan oleh para remaja.

Besar dan bercinta, dulu // anak suka mengejar dan mengecapnya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Itulah fenomena yang terjadi dalam perkembangan fase seorang anak hingga usia remaja. Apa yang terjadi saat fase tersebut telah terlewati dan mereka telah masuk pada dunia setenga baya? Orientasi kehidupan mereka telah burubah lagi. Dulu yang selalu mendambakan dan mengejar-ngejar cinta kini telah beralih pada pekerjaan. Mereka berfokus pada dunia kerja dan bagaimana cara mempertahankan hidupnya serta keluarganya. Fokusnya adalah mencari nafkah bagi keluarganya, mencukupi kehidupan sehar-hari, dan membesarkan keturunannya.

Berbeda lagi saat menjelang usia lanjut melingkupi kehidupanya. Mereka dengan sendirinya akan terbersit benih-benih ketakutan dalam hatinya. Mereka takut akan kecantikan dan ketampanannya memudar. Kulit menjadi keriput. Tulang-tulang renta tak berdaya. Ingatan mulai melemah. Potret semacam inilah yang mesti diwaspadai dalam kehidupan mendatang bagi setiap orang. Apalagi kerabat dan keluarga tiada lagi menjadi pendamping yang setia.

Begitu senja merebut, takut // cantik tampan tercerabut // badan jiwa lelah menuntut bicara (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Ungkapan yang menyimbolkan usia tua atau lanjut terdapat pada kata senja. Kata ini menunjukan keberadaan hari yang hedak berganti; siang menjadi malam. Ini berkonotasi pada pergantian hidup di dunia menuju kehidupan akhirat sudah semakin dekat. Kehidupan seseorang telah dekat dengan kematian dan akan menuju kehidupannya yang baru. Keadaan semacam itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Kematian akan segera tiba, namun masih menjadi misteri kedatangannya. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidup, tapi tidak menemukan jalan kematian yang wajar dan diridhai Tuhan

ingin pamit justru lupa alasannya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34)

=================
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

KADO PENGHAMPIRAN SASTRA YANG “MEMBUMI”*

Suryanto Sastroatmodjo
http://pustakapujangga.com/?p=638


Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).

Pendekar sastra HB Jassin menyebut; kredo sastra ialah suatu keteladanan moral, suatu empati individual yang lembut, jangan dipolitisir oleh elemen-elemen imperatif. Saya mengistilahkan camera obscure puitika apabila ingin meletakkan kaca mata tilik-selidik dalam penggarapan karya, terlebih jika kita ingin memaparkan karya-kreatif yang bersejarah dan monumental. Impresi adakalanya tanpa diacuhkan para penyair muda. Akan tetapi, postulant kecendikiaan justru berharap, agar metafor-metafor puitika mempunyai modus operandi yang adil, sejujurnya, harmonis.

Selama FKY pada era 80 ke 90an, terlebih ikhwal kebangkitan, peneguhan kredo semacam ini, betapa harus diakui, banyak nama-nama kreator terkubur, sementara sejumlah nama sempat, dan ingin selalu eksis di persada Sastra Indonesia. Sejauh inipun harus diakui, bahwa habitat-habitat sastrawan sangat majemuk, dan berbeda-beda; obsesi-obsesi pewartaan literer juga kudu diakui lebih lanjut.

Di awal tahun 1977, tatkala para penyair muda Yogyakarta, berhimpun di Gunung Jala Sutra, dan mengikrarkan “konsili puitika jala-sutra,” kami berlima; Djudjuk Sagitaria, Minadi S, Kuswahyo S. Rahardjo, Fuad Riyadi dan saya. Mengumumkan; “Tiada sastrawan mati, Tiada penyair sirna, Tiada lahan penciptaan raib, namun demikian Yogyakarta, harus sanggup membangkitkan terus-menerus, gairah produktif penciptaan nan utuh.”

Dua tahun kemudian, bersama budayawan Yoyok Hadi Wahyono, Keliek Moh. Nugroho, dalam pertemuan fajar di Bukit Ratu Boko Prambanan, terbersit lagu baru; “Sastra ialah Rumah Damai yang harus sanggup menampung krida karya mereka, yang menulis puisi laksana arus sungai mengalir, gemerincing di kaki langit. Di balik kedalaman itu, kita pun harus berani menggugat dan menuding diri sendiri, manakala kemandekan (stagnasi) tiba, dan tiada bersahabat.”

Ialah tipis dan pragmatis, bahwasannya penyair-penyair andalan 80an, seperti Otto Sucatno CR, Redi Panudju, Anton Taufan Putra, Abidah El Khaliki, Ulfathien CH dan Dorothea Rosa Herliani,—kita lihat 3 sastrawati berbasis kepenyairan Yogyakarta, dapat “mempribumikan ide-ide kegelisahan perawan” pada era pembebasan Ruh, menuju Teologi Kemerdekaan -berkumandang jauh, sedangkan kaki-kaki mereka, masih berpijak ditekad membumi, dan mengabdi tanpa pamrih.

Ialah riil, betapa potensi ekologis, emasi-patoris dan aplikatif, sudah bertambah tegar, sehingga pada penulis wanita, tidak lagi menghirau apa disebut problem gender yang kini mencuat itu. Kehidupan via literer, dan qua formaleus berkesenian yang jauh berlari, juga dalam pengembaraan gemuruh, seharusnya juga masih bisa ditatap, dan diadaptasikan pada situs-situs baru, produk-puitika mutakhir.

Graduasi kekinian toh tidak harus ditafsirkan sebagai seni mutakhir, alias gerak depan akhir jaman, sebagaimana kalau saya mengamati puisi-puisi Nurel Javissyarqi, Sri Wintala Achmad, Ahmad Syekhu, dan lantaran mereka bukan bicara tentang jaman nan tenggelam, akan tetapi tentang keberpihakan, keuqahari (a simple denotati on), komprehensi dan ritme sang kala.

Demikian pula, bila kita kaji puisi Kuswaidi Syafi’i yang sarat amsal-amsal “mempribadinya manusia” dan soliditas anak manusia. Al-hasil sebuah sikap betapa seharusnya kita bicara bijak, tentang membumikan fitrah hayati, kendati kita tidak bernaung di bawah firman-Nya (secara langsung).

Di waktu sejumlah penyair 1974 berorasi di depan patung Pak Dirman, dipimpin Ragil Suwarno Pragulopati, maka terbit amarah anggota dewan perwakilan rakyat, yang masih “demam malari;” Malapetaka Januari, pertentangan borjuisme gaya hidup dan media ekspresi, sementara pola-pola kerakyatan yang termuat dalam serangkum madah, justru cenderung formulasi proletarian.

Waktu itu penyair Fauzi Abdul Salam, melantunkan kidung “Lantunan Tiri Pejalan Sunyi,” terasa menderum; Kalaulah waktu bicara sudah terpotong fiksi bincangan peraturan di gedung musyawara / dunia acapkali pangling dengan lambaian kasih / hidup bermuara pada selokan pahit anyir / dan ndoro-ndoro tuan tanpa cawat…/. Keprihatinan anak “rakyat ternyata lebih membumi” ketimbang sejumlah impian birokrat pemda DIY (antara 70an) yang cuma bisa mengunyah-kunyah ucapan “Dirgahayu wahai para pribumi kita.”

Kololaria pada memo-memo jemawa, sering kali membuat para penyair tahun 70-80an, sering mengucapkan begini; “Bukankah para priyayi sudah lebih lama mendulang intan? / bukankah si bocah pinggir kali tinggal mencukil-cukil tinja di antara batu-batu kanal di pinggir kota?”—sebagaimana Alfauzi Sofi Salam dalam renungan malamnya menggugat; “Barangkali sudah cukup lama kita menangis, dan dibentak oleh mereka yang menista, kita sebagai Pribumi dalam kepapaan.” Setara dengan laguan kidung pembebasan, sebagaimana pengolok-olok LSM yang berpijar bersama anak-anak jalanan; puisi lebih bersinar lembut di kalbu para bocah.

Lho, apakah sebab penyair juga sudah lama menanggalkan kedukacitaan bocah pedalaman? -sehingga mereka tersesat di rimba kenestapaan?- Dalam Mempertimbangkan Tradisi, WS. Rendra (Gramedia, 1983) mengungkapkan tiga kegelisahan kreatif; pertama, bahwa bila seniman atau penyair bertarung tentang hari depan puisi yang “tahan banthing, tahan jaman” maka ia harus dapat menyeleksi ragam tradisi-tradisi lama, agar memperoleh daya saring -jernih.

Kedua, metafor-metafor puitika itu sebuah pamrih kefasihan berkarya sastra, kendati ini pun bermakna peneguhan hati nurani. Ketiga, upaya melepaskan dari tradisi manapun, untuk menjadi sang sejati yang berformat global. Sejalan itu, penyair senior Imam Budhi Santosa pernah berujar; “Kita sama-sama membutuhkan tradisi;” yakni tradisi spiritual yang tiada terhadang ruang dan waktu, tapi bertutur tentang dunia yang bijak, hidup intensif. Kita juga membutuhkan tradisi intelektualitas, dimana penyair mencoba mentranformasikan gagasan-gagasan akurat, seraya setia pada habitat awal, dalam konsep berkesenian.

Penyair Sitor Situmorang, dalam buku autobiografi “Sitor Situmorang, Panyair Danau Toba” (pustaka sinar harapan Jakarta 1981) menyebut kelahiran dua kumpulan puisinya yang monumental diperalihan tahun 50an menuju 60an, yaitu; Wajah Tak Bernama, Surat Kertas Hijau, bagi gambaran segi; pertama, penyair musti memiliki retang dunia pertemuan kembali, antara masa lampaunya mistis dan polos, dengan masa kini yang keras, atos, jemawa, nyaris tanpa kompromi. Aspek kedua, upaya mempertemukan jejak-jejak, ispired, terkadang kredo penggubahan karya puitika yang produktif, dengan menuju hari esok sulit ditebak kesadaran induktif, dan kolaboratif toh kudu dipersembah kepada publik sastra, hadir tanpa jedah, musim ke musim.

Pada tahap kekinian (dimana poros semusim lalu ialah pertaruhan emosional artistik) maka biarkanlah karya-karya menemukan identitasnya, setelah menghadapi berbagai hantaman dan gugatan. Proses evolusioner memperlihatkan situasi sastra bertajuk swa-winaya (selfdispline), kemudian widya arorraga (kerendahan hati oleh sikap arif ilmiah), niscaya bakal dibasuh suatu kesimpulan; lalan dung-tyastara (dimana bobot karya sampai kepada pemahaman adi-luhung, bagi umat manapun). -seperti halnya seorang Khalil Gibran, pun Rabindranath Tagore, yang berbicara lantang kepada dunia. Di situlah letak camera obscure puitika, menunjukkan fitrah kemuliaan, nan benar-benar membumi.

Persepsi kesusastraan bagi angkatan muda, bakal menuju pada kekeluargaan sesama, antar etnis, antar-individu, bahkan antar-kelembagaan. Saya berharap, antologi-antologi sastra, jurnal-jurnal sastra, dan buletin-buletin sekitar puisi bertajuk “Selamatkan Dunia Ini, Selamatkan Jiwa-jiwa Luhur Nusantara,” niscaya akan melegitimir puncak karya masa kini dan kelak. Kita masih harus terus berjuang. Wadah sastra yang kini menjadi alternatif, barangkali merupakan langkah awal menuju kedewasaan yang terharapkan, karena disitulah kita memuliakan gairah riel berkesenian.

Nagan Lor, 21 Yogyakarta.

MEREKA YANG MEMBICARAKAN “SARANG RUH” 1999

Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini, secara tematis cenderung menyuarakan hakikat kesejatian insan. Manusia dalam sajak-sajak itu, berupaya memenuhi panggilan kesejatiannya; subyek yang sadar, dan bertindak mengatasi dunia-realitas mengkondisikannya.
Dunia realitas bukanlah sesuatu ada dengan sendirinya, dan harus diterima menurut apa-adanya. Maka, sajak pun dapat menjadi Sarang Ruh, sebuah papan melakukan refleksi terhadap situasi itu. Sajak pun bisa dianggap sebagai aktualisasi upaya concientization bagi diri sendiri, bahwa diri sebagai subyek harus mampu menunaikan imperatif sebagai kreator bagi sejarahnya.
Proses menjadi merupakan suatu yang tidak pernah selesai. Membangun Sarang Ruh bukan sekadar proses penyesuaian, melainkan proses integrasi dalam mencapai kemanusiaan sejati, Selamat (Suminto A. Sayuti).

Saya menyukai semangat dan keberanian Nurel, sesuatu yang kelak jadi persoalan serius bagi kebanyakan pengarang. Ia telah menulis ratusan puisi, menjilidnya sendiri; dan itu bagi saya, sebuah modal sangat berharga. Saya bukan seorang penyair, meskipun saya juga tidak buta puisi. Tapi saya kira, tawaran Nurel dalam buku ini, cukup menjanjikan harapan (Joni Ariadinata).

Dari Yogyakarta memasuki milenium baru, kita diajak sajak-sajak Nurel Javissyarqi pada pertanggungan diri, sebagai pusat kendali, dari perubahan di luar perubahan sosial, agar manusia tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya, ditengah euphoria –kebablasan. (Abdul Wachid BS).

*) Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” karya Nurel Javissyarqi, 1999 Yogyakarta.

Dari Ambivalensi Hingga Berladang di Punggung Sastrawan

Indrian Koto
Riaupos 3okt2010

Tulisan Romi Zarman yang berjudul Tiga Catatan di Riau Pos Edisi Minggu 19 September 2010 terkesan terburu-buru memandang ragam soal dalam sastra. Lantaran banyaknya hal yang ingin dia gugat, perlu kiranya ada respon untuk membuka sebuah dialog. Harapan saya akan ada diskusi dan bahasan yang lebih spesifik untuk setiap persoalan.

Internet, Koran dan Sikap Sastrawan

Romi terlalu sederhana melihat posisi dan fungsi internet sebagai media publikasi karya. Bagi Romi bentuk hanyalah apa yang bisa diraba, yang terlihat (pakai mata dan kepala pula) tidak dianggap sesuatu yang berbentuk. Dalam dunia internet, karya lebih banyak dipublikasikan di blog dan situs pribadi.
Adapun facebook (FB) yang muncul belakangan adalah dunia yang lebih hiruk-pikuk, di mana personal yang terlibat dan karya yang diposting, diperlukan satu bahasan tersendiri.

Ketika Romi bicara soal bagaimana dua media, koran dan internet bermain dalam penyeleksian karya, mengingatkan kita kembali pada gugatan Ahmadun Yosi Herfanda di awal kemunculan sastra internet. Romi Zarman menulis, “Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita.” Di bagian ini dia sudah memaparkan fungsi serta peran pembaca dalam sastra cyber. Lalu dia masuk pada kalimat, “Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran.” Tudingannya semakin tajam dan menyebut “Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata.” Selanjutnya ia kembali melihat peran sastra internet sebagai, “…media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfungsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis.” Secara tiba-tiba ia kembali menghujat, dan mematahkan hal yang diakuinya sendiri. “Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata?”

“Ah… ambivalensi.” Katanya. Romi dengan enteng lalu menyebut saya sebagai contoh dari ambivalensi yang dia maksud dan menyebut tiga media, yang katanya, “dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan.” Ada banyak penulis yang semula hanya menulis di situs-situs pribadi, blog dan milis lalu pindah ke koran. Sebagian ada yang berhasil, sebagian yang lain tidak. Mereka juga dengan tidak serta-merta mengabaikan ruang publikasi awalnya, dan sebagian yang lain juga dengan sadar kemudian tetap fokus di dunia maya. Ada banyak alasan yang tak bisa selesai dengan satu rumusan saja. Sastra di internet tidak lahir kemarin sore. Mereka yang menulis di dunia maya pun bisa mempublikasikannya di koran merupakan bukti bahwa baik koran maupun internet bisa melahirkan karya yang baik. Bukankah Romi juga percaya sastra di internet juga tidak semata-mata sebagai media alternatif tapi juga tempat belajar menulis.

Mestinya kita belajar bagaimana koran dan internet bisa diperlakukan dengan wajar. Caranya dengan tidak lagi memandang media publikasi mana yang paling baik. Koran dan internet adalah sama-sama ruang publikasi. Tidak selalu koran memuat karya terbaik (dengan tidak mengabaikan fungsi dan peran koran yang bersifat jurnalistik). Karya yang baik juga bisa lahir dari koran mana pun dan ruang publikasi apa pun. Karya buruk pun bisa muncul dari bentuk media apa pun. Belum lagi alasan-alasan yang akan sangat panjang ketika kita mempertanyakan kenapa mempublikasikan sastra di koran, atau di internet. Kita tidak membahas dalam sebuah diskusi yang sambil lalu.

Di satu sisi dia meragukan internet dengan perannya (termasuk mendistribusikan buku) tapi di sisi lain dia juga menganggap setiap orang perlu tahu dengan internet agar tidak pander teknologi. Di satu sisi dia bilang internet adalah ruang yang tidak elit dengan beragam kepentingan, tapi di sisi lain dia juga mengatakan internet adalah ruang yang tak bisa diakses oleh semua orang. Bagi saya tidak ada hubungan antara pengarang lokal- pengarang nasional dengan akses internet. Istilah daerah atau lokal merujuk pada tempat. Kitalah yang kemudian menjadikan istilah lokal-daerah menjadi sesuatu inferior. Bahwa yang nasional tidak hanya pusat. Istilah koran nasional misalnya, muncul dikarenakan faktor-faktor yang mendukung seperti jumlah pembaca, oplah, persebaran dan distribusinya. Jawa Pos yang terbit di Surabaya (merujuk wilayah) adalah juga koran nasional karena berdasarkan oplah dan jumlah pembaca serta.

Bagi Romi, orang gagap teknologi adalah orang yang tak bisa meninggalkan dunia koran. Romi seperti tidak terima jika ada orang yang menulis di dunia cyber mengirimkan karyanya juga ke koran. Apa iya bagi Romi orang-orang yang mempublikasikan karyanya di blog dan facebook semata-mata orang yang menolak koran sebagai ruang publikasi? Apakah perlu dipertanyakan pula mengapa mereka yang karyanya dipublikasikan di koran kemudian memposting karyanya di blog, situs atau FB?

Romi juga menulis, “Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superior dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional.” Romi mengatakan mereka (yang menasional itu) menutup pintu komunikasi, tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal dan berkumpul dengan sesama mereka. Dia menuding-nuding dengan “mereka, mereka” tanpa menyebut yang mana dan siapa.

Ketika mempertanyakan dominasi koran (dan peran redaktur) dianggap sebuah sikap yang ambivalen, bagaimana kita bisa bicara soal superior-inferior, lokal-nasional, pusat-daerah, pengarang kecil-pengarang besar?

Penerbit, Distribusi dan “Membumikan Sastra”

Di pembuka bagian tiga, Romi mulai dengan mengatakan gagasan sastra internet sebagai ruang alternatif (yang tadi juga diakuinya) jauh panggang dari api. Sejak kapan pula internet diklaim sebagai milik kaum elit? Dia menukik pada soal buku dan pembaca. Mulai dari pembumian sastra, soal distribusi yang cenderung tertutup, e-book, buku online, hingga sikap yang seharusnya diperhatikan penerbit buku. Rakus sekali dia yang mau merumuskan sesuatu dalam sekali tulis.

Untuk distribusi tawaran Romi adalah sistem jemput bola. Seandainya Romi bisa menjelaskan bagaimana teknik ini berjalan, agar buku bisa sampai ke kaki lima, saya yakin para penerbit dan distributor akan berhutang besar pada ide brilian ini. Upaya menggunakan jaringan komunitas, menjual buku online adalah salah satu media distribusi buku diabaikan Romi. Sekali lagi dia menganggap upaya semacam ini adalah bentuk “menentang”. Gampang sekali ia mengklaim bahwa ini penolakan, itu penolakan dan kesemua adalah ambivalensi. Aih!

Dengan sangat bijaksana Romi lalu berujar: “Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka.” Romi sedang bicara strategi pemasaran atau sikap (sebagian) sastrawan terhadap karya mereka? Romi tidak memberikan gambarannya. Romi mungkin lupa, penerbit kecil yang katanya melakukan kapitalisasi itu paling banyak hanya menerbitkan 2000 eksemplar buku, sementara standar yang diminta distribusi besar 5000 eksemplar buku. Belum lagi harga buku sangat ditentukan oleh harga kertas, biaya produksi dan biaya distribusi. Bicara sastra sampai ke tengah masyarakat, novel-novel Fredy S., Lupus, Wiro Sableng, komik petruk-Gareng sampai karya-karya Asmaraman Koo Ping Hoo justru tidak ada tandingan. Semua penerbit ingin bukunya tersalurkan sejauh-jauhnya, namun langkahnya tentu tidak sederhana.

Romi juga menuding perlakuan sastrawan yang tidak menyertakan para pengarang yang dimaksud ke acara-acara pertemuan sastra. Menurut Romi sebagai sastrawan mereka harusnya juga mendapat tempat di acara-acara pertemuan sastra. Di Indonesia ada banyak acara-acara sastra. Mungkin seseorang tidak diundang di event tertentu tetapi di event yang lain. Bahkan Andrea Hirata mewakili Indonesia Festival Iowa. Melihat pembaca menangis, merasa tersadarkan, buku laris, difilmkan tentu bukan kontribusi yang diharapkan demikian. Siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh situasi semacam ini? Alih-alih sastra sampai ke pembaca dengan baik, mereka justru menjadi selebritas, diundang dengan bayaran sekian puluh juta, memberi motivasi dan justru lebih banyak bukan untuk acara-acara sastra. Justru dari sini muncul menara gading, pemberlakuan istimewa terhadap sebagian sastrawan. Apa sastra selesai dengan karya yang renyah, laku di pasaran dengan mengabaikan betapa sistem ekonomi berperan besar di sana? Membumikan sastra tak mesti dilihat dari buku yang laris, pengarang diundang dengan honor besar, penampilan diseting manajemen, diproduksi barang-barang semacam kaos, note book, pulpen, pin.

Selanjutnya Romi menulis, “Hampir tak bisa dipungkiri, sistim seperti itulah (kapitalisme) yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa… sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusikan buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.” Dia menganggap (mungkin sebagian atau keseluruhan?) penerbit kecil yang maling teriak maling. Romi mungkin pura-pura tak tahu betapa penerbit kecil ini dikepung mafia buku. Untuk menerbitkan satu buku penerbit kecil harus pontang-panting mendapatkan kertas dan berhitung betul dengan biaya produksi. Belum lagi buku yang ditolak dengan berbagai alasan: jenis buku, judul, pilihan cover, menjual-tidak menjual, hitungan laku tidak laku sampai harga distribusi yang mencekik leher.

Siapa yang berladang di punggung sastrawan? Klaim ini harus bisa dipertanggungjawabkan. Romi berharap penerbit kecil akan bisa bersikap seperti penerbit besar, namun mengabaikan usaha yang dilakukan mereka dengan tudingan-tudingan kasar dan tak berdasar. Tentu kita boleh tidak sepakat dengan kerjasama penerbitan antara pengarang dan penerbit. Hal itu, sebagian dilakukan sebagai upaya agar karya bisa terbit. Di Kita perlu melihat ini dari dua wilayah sekaligus: pengarang dan penerbit untuk lebih objektif.

*) Mahasiswa yang belum menyelesaikan S1

Tiga Catatan

Romi Zarman
Riau Pos,19Sep2010

Tiga catatan yang akan saya kemukan terdiri satu entitas yang bernama sastra. Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional. Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain. Mudah-mudahan tiga catatn ini bermanfaat.

Pertama

Sastra maya adalah sastra yang dipublikasikan di dunia maya. Ia tak memiliki bentuk seperti halnya sastra koran, tetapi kehadirannya bisa dilihat dan disaksikan dengan mata kepala. Bila sastra koran mediumnya adalah koran, maka tidak demikian dengan sastra maya. Orang mesti online dan masuk ke dalam dunianya. Ada mekanisme yang harus dilewati. Tidak seperti sastra koran. Untuk membaca karya sastra koran, pembaca cukup membeli atau meminjam koran. Berbeda dengan mekanisme sastra maya. Pembaca mesti mendaftar terlebih dahulu. Di milis, misalnya. Bagi yang ingin mengikuti perkembangan sastra di sana tapi belum terdaftar sebagai anggota, maka pembaca tak akan bisa masuk dan tak akan bertemu dengan karya.

Begitupun dengan Facebook dan Twitter. Pembaca mesti memiliki aku terlebih dahulu. Meskipun pembaca telah memiliki akun Facebook, bukan berarti sudah bisa menjumpai karya. Ada mekanisme yang harus dilalui berikutnya, yakni menjalin pertemanan dan menunggu konfirmasi atau izin dari orang yang bersangkutan. Ada kalanya izin tak diberikan dan pertemanan pun otomatis tidak akan terjalin. Bagaimana kita akan membaca karya si A, misalnya, bila ia tidak mengizinkan kita berteman dengannya? Sebaliknya, kalau kita sudah berkawan dengan seorang, misalnya, ia bisa saja me-remove kita dari daftar pertemanan. Kasus ini pernah terjadi pada CH Yurma. Waktu itu karyanya dikomentari oleh seseorang, lantas ditanggapi balik oleh Yurma. Akan tetapi, seseorang itu langsung me-remove Yurma dari daftar pertemanan.

Jejaring sosial, sastra maya juga mengacu pada karya yang dipublikasikan di Blogspot dan Wordpress. Mekanismenya lebih mudah ketimbang Facebook dan Twitter. Pembaca cukup mengetik alamat blog atau Wordpress dan bisa langsung menjumpai karya, tanpa harus mendaftar terlebih dahulu atau menunggu konfirmasi pertemanan. Pembaca juga bisa ikut berkomentar. Cukup mencantumkan nama, alamat blog, atau alamat e-mail.

Sastra maya bukan hanya menyediakan ruang antara karya dan pembaca, tapi juga dengan pengarang. Bila sastra koran hanya menyediakan ruang komunikasi antara pembaca dan karya, maka tidak demikian kiranya dengan sastra maya. Bagaimana kesan pembaca, tanggapan, saran dan kritik, bisa langsung dilontarkan pada pengarang. Cukup dengan mengetik komentar, lalu membagikannya, maka pengarang bisa membaca. Tak hanya sampai di situ, pembaca lain juga bisa ikut menanggapi.

Maraknya sastra maya akhir-akhir ini tak lepas dari metode publikasi yang dimilikinya. Karya begitu mudah menjumpai pembaca. Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita. Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran. Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata. Dunia maya dalam hal ini menjadi media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfingsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis. Bambi Cahyani, misalnya, belajar dan mempublikasikan karya pertama kali melalui media ini. Begitupun dengan Hasan Aspahani, TS Pinang, Deddy Tri Adi, Bernard Batubara, dan sederetan nama lainnya.

Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah… ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Indrian Koto, misalnya, pengrang asal Pesisir Selatan ini jelas-jelas menolak sastra koran tapi di sisi lain juga mempublikasikan karya di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka (tiga koran yang dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan). Belum lagi sejumlah pengarang lainnya. Yang menolak koran, justru mengirim dan mempublikasikan karya ke sana…

Dua

Dalam era dunia maya hari ini, apakah masih berlaku sebutan pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. bagi saya, dikotomi itu telah lenyap. Lenyapnya batas-batas teritorial melalui dunia maya, mudahnya akses ke surat kabar-surat kabar yang dipandang lokal, bermunculannya media-media jejaring sosial (Facebook dan Twitter), serta semakin banyaknya media publikasi karya seperti Blogspot dan Wordpress yang bisa diakses kapanpun dan dimana saja, apakah masih relevan bila tetap mempertahankan dikotomi pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. Akan tetapi, jika memang demikian, mengapa dikotomi itu hari ini masih berdiri kokoh seakan hendak menciptakan jurang?

Jawabnya, tak lain dan tak bukan, karena sebagian pengarang kita masih dikendalikan oleh habitus koran. Sementara, perkembangan sastra sudah bergeser dari realitas cetak ke dunia maya. Pergeseran ini jamak dipandang bukan bagian dari sejarah kesastraan kita. Ironis memang. Persoalan ini bukan semata-mata kemajuan teknologi, melainkan juga bagaimana pengarang dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan.

Hanysebagian pengarang kita yang mengikuti perkembangan tersebut. Mereka itu bisa disebut sebagai pengarang (maaf) “pantek”, alias pandir teknologi. Kepantekan mereka disebabkan kegagapan dalam memasuki dunia internet. Bagi mereka, media massa cetak hanya habitus yang tak bisa ditinggalkan. Terutama media cetak terbitan Jakarta yang mereka sebut sebagai media cetak nasional. Seseorang belum diakui kepengarangannya bila karyanya belum menembus media yang mereka anggap nasional. Legitimasi seorang sastrawan diukur dari kesanggupannya dalam menembus media nasional. Doxa itulah yang mereka yakini. Keyakinan itu begitu mendalam, mendarah-daging, dan diwariskan secara turun-temurun.

Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superiol dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional. Hierarki seperti ini sering muncul dalam bentuk tindakan mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka.

Bila ada yang mengkritisi praktik-praktik diskriminatif tersebut, maka mereka (sang kuasa, yang dipandang sebagai pengarang nasional) akan bersembunyi di balik alasan motivasi. Ambivalensi pun terjadi pada pengarang lokal. Di satu sisi, mereka menolak praktik-praktik diskriminatif tapi di sisi lain mereka ingin setara dengan pengarang nasional. Intensi itu terlihat ketika mereka mati-matian menembus media massa yang disebut nasional. Bahkan, ambivalensi itu juga terlihat ketika mereka justru menggunakan kaca mata sang kuasa (sekali lagi, dalam hal ini pengarang yang dipandang sudah menasional). Praktik-praktik deskriminatif, semisal tak boleh duduk semeja bila sastrawan lokal belum bisa menembus nasional, dipandang sebagai cambuk untuk melecut semangat.

Ironis memang, barangkali ambivalensi ini tak jauh berbeda dengan sifat Hanafi dalam pandangan Abdul Moeis. Dalam novel itu, digambarkan betapa Hanafi setara dengan sang kuasa kolonial. Betapa untuk mewujudkan keinginannya itu ia rela berlalu kebarat-baratan. Tapi di satu sisi ia justru menolaknya dalam bentuk sikap yang lain. Adakah mereka, pengarang-pengarang yang ambivalen itu, adalah “Hanafi-Hanafi” kesastraan? ah…

Praktik-praktik deskriminatif itu sebenarnya berjalan dalam dua ranah. Ranah pertama, terlihat jelas adanya upaya mempertahankan superioritas sebagai sang kuasa, yang telah menasional. Merasa diri hebat ketimbang yang lokal. Ranah kedua, sistim hierarki, atau dikotomi lokal-nasional yang diterapkan semakin memperkuat kekuasaan yang dimiliki guna pencapaian-pencapaian ke depan.

Kelompok inferior, dalam hal ini mereka yang dipandang lokal, merasa bangga bila karya sudah bisa menembus nasional. Merasa sudah setara dengan meraka yang nasional. Padahal, di balik semua itu, yang terjadi adalah praktik-praktik diskriminatif. Dalam konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan tapi lebih merupa wujud kekerasan simbolik yang melanda kesusastraan kita. Makna kekerasan simbolik terletak pada penerapan makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan. Kekerasan tersebut bahkan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan, sehingga tak mengherankan kenapa ia bisa berjalan efektif dalam praktik dominasi kesastraan. Akarnya terletak pada konsep “kesalahkaprahan” (missrecognition) dalam mengidientifikasi kelompok superior yang melekat melalui praktik-praktik yang dipandang sebagai tindakan motifasi.

Tiga

Teknologi memang berkembang pesat akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti kita menerima begitu saja apa yang ditawarkan. Sastra internet, yang menjadikan internet sebagai mediumnya, memang berpeluang menjadi media alternatif dalam rangka membumikan sastra. Akan tetapi, jika diperiksa kembali mediumnya, tentu gagasan itu jauh panggang dari api. Internet hari ini memang bukan lagi milik kaum elit. Mulai dari guru besar sampai anak SD sudah mengenalnya. Ratarata dari mereka terutama SD, SMP, SMA, dan sebagian mahasiswa, hanya menggunakan internet sebagai media gaul. Bukan untuk memenuhi kebutuhan akan “rohani” dan ilmu pengetahuan. Indikatornya bisa kita lihat betapa banyaknya terjadi kasus penyalah gunaan internet yang digunakan siswa sekola menengah dan mahasiswa akhir-akhir ini. Dunia internet bagi mereka baru sebatas hiburan belaka. Belum sampai ke tahap yang lebih serius. Sementara, sastra, dalam hal ini, dipandang sebagai sesuatu yang serius dan hanya milik kaum elit.

Bagaimana akan membumikan sastra bila ternyata buku-bukunya jauh dari pembaca? Sistim distibusi, misalnya, cndrung tertutup. Mereka tak mau bekerja sama dengan toko-toko besar semacam Gramedia, misalnya. Mereka lebih memilih jaringan komunitas, itupun komunitas yang ada di beberapa daerah. Tak merata di seluruh indonesia. Belum lagi belekangan muncul e-book atau buku elektronik yang pemesanannya dilakukan via telepon atau email. Sistem seperti ini saya rasa kurang tepat. Tak zamannya lagi menunggu bola. Sebaliknya, sistem yang cocok menurut saya adalahn sistem jemput bola. Sastra mesti didistribusikan dengan mudah ke tangan pembaca. Barangkali seperti halnya lagu pop Indonesia didistribusikan di pasar kaki lima.

Belum lagi misalnya tipe pembaca yang lain, untuk ibu-ibu atau bapak-bapak pedagang kaki lima, misalnya,. Bagaimana akan membumikan sastra bila media internet saja merupakan sesuatu yang eksklusif bagi mereka. Jangankan internet, dalam taraf koran saja mereka lebih tertarik pada berita politik, ekonomi, dan infotainmen, ketimbang sastra. Internet sebagai mendia bagi mereka adalah sesuatu yang jauh, di atas awang-awang, sesuatu yang elitis. Maka, dalam konteks ini saya pikir gagasan mengenai sastra internet untuk membumikan sastra mesti diperiksa kembali. Pembaca mana yang akan menerima pembumian sastra? Apakah siswa kelas menengah, mahasiswa, guru besar, ataukah guru-guru sekolah? Bukankah beragam pembaca yang saya sebutkan itu lebih gandrung kepada hiburan (infotainmen) semata?

Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka. Sikap sebagian kaum sastrawan ini. Sikap sebagian kaum sastrawan ini bisa kita lihat salah satu dengan tidak diundangnya sebagin mereka ke acara-acara pertemuan sastrawan. Saya tak tahu apa lasan pastinya. Yang saya lihat justru terjadi ambivalensi. Di satu sisi, kita ingin membumikan sastra, tapi ketika ada yang hendak membumikan sastra seperti Andrea Hirata dan Es Ito, dan sederetan nama lainnya, kita justru menolak upaya yang dikaukan mereka. Belum lagi sikap sejumlah pengarang yang anti terhadap penerbit besar. Mereka berpandangan bahwa penerbit besar sarat dengan sistem kapitalisme. Padahal hampir tak bisa dipungkiri, sisitim seperti itulah yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa. Mereka juga berpandangan demikian, sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusika buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.

Sbagian dari penerbit kecil yang anti kapitalis itu justru melakukan kapitalisasi. “Maling teriak maling”. Mereka menyoraki penerbit-penerbit besar. Tapi di sisi lain, penerbit-penerbit kecil itu, justru berladang di punggung sastrawan.

Saya pikir diperlukan saman keterbukaan diri. Tidak zamannya lagi kita menutup diri. Bukan berarti saya hendak menyarankan kaum sastrawan menggoyahkan idealisme.akan tetapi, sikap terbuka. Mau membuka mata terhadap strategi-strategi yang telah berhasil membumikan sastra di sisi-sisi, seperti yang dilakukan Andrea Hirata dan Es Ito. Jika keterbukaan diri tidak kita lakukan dan justru sibuk dengan menutup mata, tetntu gagasan untuk membumikan sastra hanya sebata gagasan. Tak terealisasikan. Hanya akan jadi wacana. Terus dan terus. Sementara, sastra akan tetap menjadi milik kaum elit, segelintir orang. Memang butuh sikap terbuka dan kerja ekstra.***

*) Saat ini sedang studi di S-2 Fakultas Ilmu Budaya UGM

Cahaya Mahfuz di Panggung Sastra Dunia

Peresensi: Ali Audah*)
The Day the Leader was Killed
Penulis: Najib Mahfuz
Penerjemah: Malak Mashem
Penerbit: Anchor Books, New York, 2000
http://majalah.tempointeraktif.com/

“My pride wounded and my heart broken, I wander aimlessly about like a stray dog. The heat does away with the pleasures of walking. Café Riche is a refuge from the pain of loneliness. …This is a temple where offerings are made to the late hero, who has become a symbol of lost hope, hope for the poor and the alienated…” (Dari “Elwan Fawwaz Muhtashimi” dalam The Day the Leader was Killed)

Di sebuah subuh, ketika Muhtashimi bangun tidur, yang pertama dilakukan adalah berdoa. Setelah itu ia berwudu dan melaksanakan salat subuh. Ia bersyukur, dalam usia setua itu masih bermanfaat. “Aku sudah tua, tapi sehat. Alhamdulillah.” Tiga zaman pernah dirangkumnya berturut-turut. Selintas lalu, ia melompati beberapa kekuasaan politik: Masa Raja Fuad I sampai zaman revolusi.

Ketika Hanaa, menantunya, memberitahukan sarapan sudah disiapkan, tak lupa ia bersyukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang diberikan kepadanya. Mereka hanya makan kacang dan falafel, makanan murahan serupa. Tetapi, bagi Muhtashimi, dua macam makanan ini lebih penting daripada Terusan Suez. Ia mengenang masa lalu_sebagai ciri orang lanjut usia_zaman telur, keju, pastrami, dan selai sudah berlalu. Itu terjadi sebelum masa Infitah_masa desentralisasi dan diversifikasi ekonomi_zaman kebijakan pintu terbuka ekonomi Anwar Sadat.

Inilah novel Mahfuz yang terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh penerbit Anchor Original baru saja beredar di Jakarta dengan judul The Day the Leader was Killed (diterjemahkan dari bahasa Arab dengan judul Yaum qutila al-za-”im).

Sesungguhnya, teknik penulisan novel yang tebalnya sekitar 100 halaman ini tidak baru dan sudah sering dilakukan oleh sastrawan terkemuka sebelumnya, seperti J.D. Salinger. Teknik Mahfuz kali ini adalah dengan menggunakan nama tokoh-tokoh pelaku sebagai judul tiap bab. Bab satu, misalnya, berjudul Muhtashimi Zayed, bab dua berjudul Elwaan Fawwaz Muhtashimi, sedangkan bab tiga adalah Randa Sulayman Mubarak. Pada bab-bab berikutnya, nama ini berulang bergantian, sesuai dengan jalan cerita. Muhtashimi Zayed adalah sang kakek, sedangkan Elwan Muhtashimi cucu lelaki Muhtashimi. Randa adalah gadis tetangga teman sekolah Elwan yang jelita dan berpendirian teguh. Pada tiap bab mereka dibiarkan berkisah sebagai “aku” yang mengutarakan pengalamannya, cita-cita, pandangannya tentang peristiwa dan kehidupannya. Di dunia sastra Indonesia, kita juga mengenal teknik penulisan semacam ini, yang dilakukan oleh Umar Kayam dalam novel Para Priyayi.

Dari bab-bab itu, kita kemudian mempelajari bagaimana keluarga itu rajin meriung sambil berdiskusi. Suatu saat mereka berbincang dan kita paham betapa penghasilan mereka—anak dan menantu—uang pensiunnya, ditambah gaji Elwan, yang digabung semua, masih jauh dari mencukupi. Mereka tinggal di sebuah flat tua, kecil, dan sangat sederhana, menghadap ke Sungai Nil, di tengah gedung-gedung yang menjulang tinggi yang dihuni oleh para keluarga kaya.

Mereka bertetangga dengan Sulayman Mubarak, yang juga sudah tua dan sakit-sakitan, bersama istri dan anaknya, Randa, yang menempati flat setingkat di atasnya. Cucu Muhtashimi berteman dengan Randa sampai mereka lulus sekolah menengah dan bekerja di kantor Anwar Allam. Keduanya sudah dipadu dalam cinta kasih. Setelah mendapat persetujuan kedua keluarga, pertunangan mereka diumumkan. Tetapi setelah berlangsung 11 tahun, mereka belum juga dapat segera melaksanakan pernikahan. Akibat kebijakan Infitah, keluarga Muhtashimi dan keluarga Sulayman mengalami kesulitan ekonomi. Anwar Allam, atasan yang sudah berumur 50 tahun tapi masih bujangan, tinggal dengan adiknya, Gulstan, seorang janda kaya. Dengan cerdik, Anwar menjodohkan Elwan dengan Gulstan karena dia sendiri berminat kepada Randa. Anwar adalah lelaki yang hanya memiliki satu ukuran dalam hidup: uang. Randa, yang melihat sikap Elwan berangsur dingin kepadanya akibat tipu muslihat Anwar, mengira cinta Elwan sudah berpindah kepada Gulstan. Randa terjebak ke perangkap Anwar, yang kemudian melamar resmi kepada orang tuanya. Hidup Randa berakhir tragis. Tipu muslihat Anwar berhasil menghancurkan kehidupan Elwan dan Randa. Akhirnya, Anwar tewas di tangan Elwan.

Melalui renungan pendek Muhtashimi, pembaca lalu mendapatkan sebuah akhir cerita. “…Setelah menjalani hukuman, Elwan akan lebih matang menghadapi tantangan hidup…. Kurasa, ia tidak akan bertemu aku lagi. Tetapi ia akan melihat kamarku yang sudah kosong dan akan menempatinya, akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya…. Mungkinkah aku masih dapat hidup lebih lama?…”

Membaca novel ini, pelbagai kesan dan pertanyaan bisa timbul. Perjalanan awal novel ini cukup menarik: Muhtashimi, yang berusia lanjut, sehat, dan bijaksana, mengungkapkan kenangan masa-masa lalu sembari mengungkapkan kekaguman pada pemimpin Mesir karismatik, Saad Zaghlul. Sementara itu, Mahfuz mendeskripsikan bagaimana keluarga itu menyelenggarakan diskusi serta kebebasan berbicara dan berpendapat antara orang tua, anak, dan cucu, sekalipun mengenai kehidupan pribadi dan dalam menentukan masa depan mereka. Berpindah ke keluarga Sulayman, dalam suasana yang sedikit berbeda tapi juga cukup simpatik, akan memperlihatkan suatu hasil kerja yang berbobot, seperti kebanyakan karya Najib Mahfuz. Dari suasana awal dalam kedua keluarga itu, terutama kenangan Muhtashimi, tertanamlah sebuah keyakinan bahwa selanjutnya kita akan melihat sebuah roman sejarah revolusi dan peristiwa politik di Mesir yang lebih menarik. Hal ini bahkan terasa selintas ketika ketegangan semakin memuncak pada saat upacara kenegaraan. Sosok penonton TV dan mendengarkan berita-berita radio digambarkan sibuk menyimak pengumuman tentang terbunuhnya seorang pemimpin (namanya tak disebutkan, tapi indikasinya tentu kepada Presiden Anwar Sadat).

Hampir bersamaan dengan itu, kelanjutan langkah demi langkah segera berubah. Peristiwa tergambar seolah tak pernah terjadi sesuatu, padahal dalam kenyataan sebenarnya ada kejadian besar luar biasa dalam sejarah bangsa itu. Suasana itu tak sejalan dengan dugaan karena hampir semua tokoh dan suasana dipaksa hanyut ke dalam soal intrik-intrik cinta yang sangat sederhana dan terkesan klise.

Sampai akhir cerita, ternyata sang pengarang tak sepatah kata pun menyebut soal politik dan revolusi. Sebagai sastrawan pertama dan satu-satunya—saat itu—dalam dunia Arab yang telah menerima hadiah Nobel Sastra pada 1988, tentu kita mengharap Najib Mahfuz akan menghasilkan karya yang lebih berbobot, paling tidak seimbang dengan karya sebelumnya. Novel ini terbit pertama kali dalam bahasa Arab pada 1985, tiga tahun sebelum ia menerima hadiah Nobel, dan tiga tahun setelah Presiden Mesir Anwar Sadat terbunuh. Tentunya ia menulis novel ini paling kurang umurnya sudah di atas 70 tahun jika kita hubungkan dengan kematian Sadat pada 1981.

Sekadar perbandingan, Andre Gide menulis novel Theseus ketika usianya sudah di atas 70 tahun. Orang menilai karya ini lebih memperlihatkan kematangan dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya, kendati panjangnya tak sampai 100 halaman. Begitu juga Leo Tolstoi dalam Resurrection, novel tebal terakhir yang ditulisnya dalam usia 71 tahun. Sedangkan kematangan serupa tidak terpancar dalam novel The Day the Leader was Killed karya Mahfuz.

Karya Najib cukup banyak—hampir 40 buah—salah satunya yang terkemuka adalah Zuqaq al-Midaq (1947). Persoalan yang diolah hampir ada kesamaannya dalam hal pertentangan kemanusiaan yang dihadapkan kepada masalah kehidupan materi dan masalah kerohanian di kalangan masyarakat golongan menengah dan bawah. Tetapi cerita ini diakhiri dengan optimisme masa depan dan keimanan yang kuat yang tecermin melalui sosok Sayid Ridwan Husaini, sang tokoh agama yang ingin mengangkat masyarakat bangsanya di lorong Midaq yang melambangkan tanah airnya, Mesir.

Menurut saya, novel ini jauh lebih bermakna dan memiliki misi yang jelas. Novel Al-Qahirah al-Jadidah, yang menggambarkan kehidupan partai dan suburnya kolusi dalam pemerintahan, melalui antara lain pandangan berbagai mahasiswa. Makmun Ridwan yang saleh, taat, dan simpatik, berhaluan Islam nasionalis sosialis; Ali Taha teman sekampus, dan lawannya—kendati mengakui kejujuran Makmun—hanyut dalam filsafat materialisme Hegel. Semua karyanya ini memperlihatkan kepedulian Najib terhadap drama bangsa dan tanah airnya.

BEBERAPA dekade belakangan, perkembangan sastra modern Arab cenderung memilih tema persoalan gender dan bahasa. Tentu saja ini tak terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat, yang dimulai pada masa Muhammad Ali (1769-1849), dengan usaha penerjemahan karya sastra Barat secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab.

Sementara itu, pada tahun 1970-an, nama yang lebih sering disebut sebagai calon untuk hadiah Nobel Sastra adalah Taha Husain, Taufiq al-Hakim, dan Muhammad Husain Kamil; inilah nama besar di dunia sastra Arab modern yang dianggap guru oleh Najib Mahfuz. Ternyata, pada 1988, justu nama Najib Mahfuz yang disebut oleh Akademi Swedia sebagai penerima hadiah Nobel Sastra.

Jauh sebelum itu, tentu saja ia sudah memiliki reputasi dunia dan dipandang sebagai sastrawan produktif yang sangat dihargai. Beberapa novel dan kumpulan cerpennya telah mengalami puluhan kali cetak ulang dan mendapat hadiah sastra dari lembaga pemerintah dan swasta. Perkembangan bahasa, yang dalam sastra Arab banyak menentukan, dengan sendirinya juga mengalami perubahan, yaitu dari gaya tradisional dengan kecenderungan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbunga-bunga; pengaruh pleonasme dengan penggunakan kosakata klasik, serta tradisi menyelipkan syair-syair dan peribahasa, yang mulai berubah gaya sejalan dengan zaman, serba singkat, serba cepat. Perkembangan bahasa dalam sastra Arab modern yang lebih mencolok ialah digunakannya bahasa percakapan dalam dialog, sekalipun dalam deskripsi tetap menggunakan bahasa baku.

Kecenderungan ini memiliki pembela, juga banyak penentangnya. Najib Mahfuz adalah salah seorang yang kukuh mempertahankan penggunaan bahasa baku. Jika kita membaca novel-novelnya—dalam bahasa Arab tentunya—akan terlihat betapa Mahfuz adalah seorang penulis yang sangat cermat dalam menggunakan bahasa. Di dunia Arab ia dikenal sebagai pengarang yang sangat mencintai bahasanya, menulis dengan gayanya yang indah dan lancar, dengan gramatika yang terpelihara baik. Dalam novel dan cerpennya ia menghindari penggunaan bahasa percakapan (vernacularism), sekalipun dalam dialog antarwarga desa.

Selain keindahan bahasa, kekuatan Najib Mahfuz yang cukup menonjol adalah tinjauan analitisnya yang dalam dan menarik dalam melukiskan watak, sifat, sosok, dan gerak-gerik para pelakunya. Ini sudah terlihat dari novel-novelnya yang ditulis sejak usianya masih belia. Ia mampu memadu teknik penulisan Barat dengan tradisi Arabnya yang kental.

Menurut Faruk Mawasi (1992)—penyair dan kritikus sastra Arab modern —hampir tak ada studi sastra yang begitu besar tentang seorang sastrawan Arab yang dapat menandingi studi Najib Mahfuz. Novel dan cerpennya banyak menjadi sasaran studi. Tak kurang dari 30 buku tentang Najib Mahfuz yang sudah terbit, termasuk beberapa tesis akademik, di samping ribuan tulisan yang tersebar di majalah sastra dan dalam berbagai bahasa.

Lahir di Kairo pada 1911, Mahfuz memperoleh gelar kesarjanaannya dalam filsafat dari Universitas Kairo. Ia banyak membaca karya sastra juga dari bahasa Inggris dan Prancis-Chekov, Dostojevski, Proust, atau Galsworthy, Thomas Mann, atau Kafka. Najib Mahfuz memulai sastranya dengan penulisan cerita-cerita pendek sejak tahun 1930-an, dan sudah menerbitkan kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Hams al-Junun pada 1938. Dalam pengakuannya mula-mula ia menulis cerpen karena terpengaruh oleh dua penulis cerpen terkemuka, Mahmud Taimur dan Ibrahim Mazini, serta terjemahan-terjemahan oleh Muhammad Sibai. Banyak karyanya yang mula-mula berlatar belakang sejarah Mesir lama, setelah ia membaca Anatole France. Pengaruh ini kemudian juga memantul dalam tiga novel sejarahnya. Tetapi, dalam karya-karyanya yang kemudian, ia lebih akrab dengan kekinian. Ia sering membidik kehidupan orang bawahan atau menengah dengan pelaku orang-orang sederhana. Triloginya yang terkenal Bainal Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan As-Sukkariyah, yang berkisah tentang keluarga Mesir kelas menengah di sela-sela perubahan sejarah sosial yang mencatat berbagai masalah sejarah Mesir modern dalam tiga generasi. Dari 40 novel dan kumpulan cerpennya yang sudah terbit dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, pembaca Indonesia sudah mengenal novel Zuqaq al-Midaq (Lorong Midaq) dan beberapa cerpennya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dan melalui berbagai bahasa, terlihat untaian Mahfuz adalah serangkaian cahaya yang dikirim melalui panggung sastra dunia.

*) Sastrawan dan penerjemah novel “Lorong Midaq” karya Najib Mahfuz

SEOLAH-OLAH KRITIK SASTRA

Maman S. Mahayana
Pikiran Rakyat 3 Okt 2010

Esai “Kritik dan ’Hama Sastra’” yang dimuat “PR” (19/9), tak mubazir kiranya jika ditanggapi. Ia seolah-olah esai “kritik sastra” yang enak dibaca, mengalir lancar memainkan bahasa. Akan tetapi, di sana sini ramai sesat nalar dan salah data. Tulisan ini coba mengembalikan duduk perkaranya ke jalan yang benar.

Esai itu berangkat dari buku Damhuri Muhammad, Darah Daging Sastra Indonesia (2010) yang memuat berbagai aspek sastra Indonesia; sejarah sastra, praktik kritik sastra, dan beberapa pandangan Damhuri tentang kehidupan kesusastraan Indonesia. Meski pembaca berkuasa menanggapi memaknai teks apa pun sebagaimana disarankan resepsi sastra, esai itu nyata benar telah mereduksi wacana keseluruhan isi buku.

Dengan mencomot satu konsepsi analogis, “hama sastra” untuk menyebut kritik sastra yang tidak sehat, esai Damhuri yang lain ditenggelamkan entah ke mana. Wacana yang lebih substansial, seperti problem sejarah sastra yang tersesat, perbincangan karya sebagai model kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism), dan berbagai kemungkinan pengembangan sastra Indonesia di masa depan, tak terbaca sama sekali.

Dalam sejarah sastra mana pun, perbalahan kritik sastra adalah rangkaian polemik pemikiran untuk menghindari stagnasi kehidupan sastra. Jika terjadi konflik sebagai ekor polemik, kemungkinan ada kepentingan ideologis yang melatarbelakanginya, seperti terjadi dalam perdebatan humanisme universal dan realisme sosialis. Bukankah Polemik Kebudayaan, perdebatan Kritik Aliran Rawamangun vs Metode Kritik Ganzheit, penolakan konsep Angkatan ’66, dan semangat estetik Angkatan 70-an, sampai ke sastra kontekstual, tidak ada konflik yang tertinggal. Camkanlah, kritik sastra adalah disiplin ilmu. Di sana bertaburan berbagai konsep dan istilah yang lahir melalui pergulatan panjang pemikiran. Pemahaman atas istilah atau konsep adalah cara belajar yang bijak. Bukankah para siswa pun memahami perbedaan polemik dengan konflik?

Perhatikan kutipan berikut dari esai itu, “Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dan H.B. Jassin bertikai gara-gara Chairil tak suka kritik Jassin terhadap beberapa puisinya.” Dari mana sumber informasi ini? Kecuali soal buku yang dipinjam Chairil yang nyaris tak pernah dikembalikan, pertikaian Chairil dan Jassin tidak menyangkut esai kritik Jassin. Pada zaman Jepang (1942-1945), dari 42 puisi yang dihasilkan Chairil Anwar, hanya satu yang dipublikasikan, yaitu puisi “Siap Sedia” (Keboedajaan Timoer, No. 3, Agustus 1945). Setelah merdeka, sejumlah puisi Chairil Anwar dimuat majalah Pantja Raja (1946-1947) dan Gema Suasana (1947-1948) yang salah satu redakturnya, Chairil Anwar. Ia menawarkan puisi-puisinya kepada Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang menjadi redaktur Balai Pustaka dan direktur penerbit Dian Rakyat. STA menolak, sebab dianggap tak sesuai pandangan estetikanya. Jassinlah penyelamat puisi-puisi Chairil Anwar. Terbitlah antologi Deru Tjampur Debu (Pembangunan, 1949) dan Kerikil Tadjam dan Jang Terempas dan Jang Putus (Pustaka Rakjat, 1949). Sementara Tiga Menguak Takdir (dipersiapkan sejak 1946, terbit 1950) adalah jawaban Chairil Anwar pada STA. Dari sana Jassin menulis sejumlah ulasan tentang puisi Chairil Anwar. Mungkinkah Chairil membaca esai-esai Jassin yang dipublikasikan setelah Chairil Anwar meninggal (28 April 1949).
**
Perlu dipahami, perspektif dalam kritik sastra bukanlah pendekatan. Ia bukan alat analisis. Ia masuk kategori model penilaian. Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, relatif, dan perspektif. Penilaian absolut dipengaruhi positivisme ketika perkembangan ilmu pengetahuan alam menggiring penilaian pada perkara benar atau salah. Penilaian relatif didasarkan pada impresi kritikus. Oleh karena itu, sepuluh kritikus akan menghasilkan sepuluh penilaian. Ada pun penilaian perspektif menekankan pada berbagai kemungkinan lain ketika satu pendekatan dengan teori tertentu, tidak sesuai dengan unsur intrinsik karya yang diteliti. Melalui penilaian perspektif inilah kekayaan teks digali-diungkap. Dari situlah pendekatan baru ditawarkan; teori baru dapat dirumuskan berdasarkan teks yang bersangkutan.

Mengenai definisi kritik sastra, kita akan sia-sia menemukannya. Yang ada adalah rumusan glosarium yang menjelaskan tentang itu. Sejak Plato dalam Republic menerapkan teori sastra sebagai alat analisis atas puisi-puisi Homerus, lalu Aristoteles melengkapi dalam karyanya, Poetica, dan terus bergulir sampai abad XX saat Paul Henardi mempertanyakan kembali sebagaimana dinyatakan dalam judul bukunya, What is Criticism? (Bloomington: Indiana University Press, 1981), tak ada satu pun rumusan definisi kritik sastra yang mutlak, tahan uji, definitif, dan berlaku universal. Yang muncul adalah simpang siur pemikiran tentang kritik sastra; bagaimana ia menjalankan fungsinya, mendasari pendekatannya, dan mengembangkan teori kritik sastra (theoretical criticism) yang representatif. Muaranya berkutat pada tiga bidang kegiatan, meliputi teori sastra (literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Objek kajiannya pengarang-teks-pembaca. Belakangan, kajiannya melebar: memasukkan penerbit sebagai bagian dalam sistem produksi dan reproduksi, bahkan juga dengan sistem patronasi.

Penting dipahami: hakikat kritik sastra adalah penilaian. Di dalamnya melekat apresiasi. Jadi, bukan perkara pujian dan hujatan, melainkan elusidasi dan eksplanasi yang meliputi deskripsi, interpretasi, analisis, dan evaluasi. Esai itu keliru menempatkan hakikat kritik sastra. Kekeliruan elementer ini diperparah lantaran ia juga gagal memperoleh legitimasi. Pernyataan Suminto A. Sayuti dikutip secara salah, “Kritik sastra berfungsi memahami karya sastra ….” Secara holistik dan komprehensif, kritik sastra berfungsi memberi pemahaman (baca: bukan memahami) atas sebuah teks sastra. Ia boleh bertindak sebagai panduan, pencerah, dan pemberi jalan terang. Bahkan melalui teks, kritik sastra fungsional bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Teks itu representasi pengarang. Itulah yang diyakini Roland Barthes seperti ditulis dalam artikelnya The Death of the Author (Image-Music-Text. London: Routledge, 1977).
**

Sebagai usaha apresiasi, patutlah kita menghargai esai apa pun. Meski begitu, tindak serampangan yang berakibat pada sesat nalar dan salah data, selayaknya dihindarkan. Apalagi semangatnya mereduksi gagasan yang kompleks, jelas itu laku tak terpuji. Bukankah salah satu yang ditekankan kritik sastra adalah mencermati teks sebagai totalitas dan menguaknya secara holistik dan komprehensif? Nah, kiranya demikian!

***
Maman S. Mahayana, staf pengajar FIB-UI, dosen tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

KRITIK DAN “HAMA SASTRA”

Binhad Nurrohmat
Pikiran Rakyat 19 Sep 2010

DAMHURI Muhammad dalam bukunya Darah-Daging Sastra Indonesia (2010) menuding ada jenis “kritikus sastra serupa hama tikus perusak tanaman di ladang sastra.”

Hiperbola Damhuri itu merupakan gusar besar terhadap kritikus sastra yang gencar memburu kelemahan karya sastra dan malas melacak kekuatannya. Kritikus sastra serupa itu adalah seteru karya sastra lantaran nafsunya lebih bergelora untuk berkonfrontasi ketimbang berkomunikasi dengan karya sastra.

Gusar Damhuri itu bukan perkara anyar dalam dunia sastra Indonesia; dan fakta-fakta perkara itu masih merajalela - sekurangnya menurut Damhuri.

Kritik sastra memproduksi nilai atau tafsir karya sastra. Penilaian dan penafsiran niscaya bertopang perspektif tertentu dan berkonsekuensi menerima resepsi, tanggapan, ataupun reaksi. Kritik sastra memanggul risiko konflik lantaran isi kritik sastra lahir dari rahim perspektif tertentu yang tak mungkin mewakili semua perspektif.

Lalu, apakah kritik sastra itu? Tak ada definisi tunggal.

Menurut saya, kritik sastra mesti dibebaskan dari ketunggalan definisi. Akan tetapi, kritik sastra sama sekali bukan tanpa “konsensus” atau “versi” sebagai perspektif yang memungkinkan kritik sastra terselenggara.

Nirwan Dewanto mengaku “kritik sastra baru bisa berlaku di atas karya sastra yang memperlihatkan anasir kritis dalam dirinya sendiri. Kritik sastra tiada lain daripada perpanjangan watak kritis tersebut.” Maka, karya sastra yang baiklah yang potensial merangsang kritik sastra.

Pengakuan Nirwan itu terang-benderang, tetapi bukan tanpa pendaman “persoalan”. Apakah ukuran adanya “anasir kritis” dalam karya sastra? Nirwan dan yang bukan-Nirwan punya jawaban sesuai perspektif masing-masing. Perspektif itu niscaya karena pikiran dan pengetahuan cenderung heterogen atau berbeda-beda.

Suminto A. Sayuti menegaskan, kritik sastra berfungsi memahami karya sastra dengan aturan main tertentu, menemukan kaitan sastrawan-teks-pembaca, serta menimba realitas literer karya sastra.

Suminto telah memberikan petunjuk-petunjuk normatif kritik sastra yang berfungsi instrumental, regulatif, interaktif, dan representatif. Apakah fungsi-fungsi itu menjamin kritik sastra yang baik? Apakah tanpa fungsi-fungsi itu kritik sastra otomatis buruk?

Pengakuan Nirwan dan penegasan Suminto itu merupakan perspektif kritik sastra yang mereka yakini atau harapkan. Perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna.

Kritikus sastra berhak berpartisipasi menegakkan perspektifnya untuk menatap karya sastra. Konsekuensinya, potensial terjadi pertumbukan antarperspektif maupun perselisihan ihwal kadar mutu pengamalan perspektifnya.

Mungkinkah sama sekali menepis konflik antarperspektif?

Konflik kritikus sastra versus sastrawan “melegenda” dalam dunia sastra kita. Pada 1940-an Chairil Anwar dan H.B. Jassin bertikai gara-gara Chairil tak suka kritik Jassin terhadap beberapa puisinya. Pada 1980-an Ahmad Tohari melancarkan “reaksi keras” terhadap keluhan F. Rahardi ihwal cacat representasi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dan pada 2000-an Hudan Hidayat terlibat debat dengan Taufiq Ismail ihwal erotika.

Barangkali sikap tepat menghadapi konflik kritik sastra adalah menyadari kritik sastra yang baik tak bisa semena-mena dinihilkan oleh sekadar reaksi sastrawan. Sebaliknya, kritik sastra yang buruk akan menggugurkan dirinya sendiri. Sikap itu bakal dianggap bijak atau justru terlalu lunak. Menurut saya, kritik sastra yang polemis atau yang tanpa “reaksi keras” bukanlah ukuran kritik sastra yang baik atau buruk.

Sukar dielak adanya “kuasa pembaca” dalam diri kritikus/khalayak pembaca yang cenderung bertarung dengan “kuasa sastrawan” sebagai pencipta karya sastra. Karya sastra seolah dijadikan “objek”; dan kritik sastra menjelma “subjek”. Posisi objek-subjek itu berlaku searah: karya sastra “dinilai” oleh kritikus sastra, dan bukan sebaliknya.

Menurut saya, kritik sastra yang baik adalah laku komunikasi yang memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra, bukan memiskinkannya. Pujian kritikus sastra bukan jaminan memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra. Sebaliknya, hujatan kritikus sastra tak selalu memelaratkan pemahaman dan pemaknaan karya sastra. Produk kritik sastra yang baik adalah pantulan karya sastra itu sendiri melalui cermin perspektif kritik sastra tertentu.

Tugas kritikus sastra bukan “memuaskan” ataupun bersengketa dengan sastrawan. Kritikus sastra tak cuma menghadapi sastrawan, tetapi khalayak pembaca juga. Kritikus sastra yang baik bukan “penyambung lidah” sastrawan. Tugas kritikus sastra menilai dan menafsir karya sastra menurut perspektif tertentu dan bukan sekadar menulis endorsement (sokongan) dan blurb (pujian buku).

Hiperbola Damhuri ada “kritikus sastra serupa hama tikus perusak tanaman di ladang sastra” itu berlaku bagi kritikus sastra jadi-jadian yang menyusup ke ladang sastra. Gusar Damhuri terhadap kritikus sastra jadi-jadian itu tak menihilkan kritik sastra yang baik. Tudingan Damhuri itu sebuah perspektif terhadap sejumlah fakta kritik sastra yang ia temukan.

Bagi saya, kritik sastra yang baik niscaya bukan “hama sastra”. Kritik sastra yang melancarkan “misi perusakan” bakal luruh dengan sendirinya atau lumpuh menghadapi karya sastra yang kuat. Hama cenderung menjangkiti tanaman yang lemah, bukan? “Hama sastra” akan disfungsi atau mati menghadapi daya karya sastra yang kuat. Sejarah telah dan akan membuktikan itu…***

Binhad Nurrohmat, penyair

Geladak Sastra, Saat Menapaki Sebuah Rezim

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Masih lekat dalam ingatan kita tantang partai Golkar, partai yang awalnya hanya digerakkan beberapa gelintir orang saja dan dalam waktu seumur jagung telah mampu menjadi kekuatan yang menyeluruh sebagai suatu ‘gerakan’ dari semua lapisan masyarakat. Dan kekuatan itu telah nyata ditunjukkan dengan adanya indikator tampuk kekuasaan yang mewarnai corak hegemoni wacana sosial di zamannya. Dan bahkan tidak tanggung-tanggung, kekuatan itu mampu mendekami tiga perempat setengah abad sejak kemerdekaan Republik Indonesia sebagai suatu Negara. Meskipun pada ahirnya juga hancur di-revolt berdasarkan kebutuhan waktu.

Gambaran ringan mengenai kondisi keberadaan rezim Golkar tersebut dapat kita lirik dari puisi pendeknya Gus Mus{Bisri Mustofa} yang berjudul‘Negriku telah menguning’. Disebut puisi pendek karena judul puisi yang pernah dibaca Gus Mus sendiri saat datang di acara padhang mbulan di kediaman Emha Ainun Najib sekitar tahun 1997 lalu itu sekaligus merupakan isi dari puisi tersebut. Dan hanya terdiri dari ‘tiga’ kata itu.

Warna kuning yang diibaratkan Gus Mus dalam puisi tersebut merupakan gambaran keberhasilan Golkar saat tampil sebagai suatu rezim yang dengan ‘yellowingnya,’seolah menemukan bentuk viuwalidasi Nasional. Viuwalitas yang tergambar sederhana hanya dari proses hampir panennya petani yang menunggu panen setelah pascatanam.

Hal yang sama juga dapat kita amati dengan merebaknya bonek mania yang ‘menghijaukan’ suporter massal Persebaya. Atau mungkin jika anda berkeliaran di sekitaran Tunjungan Plaza Surabaya pada malam minggu, kita akan terkesan dengan menjamurnya anak Punk-kers yang melakoni tingkah teatrikal Arie Papank seorang pemuda Inggris yang berhasil dianut ribuan pemuda Indonesia sebagai guidens kolosal.

Rezim sastra? Kenapa tidak! Kalau Golkar, Bonek, dan Punk-ker saja yang nota-bene-nya tidak menanamkan cara dan budaya santun dalam bersosial-masyarakat ,’nyata’mampu dianut menjadi gerakan besar, kenapa sastra tidak?

Alangkah syahdunya jika suatu saat gerakan sastra ini mampu menjadi warna hidup dan pola prilaku kehidupan masyarakat ber-Bangsa dan ber-Negara! Wujud neosintaktika-dialektik sastra yang terkesan sinergik-embat embatan-antara wujud instrinsik dan ekstrinsik atau yang dalam istilah Emha Ainun Najib dalam Budaya Tandingnya dikenal dengan ‘unsur dalam’dan ‘unsur luar’ dalam bersastra tentu merupakan arti lebih ketika kahidupan dilakonkan.

Geladak sastra 2 yang membedah cerkak(cerita cekak) Sabrank Suparno yang berjudul Bobok Suruh Bodeh, sejak awal diperkirakan bakal ramai diperdebatkan. Selain judul dan alur ceritanya yang kental dengan problematika sensitif dengan prilaku kehidupan sehari-hari warga ndeso klutuk, cerkak ini juga ditulis dengan bahasa jawa nJombangan yang nota-bene-nya berbeda tehnik penulisannya dengan bahasa jawa pada umumnya. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi tersendiri. Terlebih jika ditilik dari sudut pandang kaidah penulisan bahasa jawa.

Geladak sastra 2, diadakan di dusun Dowong Plosokerep. Sebuah dusun yang amat ‘kluthuk’tanah rahim kelahiran penulisnya. Agenda sastra tersebut mendapat apresiasi dari warga desa yang berbondong-bondong membawa ‘suguhan’. Sedikit banyak ini menandakan awal berjejaknya sebuah rezim sastra, dimana orang-orang ‘petani kuni’(sebutan petani tulen) antusiasmenya ter-urik dengan keberadaan sastra. Berkumpulnya massa yang kemudian melakukan sesuatu-agreegate- secara kolektif inilah selaksa merajut mozaik menjadi lukisan alam.

Jarak pandang Anjra Lelono Broto (novelis, pakar bahasa jawa)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh ini terdapat kerancuhan struktur bentuk global yang berhubungan dengan bahasa ‘lisan’ dan bahasa ‘tulisan’. DR CC. Berg, ahli bahasa dari Belanda yang mengamati dialektikum bahasa yang di pakai masyarakat jawa, menemukan sebanyak 3800 jenis dialek. Keberagaman jenis inilah yang menyebabkan scub pemfokusan sentral mengenai titik-titik kaidah penulisan bahasa jawa-nJombangan-sulit dijadikan pedoman secara jelas.

Dalam teori kepenulisan ada istilah ‘alih kode’dan ‘campur kode’. Istilah ini jika ditarik dari gejala sosiomistik. Sebagai bahan banding, Anjra Lelono Broto melontarkan satu pertanyaan mendasar. Apakah Sabrank Suparno akan tetap menulis dengan model adetrasi seperti ini?

Menanggapi prospek penulis yang mempertahankan dialek asli lokal, Anjra menghimbau agar penulis tidak usah kawatir dengan rejeki dari penulisan tersebut. Bagaimanapun setiap penulisan pasti menimbulkan ‘efek’dari proses kreatifnya. Efek inilah yang akan mendatangkan rejeki’min khaistu la yahtasib, yang tak terduga. Namun apapun jalan yang dipilih oleh penulis untuk menentukan bentuk cerpenya, diharapkan bersikap sebagai subyek dalam masyarakat. Sehingga perannya mampu ‘mewarnai’ gejala masyarakat. Dalam istilah lain: lebih baik kita ndalangno wong, dari pada kita didalangkan orang.

Cara pandang Nurel Javissyarqi (sastrawan, penulis Lamongan)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh ini memiliki kekuatan yang ditimbulkan dari ketulusan uri-uri menghidupkan budaya lokal. Tehnik penuangan tulisan seperti ini cenderung lebih kuat maknanya untuk menghantarkan pengenalan lebih jauh terhadap kualitas sastra Indonesiaan. Bahasa nJomangan yang kuat, difahami sebagai ‘simbol’ pemberontakan terhadap aturan penulisan, dan memang harus ada yang tampil sebagai ‘tumbal’ dari terkuaknya kurungan aturan yang telah ada. Diharapkan tehnik penulisan bahasa nJombangan yang asli berfungsi memudarkan kesempitan yang telah ditentukan sistem kesusastraan Jawa.

Sudut pandang Suliadi (penyair Mojokerto yang bercokol di komunitas Umpak Songo)
Diperlukannya kekayaan sastra lokal untuk menambahi kekayaan sastra Indonesia. Bagaimanapun ada banyak hal yang tidak tertampung di dalam wadah kesusastraan Indonesia.

Cara pandang Bapak Dasar (warga ndeso)
Cerpen ini mempunyai unsur instrinsik yang mengarah lebih ke-pesan moral agar pembaca menemukan cara untuk mengatasi problem rumah tangganya seperti yang penulisnya idekan.

Jarak pandang Bapak Sudarsono (pecinta seni, warga Deso Dowong)
Isi dari cerpen ini justru berbalik fakta. Bobok suruh bodeh dalam cerpen tersebut sesungguhnya tidak ada dalam istilah masyarakat. Yang ada justru istilah ‘bobok suruh temu ros’.

Sudut pandang Iin Puspita Ningsih (pengamat bahasa jawa, pengajar SMPN-3 Jombang).
Cerpen Bobok Suruh Bodeh tersebut cenderung beraliran bahasa lisan. Hal ini memang sah sah saja secara kebebasan ber-ekspresi sebagai suatu karya. Tetapi bentuk bahasa nJombangan itu sendiri yang amat beragam, acap kali membuat kreator lain sulit menemukan formula yang jelas. Seharusnya ada lembaga ‘pelatihan’ dan ‘media’ kusus tentang bahasa nJombangan. Majalah khusus yang memuat bahasa jawa semisal’ Joyoboyo’ dan’ Penyebar Semangat’, terbukti tidak memuat bahasa nJombangan. Lebih jauh, Iin Puspita Ningsih bersedia mengawali apreseasinya dengan memperkenalkan bahasa nJombangan sebagai bahasa khas daerah yang berbeda bentuk dengan bahasa jawa umumnya, kepada siswanya.

Alur pandang Hadi Sutawijaya (sastrawan, dan pemain teater Suket UNDAR Jombang)
Diperlukannya jejak pijakan awal untuk berganti model dalam pemahaman sastra baru di Indonesia. Hal ini didasarkan atas kelemahan khasanah kesusastraan Indonesia, dan sekaligus diperlukannya apreseasi khusus terhadap budaya lokal. Yang esensi dari sebuah sastra adalah pesan yang disampaikan, dan bukannya sekedar ‘frame’ struktur penulisan semata.

Tanggap pandang Fahrudin Nasrulloh (penulis, editor lepas dari komunitas Lembah Pring)
Dalam cerpen ini ada semacam kekuatan cahaya yang meletup, meskipun dalam arus yang terkesan tidak mendesak Setara dalam film Splandaur yang menghadirkan inspirasi dalam berbagai lintasan peristiwa. Cerpen ini lebih bersifat prilaku sosok ‘ular weling’yang tidak banyak bergerak namun mengandung bisa yang mematikan. Pola cerpen semacam ini juga banyak terdapat dalam bebrapa cerpennya Jakop Sumarjono dan Bagus Subagiyo. Sementara menanggapi soal jenis bahasa nJombangan atau tidak, itu hanya soal stempel almamater yang hendak dicomot oleh arus tertentu. Toh, sudah tersedia kamus Thesaurus yang merangkum berbagai jenis bahasa di Jawa.

Jarak pandang Rahmat Sularso (Mahasiswa jurusan bahasa STKIP Jombang)
Cerpen ini terkesan mengambang. Hal itu di sebabkan karena tidak di temukannya kedetailan dan klimaks kontroversi yang memuncak sebagai plot antagonis. Namun cerpen ini tetap mempunyai ciri khas tersendiri.

Alur pandang Rangga D.P.K. ( Mahasiswa STKIP Jombang)
Ciri khas bahasa yang original tertuang dalam cerpen ini. Lebih lanjut Rangga meminta agar penulis bersedia membimbing tantang pendalaman bahasa nJombangan kepada mahasiswa bahasa untuk mendukung program kampus yang hendak turut nguri-uri budaya lokal.

Penjabaran Koko Sake (penggiat sastra kampus)
Sebagai moderator acara, Koko melebarkan pertanyaan kepada peserta. Apakah mungkin dalam cerpen ini mengandung arti ‘keliaran’semacam ‘neo fuck animals’yang garang di tengah ganasnya belantara.

Tanggapan Jabar Abdulloh ( Aktifis sastra dari DKKM Mojokerto)
Adanya keberanian yang tampil sebagai pendobrak warna baru dalam kesusastraan jawa. Kemerdekaan ini merupakan simbol kebebasan berekspresi dari setiap penulis, meskipun kemerdekaan tidak selamanya diartikan se-bebas-bebasnya. Jabar juga menghimbau agar penulis tidak sekedar ‘bilang akan mandi’, tetapi yang dilakukan hanyalah sekedar bertayammum.

Mengapresiasi Festival Pertunjukan Puisi PPIA

TEMU SATRA NUSANTARA
Viddy AD Daery
http://www.suarakarya-online.com/

Temu Sastra Nusantara MPU (Mitra Praja Utama), adalah salah satu bentuk forum sastra-budaya kerjasama antar provinsi anggota MPU, disamping kerjasama di bidang lain meski sampai sekarang baru beranggotakan 10 Provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Banten, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa atenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Para peserta yang bergembira dapat mengakrabkan diri dengan teman-teman dari daerah lain, mengharapkan provinsi lain segera bergabung,terutama provinsi-provinsi yang seniman-sastranya kurang terdengar, misalnya Bengkulu, Maluku, Sulawesi Utara, Gorontalo, Papua dan sebagainya.

Dalam Temu Sastra MPU ke V (lima), yang diselenggarakan di Bandar Lampung 1-3 Oktober 2010, disamping forum diskusi yang seru membahas isu-isu mutakhir sastra Indonesia ditengah globalisme, yang amat menarik dicermati dan dikembangkan adalah forum Apresiasi Seni yang berupa parade pertunjukan puisi atau teatrikalisasi puisi atau musikalisasi puisi atau pengembangannya.

Terkenang Festival Puisi PPIA

Menyaksikan Forum Apresiasi Seni MPU,saya terkenang Festival Puisi PPIA yang sangat terkenal di Surabaya sejak tahun 70-an hingga berakhir di tahun 2000-an, karena tidak lagi didukung dana oleh Amerika Serikat, sebagai sponsor utama PPIA (Pehimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika).

Festival Puisi PPIA pada masanya, sangat fenomenal dan merupakan ajang yang ditunggu-tunggu oleh publik pecinta sastra budaya Jawa Timur dan Bali sampai tahun 90-an dan mulai diperluas ke seluruh Indonesia mulai 90-an hingga matinya menjelang tahun 2000.

Kesamaannya dengan Festival Apresiasi Seni MPU adalah pada bentuk penampilan penyair yang merupakan adu inovasi dalam pemanggungan puisi atau memaksimalkan konsep pertunjukan puisi.

Saya masih teringat pada tahun 1981, saya memasukkan unsur music piano yang dimainkan teman saya Vera dan gitar dimainkan Bambang untuk mengiringi pembacaan puisi saya, dengan latar belakang slide-slide hasil karya Syaiful Irwan, wartawan Surabaya Post saat itu.

Pertunjukan puisi tahun 1981 itu dianggap inovasi besar, sehingga melambungkan nama saya, sehingga mendapat hadiah penghargaan PPIA, juga penghargaan dari Walikota Surabaya Dr. Purnomo Kasidi, dimuat di Koran-koran utama Jawa Timur saat itu, dan dipanggil untuk syuting puisi-klip untuk disiarkan di TVRI Surabaya.

Semua yang saya mulai itu di tahun 1981 sampai 1983, akhirnya banyak dikembangkan oleh penyair nasional, misalnya puisi-puisi cerpen saya muncul di tingkat nasional lewat karya-karya Afrizal Malna di tahun 90-an dan Nukila Amal di tahun 2000-an.

Sedang pertunjukan puisi dengan latar slide (waktu itu belum ada komputer) akhirnya kini dikembangkan oleh Asrizal Nur dan Remmy Novaris dengan pertunjukan puisi dengan latar video-klip.

Nah,semua yang telah saya mulai itu,tiba-tiba kini saya saksikan kembali pada Forum Apresiasi Seni MPU di Taman Budaya Bandar Lampung.

Delegasi Provinsi Bali, menembangkan musikalisasi puisi,akupun terkenang permainan Vera dan Bambang yang mengiringiku di Pentas PPIA puluhan tahun lalu.

Delegasi Jawa Barat dan DKI Jakarta yang memainkan teaterikalisasi puisi dengan cantik dan bertenaga, dengan irama yang terjaga, meski masih nampak beberapa improvisasi mendadak karena “kecelakaan tempo permainan” maupun gangguan peralatan, mengingatkan aku pada beberapa penampilanku di forum-forum PPIA selanjutnya,yang terkadang didukung oleh teman-teman Teater Patriana, kadang malah didukung oleh penampilan improvisasi dari Arifin, staf dari Pak Rudi Isbandi, Direktur Program Budaya PPIA tahun 90-an, menggantikan almarhum Khrisna Mustajab yang merintis Forum Festival Puisi PPIA yang fenomenal itu.

Sehingga penyair dan wartawan Jawa Pos saat itu, Jill P Kalaran, menulis bahwa “Viddy adalah penyair yang berkonsep paling sadar akan Puisi sebagai Sebuah Konsep Pertunjukan”, dibanding penyair-penyair lainnya.Jill sekarang adalah sutradara dan editor film-film documenter di sebuah PH di Jakarta.

Forum Puisi PPIA itu telah melahirkan penyair-penyair yang kini mempunyai nama besar dan pengabdian sastra yang panjang, seperti D.Zawawi Imron, Sabrot D Malioboro, M.Anis, Viddy AD Daery, Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Rusdi Zaki, Yusuf Susilo Hartono, Medy Lukito dan banyak lagi.

Akankah Forum Apresiasi Seni MPU juga akan mencapai taraf sebagai Festival Penampilan Puisi yang sangat ditunggu-tunggu seperti Festival Puisi PPIA ?

Tentu prospek itu akan sangat cerah, jika pembenahan konsep pemanggungan puisi disiapkan lebih serius lagi,mungkin dengan latihan berbulan-bulan, dengan pengetatan tempo dan irama pertunjukan yang rapid an dengan kerjasama yang baik antara konseptor pertunjukan puisi dengan panitia yang harus menyediakan berbagai fasilitas kelengkapan pertunjukan (tentunya sesuai plafon anggaran yang disediakan).

Forum Sastra MPU juga harus memperlebar audiens, jangan hanya ditonton dan dinikmati oleh sesama delegasi seniman-sastrawan, namun mengundang juga guru sastra, murid SMA dan mahasiswa sebagai persemaian forum apresiasi dalam arti yang sesungguhnya. ***

PDS HB Jassin Menuju Era Digital

Yusuf Assidiq
http://www.infoanda.com/Republika

Mungkin tidak ada di negara lain yang seperti ini. Sebuah pusat dokumentasi yang khusus menyimpan dan memelihara karya para sastrawan maupun seniman kondang dari zaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang secara cukup lengkap. Namun demikian, perhatian segenap pihak sangat diperlukan bagi perkembangan lembaga tersebut ke depan.

Tanpa terasa sudah 30 tahun lembaga ini berkiprah. Tentu banyak tantangan dan persoalan yang melingkupi perjalanannya selama ini termasuk harapannya di masa depan. Dan, hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk Peran Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Bagi Bangsa dalam rangka memperingati 30 tahun berdirinya, Senin (31/7) lalu, di Jakarta.

Seperti diungkapkan oleh William P Tuchello, director Library Congres Jakarta, saat menjadi pembicara, PDS HB Jassin memiliki peran yang sangat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun penelitian kesejarahan. Dengan koleksinya yang terbilang lengkap, masyarakat umum maupun kalangan akademisi dapat memanfaatkan bahan-bahan dokumentasi tersebut guna kepentingan penelitian.

Oleh karenanya, dia mengharapkan agar ke depan, segi pelayanan maupun kemudahan mengakses koleksi di pusat dokumentasi ini dapat dipermudah. “Yang saya lihat, pelayanan tersebut sudah baik dan tidak terlalu banyak prosedur birokrasi seperti ditemui di tempat lain. Itu harus dipertahankan,” paparnya.

Satu hal yang perlu diperhatikan, lanjut dia, adalah bagaimana agar Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin bisa melengkapi fasilitasnya dengan sistem berteknologi digital. Di era modern seperti saat ini, pemakaian teknologi canggih akan dapat memperlancar tugas penyimpanan dokumen dan mempercepat pencarian katalog.

Rencana penyediaan teknologi digital tidak ditampik oleh Ketua Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, Husein Umar. Menurutnya, program digitalisasi itu sudah dimulai beberapa waktu lalu dengan adanya bantuan 10 unit perangkat komputer dari PT Coca Cola Indonesia.

Hal ini diharapkan akan terus berkembang sehingga PDS akan dapat terus mengikuti perkembangan teknologi terbaru dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan. “Termasuk kita juga berencana membuat web site (situs) internet, namun masih terkendala dana,” katanya.

Meski demikian, pihaknya tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kendala yang ada. Persoalan dana tetap menjadi masalah, terutama untuk memelihara dan merawat naskah-naskah tua, pengolahan bahan-bahan kliping maupun katagorisasi koleksi. “Hingga kini kita masih mengandalkan bantuan dari Pemda DKI. Selain itu, juga bantuan dari sejumlah perusahaan dan para donatur,” ujarnya.

Kendala lainnya adalah keterbatasan ruangan penyimpanan. Dengan jumlah koleksi sebanyak 18 ribu judul buku, 15 ribu kliping berita sastra, 700 rekaman suara dan masih banyak lagi serta terus bertambah, sudah tentu memunculkan persoalan di mana harus disimpan mengingat ruangan yang ada sekarang sudah tidak lagi mencukupi.

“Bahkan kami sampai terpaksa menolak hibah dan sumbangan buku dari berbagai pihak, lantaran ketiadaan ruangan,” kata Husein Umar. “Karena itu, ke depan perlu kiranya dipikirkan penambahan ruangan penyimpanan demi tetap terpeliharanya dokumen-dokumen berharga tersebut.”

Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin yang berlokasi di komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, merupakan perwujudan dari keinginan HB Jassin untuk mengumpulkan koleksi buku dan dokumen sastra di satu tempat. Sastrawan besar ini beranggapan langkah yang ditempuhnya itu merupakan langkah pertama dalam perjalanan jauh ke depan. Karena, bagaimana pun, dalam karya sastra juga terkandung catatan historis bangsa yang akan berguna bagi generasi penerus.

Berawal dari hobi pribadi untuk mengumpulkan buku serta tulisan karyanya pribadi ataupun orang lain. HB Jassin masih menyimpan buku harian yang mulai ditulis sejak tahun 1932, tulisan pertamanya dalam surat kabar, begitu pula buku-buku tulis berisi karangannya saat masih duduk di bangku sekolah. Tak hanya itu, ada pula kumpulan surat-surat pribadi dan foto-foto — semua tersimpan rapi.

Pada zaman penjajahan Belanda, HB Jassin yang dijuluki Paus Sastra Indonesia ini mulai mengoleksi majalah-majalah yang terbit pada waktu itu, antara lain Pujangga Baru, Panji Pustaka dan sejumlah surat kabar. Buku-buku terbitan Balai Pustaka ikut dikumpulkan dan disimpan. Kemudian di zaman Jepang, terkumpulkan majalah Jawa Baru, Kebudayaan Timur maupun kliping koran Asia Raya.

Selanjutnya makin banyak surat kabar dan majalah serta buku yang dikumpulkan setelah Indonesia merdeka. Puncaknya adalah pada tahun 60-an, ketika sebagian besar surat kabar memiliki kolom renungan kebudayaan. Belum lagi dengan berkembangnya kegiatan budaya dan sastra yang ramai diperbincangkan serta dimuat pada suratkabar dan majalah.

Tahun 1952 saat HB Jassin mulai mengajar di Fakultas Sastra UI dan bekerja di Lembaga Bahasa dan Budaya, dokumentasi sastra itu mulai dipergunakan bagi kepentingan pribadi dan umum. Dari situlah kemudian muncul pemikiran untuk membentuk suatu pusat dokumentasi sastra yang permanen dan representatif.

Niatan itu akhirnya terlaksana tanggal 30 Mei 1977 yakni dengan diresmikannya Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin berkat dukungan dari Pemda DKI. Hingga sebelum itu, koleksi dan dokumentasi sastra masih tersimpan di beberapa tempat seperti di Gang Siwalan 3 (kediaman Jassin), Gang Kecapi 8 (rumah tinggal saudaranya) dan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jl Diponegoro 82. Semua dokumen tersebut berangsur dipindahkan ke TIM.

Dengan tersedianya satu lokasi khusus itu, menjadikan pusat dokumentasi sastra kian berkembang pesat. Koleksinya tidak sebatas karya sastra Indonesia dan sastra daerah baik yang modern maupun klasik, namun juga sastra dunia. Dokumen terdiri dari berbagai bentuk semisal buku, kliping, skripsi dan disertasi, makalah, majalah, foto pengarang, lukisan, puisi konkret, rekaman suara, kaset video, mikrofilm, naskah tulisan tangan, naskah ketik dan surat-surat pribadi. Jumlahnya ribuan.

Geliat Seni Aceh Pasca-Tsunami

Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Dilanda konflik disintegrasi selama puluhan tahun, dan diterjang tsunami pada 28 Desember 2004, seni-budaya Aceh tidak lantas punah. Pasca-tsunami, seni-budaya Serambi Mekah justru menggeliat bangkit. Begitu juga kehidupan sastranya. Ribuan karya kembali ditulis dan ratusan buku sastra terbit pasca-tsunami. Seni khas Aceh pun berkali-kali dipertunjukkan kembali dalam berbagai iven kesenian.

Belum lama ini, 10-13 Desember 2007, dengan tajuk Piasan Sastra Aceh, karya-karya sastra dan seni-budaya Aceh dipamerkan serta dipertunjukkan di kampus FIB UI Depok, dan dilanjutkan dengan Mini Festival Film Aceh di Studio Megaplex, Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, pada 14-16 Desember 2007.

”Kegiatan ini memperlihatkan sisi Aceh yang lain. Bukan lagi sosok beraroma konflik atau tsunami yang mengharu biru perasaan jutaan orang. Kami ingin menyajikan ‘hidangan’ dengan menu seni-budaya, yang selama ini hampir tak memiliki ruang yang lebar untuk mempertunjukkan dan membicarakannya,” kata penyair Fikar W Eda, ketua panitia Piasan Sastra Aceh 2007.

Fikar mencontohkan seorang pemain rapa’i di Aceh yang lama gusar, karena tak kuasa lagi memainkan kemahirannya menabuh rapa’i. ”Konflik bersenjata telah merampas kemerdekaannya. Rapa’i itu kemudian dijadikan wadah menampung air hujan di rumahnya. Tak lama berselang, datang pula tsunami, yang menghanyutkan rumah dan rapainya,” katanya. ”Piasan Sastra Aceh ini memungut rapai itu dan memainkannya kembali,” tambahnya.

Tentu tidak hanya ada permainan rapa’i yang eksotik di tengah-tengah Piasan Sastra Aceh di FIB UI. Gelar seni-budaya sepekan ini seakan ingin mempertontonkan semua potensi seni-budaya Serambi Mekah, meskipun tidak seluruhnya mendapat tempat. Dari seni tradisi, misalnya, ditampilkan tari seudati, tari saman dan seni sebuku dari Gayo Lues, serta tari rubbani wahed dari Samalanga. Dipamerkan pula foto-foto panorama alam dan pertunjukan seni serta benda-benda budaya Aceh, di lobi Auditorium FIB UI.

Guna menunjukkan perkembangan sastra Aceh terkini, diluncurkan dan dipamerkan pula buku-buku karya para sastrawan Aceh yang terbit pasca-tsunami. Dan, sebagai forum aktualisasi diri, sepuluh lebih sastrawan dan penulis Aceh Azhari, Reza Idria, Fozan Santa, Salman Yoga, Ibrahim Kadir, Arafat Nur, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, D Kemalawati, Rosni Idham, Wina SW1, Rani Angraini, Ines Somellera, Ubiet, dan Zulaikha tampil untuk membacakan sajak-sajak mereka di panggung Auditorium FIB UI.

Beberapa penyair asal Aceh yang tinggal di Jakarta, serta beberapa penyair tamu, seperti Fikar W Eda, Mustafa Ismail, Debra H Yatim, Ikranegara, Abdul Hadi WM, dan Dato Kemala (Malaysia) ikut meramaikan panggung pertunjukan. Pentas makin marak dengan pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, Kelompok Musik Qanun, pembacaan Hikayat Prang Sabil dan Syeh Idris, serta pertunjukan seni didong dan sebuku yang unik.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Sajak (Seniman Aceh se-Jabotabek) bekerja sama dengan Pusat Tamadun Melayu UI dan FIB UI ini juga diisi pemutaran film-film tentang Aceh, serta temu pembuat dan pengisi film tentang Aceh, bersama Cristine Hakim dan Berliana Febrianti.

Sesi yang tidak kalah pentingnya adalah seminar yang mengkaji potensi dan perkembangan seni-budaya Aceh, khususnya sastra, sejak masa Hamzah fansuri hingga pasca-tsunami. Sebanyak 26 sastrawan dan pengamat sastra, seperti Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Dato Kemala, Tommi Christomi, Tommy F Awuy, Agus Nuramal, Muhammad Iqbal, Muhammad Lutfi, Arafat Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, D Kemalawati, Debra H Yatim, Rosni Idham, Azhari, Mustafa Ismail, Fozan Santa, Wina SW, Nurdin AR, Muhammad Nazar, Reza Idria, Ibrahim Kadir, Yusza Nur Nadia, Salman Yoga, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, dan Mukhlis A Hamid, tampil sebagai pembicara dalam enam sesi diskusi.

Pembukaan acara ini, yang didahului dengan pawai seni di FIB UI, serta pidato pembukaan oleh Rektor UI, Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, berlangsung cukup meriah. Begitu juga penutupannya, yang dimeriahkan pertunjukan tari rubbani wahed dari Desa Sangso, Samalanga, Kabupaten Bireuen. ”Rubbani wahed adalah tarian sufi yang hanya hidup dan berkembang di desa tersebut,” kata Fikar.

Upacara penutupan Piasan Sastra Aceh di FIB UI juga dimeriahkan pertunjukan grup musik Qanun, seni sebuku dari Gayo, pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, pembacaan hikayat Prang Sabil dan peluncuran buku kumpulan puisi karya 19 penyair perempuan Aceh, Lampion, serta sambutan penutupan oleh Ketua Pusat Tamadun Melayu, Dr Zulhasir Nasir.

Pada sambutannya, Zulhasir Nasir mengatakan gembira karena Piasan Sastra Aceh bisa dihadirkan di UI. Menurutnya, banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan tersebut. ”Publik menjadi lebih paham tentang kekayaan dan keberagaman seni-budaya Aceh,” katanya.

Menurut Fikar, Piasan Sastra Aceh merupakan kegiatan sastra Aceh yang paling besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Jakarta. Sayangnya, acara ini kurang berhasil meraih pengunjung yang maksimal dari kalangan mahasiswa UI, karena mereka sedang bertarung dalam ujian semester.

MASIH SEPUTAR PENJURIAN YANG MISTERIUS

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sebuah amplop cukup besar, saya terima, 7 Januari 2002. Isinya, satu plakat agak mewah dan selembar surat. Ternyata, pengirimnya Panitia Panyelenggara Khatulistwa Literary Award (KLA) Indonesia’s Best Fiction Award 2000–2001. Plakat dimaksudkan sebagai simbol pernyataan keberterimaan dan barangkali juga penghargaan dari Panitia Panyelenggara, sedangkan surat dapatlah dianggap sebagai utusan panitia itu yang hendak menyampaikan ucapan terima kasih kepada juri.

Selaku juri, perasaan hati saya mendadak menggelembung saat membaca surat itu. Pasalnya, saya sadar betul, bahwa peran saya dalam penjurian itu terlalu kecil, bahkan mungkin juga tak bermakna apa-apa. Apalagi jika mengingat hasilnya yang diperlakukan mirip angket atau polling. Meski begitu, tidak urung, saya senang juga, hitung-hitung panitia telah menghargai kewajiban saya membaca sekian buku dalam kurun waktu setahun (2000–2001) dan kemudian memberikan daftarnya dalam urutan 10 terbaik.

Mencermati isi teks surat itu, tampak benar bahwa para penanda tangannya tidak pelak lagi adalah orang-orang yang terpelajar. Paling tidak, mereka sangat mengerti etika manajemen, profesional, begitu takzim, dan menghormati kerja sama. Ungkapannya sungguh membesarkan hati dan sangat mengesankan. Jadi, kurang tepatlah jika menduga panitia tak paham etika dan tak tahu sopan-santun. Tetapi, apakah mereka itu panitia, penaja, atau penaja sekaligus juga panitia?

Pertanyaan itu muncul berkaitan dengan tarikh yang tercantum dalam plakat, 18 November 2001 dan surat, 28 November 2001. Mengapa saya baru menerimanya tanggal 7 Januari 2002. Jadi, lebih dari satu bulan surat itu tercecer entah di mana. Mungkin surat itu tersimpan rapi di dalam laci atau barangkali juga pada mulanya kedua barang itu tak hendak dikirimkan. Bahkan, muncul pula pertanyaan lebih ekstrem: Jangan-jangan, surat dan plakat itu buru-buru dibuat justru setelah gencar publikasi mengenai kontroversi penyelenggaraan KLA. Persoalan itu tentu saja hanya panitia yang paling tahu.

Bagi saya jelas, bahwa para penaja yang amat terpelajar itu telah mempercayakan operasionalisasinya pada kerja panitia yang amatiran. Bagaimana mungkin surat bertarikh 28 November 2001, baru sampai ke alamat yang dituju lewat sebulan kemudian? Ini seperti kerja dalam birokrasi Pemda yang hampir selalu terlambat dalam tugas apapun. Jika saya tinggal di pendalaman Papua, keterlambatan itu pastilah satu keniscayaan. Tetapi, Jakarta–Depok merupakan jarak yang dapat ditempuh dalam waktu sekejap. Jadi, kembali lagi, mengingat lamanya keterlambatan itu, perasaan yang tadi berbunga-bunga, mendadak menciut. Ah, panitia ini ada-ada saja atau sengaja meledek?
***

Terlepas dari persoalan harga-menghargai dan besar-kecilnya kontribusi juri serta terjadinya kontroversi pemilihan pemenang, penyelenggaraan KLA dapat memberi kontribusi penting yang bakal besar pengaruhnya bagi perkembangan kesusastraan Indonesia jika diselenggarakan secara berkelanjutan dan ditangani oleh panitia yang profesional. Sebaliknya, jika penyelenggaraannya hanya sekali ini atau dalam bahasa Chairil Anwar, sekali (tidak) berarti, sesudah itu mati, maka kontribusinya itu, benar-benar mati sebelum lahir. Ia keguguran dalam kandungan, meski nama calon bayi sudah dipublikasikan. Oleh sebab itu, betapapun gencar berbagai serangan terhadap panitia, para penaja hendaknya tidak main-main dengan gagasannya sendiri. Badai pasti berlalu, dan penyelenggaraan KLA jalan terus. Tentu saja itupun dengan beberapa catatan.

Pertama, seperti ditulis Budi P Hatees (MIM, 13/1/2002) soal kriteria pemilihan dan argumen yang melandasinya, patutlah menjadi bahan pemikiran. Dewan juri mesti dapat mempertanggungjawabkannya kepada publik. Tanpa itu, kembali, berbagai dugaan penjurian yang misterius, bakal kembali terulang. Dalam hal ini, kerja sama dengan pihak pers niscaya akan sangat membantu publikasi pertanggungjawaban juri kepada publik.

Kedua, berkaitan dengan butir pertama, sungguh tidak adil jika dari sekian karya sastra itu hanya dipilih satu karya dari satu ragam sastra. Bagaimana mungkin kita mempersamakan antologi puisi dengan antologi cerpen, drama dengan novel? Masing-masing ragam sastra itu, selalu memunculkan kelebihannya sendiri. Perangkat penilaian bagi puisi, tentu tak sama dengan perangkat penilaian bagi novel, drama dan cerpen. Jika kita analogikan sastra sebagai buah-buahan, maka keempat ragam sastra itu dapatlah ditamsilkan sebagai durian, mangga, apel, dan jeruk. Adilkah, kriteria penilaian untuk mengukur rasa dan kenikmatan durian, kita terapkan untuk mangga, apel, dan jeruk? Jadi, tak terhindarkan pemenangnya harus dalam empat kategori: puisi, novel, cerpen, drama. Itulah cara yang paling adil. Itulah sumbangan penting bagi para sastrawan, dalam ragam apapun mereka itu berkiprah!

Ketiga, untuk menunjukkan bahwa panitia cukup profesional, juri mesti disodori daftar buku yang mesti dinilai yang terbit dalam kurun waktu setahun. Meskipun begitu, panitia masih membuka diri jika ada satu-dua buku yang luput dari catatan panitia yang mungkin disodorkan salah seorang juri. Tinggal tugas panitia untuk menyusulkan atau memberitahukan kepada juri lain tentang adanya tambahan itu. Dalam hal ini, setiap juri sudah diberi koridor yang jelas tentang sejumlah buku yang patut dinilai. Dengan cara ini, panitia sekaligus “memaksa” juri untuk membaca buku-buku yang hendak dinilainya atau tidak menilai buku-buku yang mungkin belum dibacanya. Jadi, juri bekerja secara benar dan profesional dan tidak asal menulis judul-judul buku begitu saja. Di sini, moralitas dan kejujuran juri benar-benar dipertaruhkan.

Keempat, untuk mencapai kesepakatan dan kesepahaman penilaian dewan juri, panitia mesti berusaha mempertemukan dewan juri dalam sebuah ruang perdebatan. Di situlah para juri menyampaikan argumen dan dasar penilaiannya. Biarkanlah mereka berbalahan. Jika tidak ada titik temu, terpaksalah dilakukan voting. Meskipun tampaknya seperti meniru cara anggota dewan dalam memutuskan sesuatu, voting para juri ini pastilah tidak bakal diwarnai politik uang. Saya masih percaya, semiskin-miskinnya juri, moralitasnya barangkali masih belum tercemar oleh perbuatan suap-menyuap. Jika dalam proses penjurian itu, ada juri yang terlibat suap-menyuap, kita tinggal menunggu doa dari sastrawan Indonesia dan segenap komunitasnya: “Semoga arwah juri yang bersangkutan diterima di sisi Tuhan.”

Kelima, untuk menghindari adanya penilaian subjektif, karya juri yang mungkin masuk nominasi, mesti gugur demi objektivitas. Jika karya itu tetap hendak dimasukkan sebagai salah satu nominasi dan memang pantas dinominasikan, maka pengarangnya harus mundur selaku juri. Kembali, langkah ini semata-mata demi objektivitas.
***

Dalam banyak kasus sejenis yang terjadi di negara mana pun di dunia, munculnya kontroversi terhadap pilihan juri, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Saat Pramudya Ananta Toer terpilih sebagai peraih hadiah Ramon Magsaysay (1995), berbagai kalangan banyak yang mempertanyakan keputusan itu mengingat sepak terjang Pram pada pertengahan tahun 1960-an dianggap berlawanan dengan moralitas dan semangat kebebasan yang melandasi pemberian hadiah tersebut. Demikian juga, beberapa di antara pemenang hadiah Nobel, seperti Claude Simon (1985) dan Wole Soyinka (1986), tidak urang dipertanyakan dasar keterpilihannya yang pada gilirannya melahirkan kontroversi. Dalam pemberian hadiah-hadiah semacam itu, lahirnya kontroversi yang mengikuti keputusan juri merupakan hal biasa. Tetapi toh, munculnya berbagai kontroversi seperti itu, sama sekali tidak mengurangi berbagai pihak, institusi atau lembaga tertentu untuk menghentikannya. Di negara-negara maju, penghargaan dan pemberian hadiah pada karya seni, termasuk sastra, terus saja bermunculan dengan nama dan hadiah yang bervariasi.

Dalam sejarah sastra Indonesia, kita juga mencatat tidak kurang dari 15 hadiah, baik dari pemerintah maupun yayasan atau institusi dalam dan luar negeri, yang diberikan kepada sejumlah sastrawan kita. Sebagian besar di antaranya, seperti Hadiah Sastra Nasional BMKN, Hadiah Sastra Yamin, Hadiah Martinus Nijhoff, Hadiah Akademi Jakarta, Hadiah Dewan Kesenian Jakarta, Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya, Anugerah Sastra Chairil Anwar, dan Hadiah A. Teeuw, tidak melanjutkan lagi kegiatannya. Oleh karena itu, adanya Khatulistiwa Literary Award (KLA) Indonesia’s Best Fiction Award, dapat dimaknai sebagai monumen penting atau sekadar numpang lewat belaka dalam catatan perjalanan sejarah sastra kita.

Tentu saja kita berharap, KLA dapat menjadi monumen. Pasalnya, terlalu sedikit pengusaha kita yang punya perhatian besar pada bidang sastra. Kiprah mereka umumnya berkaitan dengan kepentingan bisnis atau sekadar cari popularitas. Lalu, apakah para penaja KLA termasuk golongan pengusaha macam itu atau mereka memang punya ambisi besar untuk mengangkat harkat dan martabat kesusastraan Indonesia di amta bangsanya sendiri? Jawabnya kita tunggu saja kiprah KLA di masa-masa mendatang. Apakah KLA berhenti sampai di sini atau jalan terus hingga entah kapan. Jika jalan terus, yakinlah kita bahwa kelak KLA akan sangat berwibawa dan berpengaruh di antara penghargaan lain yang bertebaran di negeri ini.

(Penulis Staf Pengajar FSUI, Depok).

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati