Judul buku : Darah-Daging Sastra Indonesia
Penulis : Damhuri Muhammad
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : 1, Maret 2010
Tebal : xii + 168 halaman
Peresensi : Aris Kurniawan
http://www.lampungpost.com/
JIKA kita sepakat bahwa esai, ulasan singkat, resensi buku sastra, yang tumbuh di koran-koran layak disebut sebagai kritik sastra, agaknya keresahan, keluhan, kecemasan sebagian kalangan pengamat dan praktisi sastra akan kelangkaan kritik sastra, menjadi tidak beralasan.
Hampir setiap minggu sejumlah koran dan majalah menyediakan ruang untuk esai, ulasan, resensi buku sastra, wawancara, serta reportase perihal kegiatan diskusi sastra. Dari tulisan-tulisan pendek tersebut kadang pula tersulut polemik yang saling bersahut-sahutan. Kadang sahut-sahutan yang terjadi tidak hanya muncul dari koran yang memuat tulisan yang memicu polemik, tapi juga dari koran-koran lain. Polemik yang terjadi dan tersebar luaskan oleh media itu meski acap tidak bersandar pada penelitian mendalam terhadap tema atau gagasan yang diperdebatkan, tapi pelak merangsang dinamika pemikiran sastra.
Model kritik sastra semacam itulah kiranya yang disodorkan buku Darah Daging Sastra Indonesia karya Damhuri Muhmmad. Buku ini tak lain memang kumpulan tulisan berupa esai, ulasan, resensi buku sastra yang sebelumnya terserak di sejumlah koran dan majalah. Tidak salah jika menyebut buku ini serupa kliping. Pula, sejak awal tulisan ini diniatkan untuk media koran dan majalah umum yang tidak menyediakan ruang yang cukup leluasa untuk menggelar kritik sastra. Sehingga membaca buku ini tidak harus secara runut dari halaman pertama sampai halaman akhir. Tapi bisa memilih dari halaman mana pun yang dianggap paling menarik. Panjang setiap tulisan pun tidak lebih dari dua sampai tiga halaman.
Melalui buku ini Damhuri seakan hendak memaklumatkan bahwa tindakan kritik sastra tidak selalu harus berupa tulisan-tulisan panjang berlumur teori-teori sastra mentereng yang dalam banyak kasus justru merumitkan pemahaman terhadap karya—yang bagi orang kebanyakan sudah rumit–yang diulas, sehingga makin menjauhkan sastra dari masyarakat luas. Kritik sastra model resensi buku dan ulasan ringkas pun sanggup menjadi kritik yang bermanfaat jika ditulis dengan perangkat yang memadai serta kesungguhan menyelam ke dalam teks secara intens dan integral. Yakni kritik sastra yang, sebagaimana diungkap Suminto A. Sayuti (2005), disiapkan dalam kerangka instrumental, regulatif, interaktif, dan respresentatif.
Terbukti, meski model kritik yang diamalkan Damhuri sangat ringkas, hanya butuh waktu 10–15 menit membacanya, tidak lantas batal menjadi sebuah kritik sastra yang tajam dan inspiratif. Bahkan, justru karena keringkasannya ulasan jadi lebih fokus, langsung menukik, sehingga dengan segera dapat menunjukkan kekuatan dan kelemahan teks sastra yang diulasnya. Ini tentu didukung ketekunan Damhuri dalam menyelam ke dalam darah daging teks, membedahnya dengan perangkat yang memadai.
Penguasaan Damhuri atas perangkat yang dipergunakannya, ditambah ilmu filsafat yang digelutinya, setiap ulasan yang ditulisnya hadir dengan pola penuturan dan bahasa yang jernih sehingga mudah dipahami. Misalkan pada tulisan Sastra (A) Moral? (hlm. 11). Esai yang merupakan respons atas esai Richard Oh, dengan gemilang menelanjangi kekeliruan lontaran pemikiran Richard Oh perkara moral dalam sastra. Demikian pula tulisan yang mengulas Glonggong, novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta (2006) karya Junaedi Setiyono. Secara cerdas dan telak Damhuri mementahkan pelabelan novel sejarah yang diberikan para juri terhadap novel tersebut. Hanya, pada tulisan Ikhtiar Menyelamat Puisi, Damhuri tampak kurang mampu menyembunyikan nada emosionalnya. Juga frase “penyair muda” pada tulisan yang mengulas kumpulan puisi Esha Tegar Putra (hal.158). Frase ini mungkin maksudnya dialamatkan pada hitungan usia si penyair, bukan hitungan mutu kepenyairan si penyair.
Secara umum kritik-kritik Damhuri terbebas dari semangat memaki setengah mati di satu sisi dan memuji setinggi langit di sisi lain. Ulasan-ulasan Damhuri tampil dengan imbang. Berlawanan dengan sebagaimana yang dilakukan kritikus-kritikus sastra yang menurutnya lebih pantas disebut tikus-tikus sastra yang perlu dibasmi?
Akhirnya, kehadiran buku ini selain bisa digunakan sebagai bahan belajar menulis karya sastra sekaligus menulis kritik sastra, akan menambah historiograpi sastra Indonesia.
Aris Kurniawan, sastrawan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 05 Agustus 2010
Merayakan yang Dimangkirkan
Judul : Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, November 2009
Tebal : xxiv + 182 halaman
Peresensi : Damanhuri
http://www.lampungpost.com/
KEBANGKITAN setiap bangsa selalu bermula dari kerja wacana; beranjak dari aksara. Tonggak kebangkitan nasional di Indonesia pun sesungguhnya bermula dari kerja wacana yang berlangsung melalui kelompok studi, tulisan jurnalistik, juga karya sastra.
Maka, bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan ketika tahun 1924 Bung Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia, dia pula penggagas dan pengelola utama jurnal Indonesia Merdeka, sembari tak lupa menulis puisi-puisi patriotik. Saat Bung Karno mendirikan Algemene Studieclub, dia pula yang menggagas dan merawat keberlangsungan jurnal Indonesia Moeda, sambil tak alpa aktif sebagai editor majalah Syarikat Islam (SI): Bandera Islam (1924–1927). Pun Sjahrir yang banyak berkiprah dalam mengelola jurnal Daulat Rakyat saat aktif di Perhimpunan Indonesia bersama Bung Hatta.
Rekaman sejarah yang kerap kita lupakan itulah yang coba diungkapkan ulang Yudi Latif dalam buku terbarunya ini. Ia mengajak kita menengok ulang jejak yang diterakan Bung Hatta-Bung Karno-Bung Sjahrir yang seolah-olah menegaskan, bahwa “tak ada bangsa yang dapat maju tanpa memuliakan keberaksaraan”.
Relevansi ajakan Yudi Latif terasa betul gaungnya ketika langgam hidup kita hari ini terus-menerus dilecut oleh arus utama budaya hedonistik, instant (mentalitas menerabas), dan segala anasir yang mendorong sebagian besar kita seolah jeri masuk ke kedalaman laku hidup asketis. Apalagi, proses peluruhan nilai-nilai asketisme itu juga bukan tidak terjadi di ranah akademik; dan telah berhasil meranggaskan tradisi keberaksaraan karena kerap dipandang sebelah mata sebagai aktivitas yang mustahil “memakmurkan” pelakunya.
(D)evolusi konsep kehormatan atau kemuliaan tampaknya memang tengah berlangsung di tengah sebagian (besar?) kaum cerdik-cendekia kita dan lambat-laun menyayupkan ajakan asketisme intelektual yang dulu diserukan mendiang Sartono Kartodirjo. Hasilnya: karena di tengah masyarakat akademik yang telah kehilangan asketisme intelektual tingkat kehormatan selalu diukur dengan hal-ihwal yang sepenuhnya ragawi belaka; maka jangan heran jika di negeri ini banyak akademisi yang nyambi jadi periset pesanan, penulis hantu, anggota tim sukses dalam perhelatan pilkada, dan segala aktivitas yang sesungguhnya hanya mengukuhkan dirinya sebagai—apa yang disebut Julien Benda “intelektual pengkhianat”.
Tapi, mari lupakan sejenak para cendekiawan yang mengkhianati khitah kecendekiawanannya itu. Kita kembali meneroka ulang pentingnya tradisi literasi dalam meletakkan batu-bata perdaban.
Dengan menyigi sumber yang begitu beragam, Yudi Latif menyodorkan ulang lima perkara yang mengalasi pentingnya keberaksaraan (literasi): pertama, tradisi tulis merupakan sarana olah ketepatan dan kekuatan yang berbeda dengan tradisi (ke)lisan(an) yang dianggap “longgar dan liar”; kedua, keberaksaraan merupakan standar keberadaban; ketiga, keberaksaraan adalah organ kemajuan sosial; keempat, keberaksaraan tidak lain merupakan instrumen budaya dan perkembangan saintifik; kelima, keberaksaraan merupakan instrumen perkembangan kognitif.
Sayang, tradisi keberaksaraan dan keluasan erudisi intelektual manusia Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Tradisi tersebut betul-betul tengah mengalami peluruhan luar biasa dengan dua ancaman terpentingnya berupa “vokasionalisme baru” (new vocationalism) dan multimedia, khususnya televisi.
Vokasionalisme baru adalah suatu konsepsi utilitarian dari institusi-institusi pendidikan yang hanya memberhalakan keterampilan teknis dan akhirnya cuma menghasilkan–apa yang disebut Frank Furedi–the cult of philistinism: kultus atau pemujaan berlebihan pada “budaya kedangkalan” akibat pemuliaan ekstrem pada interes-interes yang melulu material dan praktis. Institusi pendidikan mengalami penurunan gairah intelektual akibat terlalu dominannya etos manajerialisme dan instrumentalisme: suatu etos yang menghargai segala hal sejauh bisa melayani preferensi-preferensi praktis-ekonomis.
Di titik ekstrem lain, televisi—dengan pelbagai tayangan acaranya yang kebanyakan hanya menangkarkan kebanalan itu –sesungguhnya hanya menghidupkan kembali tradisi kelisanan; mendorong berkecambahnya lagi kebiasaan ngobrol dan kemalasan berpikir; serta melemahkan fungsi-fungsi keberaksaraan yang sesungguhnya belum lagi tumbuh dengan baik di negeri ini.
Konsepsi utilitarian kian tumbuh karena sejatinya segendang sepenarian dengan kecenderungan pendidikan kita untuk memuliakan satu kecerdasan (inteligensia) sambil menghinakan kecerdasan-kecerdasan lain yang sejatinya juga berhak mendapat tempat. Padahal, teori “kecerdasan majemuk”-nya Gardner jauh-jauh hari sudah mewanti-wantinya. Pula, kecenderungan mengunggulkan salah satu program studi (yang dianggap “ramah pasar”) sembari menomorsekiankan yang lain. Akibatnya: pelbagai program studi humaniora yang dianggap tidak “peka pasar” selalu dimangkirkan.
Kian pudarnya keberaksaraan dan menguatnya kembali kelisanan tentu saja musibah yang harus segera dicari antidotnya. Salah satunya, meninjau lagi arah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sebab, selain merupakan jalan paling praktis untuk meretas budaya keberaksaraan, kesusastraan sejatinya juga wahana ideal bagi persemaian karakter. Apalagi, seperti kita ketahui, pendidikan karakter mustahil “diajarkan” dalam sebuah mata pelajaran tertentu. Ia harus diinkorporasikan dalam seluruh proses pendidikan–termasuk lewat jalan sastra, jalan aksara.
*) Kerani di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Raden Intan.
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, November 2009
Tebal : xxiv + 182 halaman
Peresensi : Damanhuri
http://www.lampungpost.com/
KEBANGKITAN setiap bangsa selalu bermula dari kerja wacana; beranjak dari aksara. Tonggak kebangkitan nasional di Indonesia pun sesungguhnya bermula dari kerja wacana yang berlangsung melalui kelompok studi, tulisan jurnalistik, juga karya sastra.
Maka, bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan ketika tahun 1924 Bung Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia, dia pula penggagas dan pengelola utama jurnal Indonesia Merdeka, sembari tak lupa menulis puisi-puisi patriotik. Saat Bung Karno mendirikan Algemene Studieclub, dia pula yang menggagas dan merawat keberlangsungan jurnal Indonesia Moeda, sambil tak alpa aktif sebagai editor majalah Syarikat Islam (SI): Bandera Islam (1924–1927). Pun Sjahrir yang banyak berkiprah dalam mengelola jurnal Daulat Rakyat saat aktif di Perhimpunan Indonesia bersama Bung Hatta.
Rekaman sejarah yang kerap kita lupakan itulah yang coba diungkapkan ulang Yudi Latif dalam buku terbarunya ini. Ia mengajak kita menengok ulang jejak yang diterakan Bung Hatta-Bung Karno-Bung Sjahrir yang seolah-olah menegaskan, bahwa “tak ada bangsa yang dapat maju tanpa memuliakan keberaksaraan”.
Relevansi ajakan Yudi Latif terasa betul gaungnya ketika langgam hidup kita hari ini terus-menerus dilecut oleh arus utama budaya hedonistik, instant (mentalitas menerabas), dan segala anasir yang mendorong sebagian besar kita seolah jeri masuk ke kedalaman laku hidup asketis. Apalagi, proses peluruhan nilai-nilai asketisme itu juga bukan tidak terjadi di ranah akademik; dan telah berhasil meranggaskan tradisi keberaksaraan karena kerap dipandang sebelah mata sebagai aktivitas yang mustahil “memakmurkan” pelakunya.
(D)evolusi konsep kehormatan atau kemuliaan tampaknya memang tengah berlangsung di tengah sebagian (besar?) kaum cerdik-cendekia kita dan lambat-laun menyayupkan ajakan asketisme intelektual yang dulu diserukan mendiang Sartono Kartodirjo. Hasilnya: karena di tengah masyarakat akademik yang telah kehilangan asketisme intelektual tingkat kehormatan selalu diukur dengan hal-ihwal yang sepenuhnya ragawi belaka; maka jangan heran jika di negeri ini banyak akademisi yang nyambi jadi periset pesanan, penulis hantu, anggota tim sukses dalam perhelatan pilkada, dan segala aktivitas yang sesungguhnya hanya mengukuhkan dirinya sebagai—apa yang disebut Julien Benda “intelektual pengkhianat”.
Tapi, mari lupakan sejenak para cendekiawan yang mengkhianati khitah kecendekiawanannya itu. Kita kembali meneroka ulang pentingnya tradisi literasi dalam meletakkan batu-bata perdaban.
Dengan menyigi sumber yang begitu beragam, Yudi Latif menyodorkan ulang lima perkara yang mengalasi pentingnya keberaksaraan (literasi): pertama, tradisi tulis merupakan sarana olah ketepatan dan kekuatan yang berbeda dengan tradisi (ke)lisan(an) yang dianggap “longgar dan liar”; kedua, keberaksaraan merupakan standar keberadaban; ketiga, keberaksaraan adalah organ kemajuan sosial; keempat, keberaksaraan tidak lain merupakan instrumen budaya dan perkembangan saintifik; kelima, keberaksaraan merupakan instrumen perkembangan kognitif.
Sayang, tradisi keberaksaraan dan keluasan erudisi intelektual manusia Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Tradisi tersebut betul-betul tengah mengalami peluruhan luar biasa dengan dua ancaman terpentingnya berupa “vokasionalisme baru” (new vocationalism) dan multimedia, khususnya televisi.
Vokasionalisme baru adalah suatu konsepsi utilitarian dari institusi-institusi pendidikan yang hanya memberhalakan keterampilan teknis dan akhirnya cuma menghasilkan–apa yang disebut Frank Furedi–the cult of philistinism: kultus atau pemujaan berlebihan pada “budaya kedangkalan” akibat pemuliaan ekstrem pada interes-interes yang melulu material dan praktis. Institusi pendidikan mengalami penurunan gairah intelektual akibat terlalu dominannya etos manajerialisme dan instrumentalisme: suatu etos yang menghargai segala hal sejauh bisa melayani preferensi-preferensi praktis-ekonomis.
Di titik ekstrem lain, televisi—dengan pelbagai tayangan acaranya yang kebanyakan hanya menangkarkan kebanalan itu –sesungguhnya hanya menghidupkan kembali tradisi kelisanan; mendorong berkecambahnya lagi kebiasaan ngobrol dan kemalasan berpikir; serta melemahkan fungsi-fungsi keberaksaraan yang sesungguhnya belum lagi tumbuh dengan baik di negeri ini.
Konsepsi utilitarian kian tumbuh karena sejatinya segendang sepenarian dengan kecenderungan pendidikan kita untuk memuliakan satu kecerdasan (inteligensia) sambil menghinakan kecerdasan-kecerdasan lain yang sejatinya juga berhak mendapat tempat. Padahal, teori “kecerdasan majemuk”-nya Gardner jauh-jauh hari sudah mewanti-wantinya. Pula, kecenderungan mengunggulkan salah satu program studi (yang dianggap “ramah pasar”) sembari menomorsekiankan yang lain. Akibatnya: pelbagai program studi humaniora yang dianggap tidak “peka pasar” selalu dimangkirkan.
Kian pudarnya keberaksaraan dan menguatnya kembali kelisanan tentu saja musibah yang harus segera dicari antidotnya. Salah satunya, meninjau lagi arah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sebab, selain merupakan jalan paling praktis untuk meretas budaya keberaksaraan, kesusastraan sejatinya juga wahana ideal bagi persemaian karakter. Apalagi, seperti kita ketahui, pendidikan karakter mustahil “diajarkan” dalam sebuah mata pelajaran tertentu. Ia harus diinkorporasikan dalam seluruh proses pendidikan–termasuk lewat jalan sastra, jalan aksara.
*) Kerani di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Raden Intan.
Punakawan, Musuh, dan Moralitas Politik dalam “Perang”-nya Putu Wijaya
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Politik memiliki manifestasi nilai di dalam jalan cerita. Seperti yang akan kami bahas di dalam tulisan ini, adalah mengenai isu politik di dalam novel Perang (2002) karya Putu Wijaya (PW). Melalui tulisan ini, kami tidak bermaksud mengetengahkan penjabaran yang panjang lebar, akantetapi hanya gambaran sekilas mengenai manifestasi nilai politik di dalam bangunan karya sastra. Novel Perang memiliki nuansa politis yang terbangun di alur ceritanya. Hal ini bisa dilihat dari garis besar cerita yang menggambarkan mengenai perseteruan dua kerajaan besar Astina dan Amarta.
Menilik penggambaran cerita, maka dapat dikatakan wajar-wajar saja dan memang politik harus ada di dalamnya mengingat bahwa novel Perang sebagai cerita mengenai tata pemerintahan sebuah negara. Novel ini membangun cerita politik yang lugas dan cair, mengingat bahwa hakekat sastra bukan semata-mata penulisan sejarah yang murni dan dokumen sejarah belaka. Kehidupan realitas yang termanifestasikan ke dalamnya bergelok di dalam simbol pewayangan yang notabene mengkisahkan kehidupan manusia pada umumnya.
Perang menunjukkan bahwa di dalam khasanah perpolitikan, masing-masing faham politik berupaya untuk mengabarkan mengenai keburukan dari lawan politik mereka, yang kemudian disertai dengan sikap untuk mengagungkan faham politik yang mereka anut. Akantetapi, PW memberikan statement yang jelas, dan memberikan masukan kepada publik pembaca kalau politik tidak semata-mata adegan omong kosong yang dipenuhi dengan sandiwara dan tipu daya. Politik juga tidak semata-mata mengenai urusan bagaimana menjatuhkan orang yang berada di luar dirinya, namun politik juga memiliki nilai moral. PW memasukkan pesan moral sebagai (yang juga merupakan) media pendidikan politik melalui karya agar masyarakat pembaca sastra tidak selalu antipati dengan isu-isu politik.
Pesan moral yang disuratkan PW, disampaikan melalui jalan cerita, dialog antar tokoh. Misalnya, percakapan antara Semar dengan Bagong mengenai musuh manusia: “… Tadi kamu bertanya padaku, siapa sebenarnya musuh kita ini. Jawabannya gampang tapi sukar. Musuh kita adalah diri kita sendiri. … Lawan musuh-mush dalam dirimu sendiri itu. Nanti akan jelas, nanti dengan sendirinya dia akan memberikan penjelasan. Itu lah jawabanku…” (Perang, 2002: 37).
Jawaban Semar atas pertanyaan Bagong, tentang siapa sebenarnya musuh manusia ketika tokoh Bagong ini melihat polemik antara Pandawa dan Korawa yang tidak berkesudahan menimbulkan pemikiran-pemikiran baru. Seperti halnya manusia di kehidupan sehari-hari, Bagong pun menyampaikan jawaban Semar kepada saudaranya dengan ditambahi bumbu, tidak murni seperti apa yang Semar ungkapkan sebelumnya.
Mendengar kata-kata Bagong dari Semar, informasi yang sudah dibumbui tersebut, Gareng memiliki persepsi dan argumen sendiri. Gareng, di dalam perkembangan cerita, menganggap bahwa musuh manusia bukan diri sendiri, akantetapi adalah kekuasaan. Gareng mengungkapkan dengan dibarengi dengan pemahaman lebih dalam yang mencetuskan bahwa musuh manusia adalah kekuasaan yang merusak. Kekuasaan yang merusak, di dalam cerita pewayangan dan novel ini, langsung menunjuk ke pihak Korawa sebagai wakil dari kejahatan, kebejatan moral, politisi busuk, dan lain sebagainya, yang berurusan dengan ketidak-benaran.
PW memberikan penjelasan mengenai kekuasaan yang merusak, yaitu kekuasaan (seperti pihak Korawa) yang melakukan penindasan terhadap rakyatnya. Kekuasaan seperti ini, menurut PW, harus dilawan, yang tidak hanya sebatas pada hasil kekuasaan namun menentang kekuasaan yang merusak secara langsung. PW dalam novel Perang memberikan contoh yang nyata dari hegemoni kekuasaan melalui bahasa, yang merupakan sarana penindasan. Aspek-aspek kekuasaan yang memberikan peluang untuk melakukan penindasan harus dilawan. Darisana, diketahui bahwa musuh terbesar manusia bukan hanya Korawa, namun semua orang yang dengan kekuasaannya menindas orang lemah yang tidak memiliki kekuasaan, lihat novel Perang halaman 85.
Pembicaraan antara Bagong dan Semar dalam obrolan ringan menjadi hal yang menarik dalam pokok bahasan kekuasaan negara dan penindasan yang dilakukan oleh negara itu. Pertanyaan mengenai siapa sebenarnya musuh manusia, berlanjut ke masalah politik yang nyata dan terjadi di luar karya sastra. Kekuasaan negara pada dasarnya bukan kekuasaan mutlak sebab di dalam kekuasaan negara itu teremban amanat untuk melakukan gerakan yang melindungi rakyatnya, bukan menindas rakyat. Oleh karena itu, kami mengambil definisi kekuasaan yang diketengahkan oleh Wiratmo Soekita yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah adalah persekutuan antara pemerintah dengan rakyatnya. Istilah persekutuan memberikan penjelasan bahwa kekuasaan itu harus menguntungkan kedua belah pihak bukan hanya satu pihak saja. Kekuasaan bukan hubungan antara penindas dan yang ditindas.
Melalui cerita ini, salah satu hal yang ingin diungkapkan PW melalui novel Perang ingin mengajak masyarakat pembaca untuk ikut andail dalam kegiatan berpolitik. Menjadi rakyat yang sebenarnya, apabila ada pemimpin yang salah, rakyat diharapkan mau mengingatkan, sebab dalam khasanah negara demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan negara. Kekuasaan yang merusak (adalah penindasan) harus dihancurkan demi tegaknya kemanusiaan dan terlaksananya moral politik sebuah bangsa yang beradap, berkeadilan sosial, dan berketuhanan yang maha esa.
Akantetapi, PW pun menyadari bahwa hal ini menjadi suatu gerakan yang berat dan terlampau menanggung resiko yang besar. Kita bisa melihat sendiri, dalam sejarah bangsa Indonesia, bagaimana para sastrawan dan anggota masyarakat yang melakukan kritik terhadap kesewenangan negara mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi. Sebagai seorang sastrawan besar, PW, menyadari akan hal ini, yang melalui tokohnya mengatakan:
“Ternyata melawan kekuasaan itu tidak enak. Sakit, lebih baik aku berkawan saja dengan kekuasaan …” (Perang, 2002: 110).
Bantul, 2010
PJ Semangat Desa Sejahtera
http://www.sastra-indonesia.com/
Politik memiliki manifestasi nilai di dalam jalan cerita. Seperti yang akan kami bahas di dalam tulisan ini, adalah mengenai isu politik di dalam novel Perang (2002) karya Putu Wijaya (PW). Melalui tulisan ini, kami tidak bermaksud mengetengahkan penjabaran yang panjang lebar, akantetapi hanya gambaran sekilas mengenai manifestasi nilai politik di dalam bangunan karya sastra. Novel Perang memiliki nuansa politis yang terbangun di alur ceritanya. Hal ini bisa dilihat dari garis besar cerita yang menggambarkan mengenai perseteruan dua kerajaan besar Astina dan Amarta.
Menilik penggambaran cerita, maka dapat dikatakan wajar-wajar saja dan memang politik harus ada di dalamnya mengingat bahwa novel Perang sebagai cerita mengenai tata pemerintahan sebuah negara. Novel ini membangun cerita politik yang lugas dan cair, mengingat bahwa hakekat sastra bukan semata-mata penulisan sejarah yang murni dan dokumen sejarah belaka. Kehidupan realitas yang termanifestasikan ke dalamnya bergelok di dalam simbol pewayangan yang notabene mengkisahkan kehidupan manusia pada umumnya.
Perang menunjukkan bahwa di dalam khasanah perpolitikan, masing-masing faham politik berupaya untuk mengabarkan mengenai keburukan dari lawan politik mereka, yang kemudian disertai dengan sikap untuk mengagungkan faham politik yang mereka anut. Akantetapi, PW memberikan statement yang jelas, dan memberikan masukan kepada publik pembaca kalau politik tidak semata-mata adegan omong kosong yang dipenuhi dengan sandiwara dan tipu daya. Politik juga tidak semata-mata mengenai urusan bagaimana menjatuhkan orang yang berada di luar dirinya, namun politik juga memiliki nilai moral. PW memasukkan pesan moral sebagai (yang juga merupakan) media pendidikan politik melalui karya agar masyarakat pembaca sastra tidak selalu antipati dengan isu-isu politik.
Pesan moral yang disuratkan PW, disampaikan melalui jalan cerita, dialog antar tokoh. Misalnya, percakapan antara Semar dengan Bagong mengenai musuh manusia: “… Tadi kamu bertanya padaku, siapa sebenarnya musuh kita ini. Jawabannya gampang tapi sukar. Musuh kita adalah diri kita sendiri. … Lawan musuh-mush dalam dirimu sendiri itu. Nanti akan jelas, nanti dengan sendirinya dia akan memberikan penjelasan. Itu lah jawabanku…” (Perang, 2002: 37).
Jawaban Semar atas pertanyaan Bagong, tentang siapa sebenarnya musuh manusia ketika tokoh Bagong ini melihat polemik antara Pandawa dan Korawa yang tidak berkesudahan menimbulkan pemikiran-pemikiran baru. Seperti halnya manusia di kehidupan sehari-hari, Bagong pun menyampaikan jawaban Semar kepada saudaranya dengan ditambahi bumbu, tidak murni seperti apa yang Semar ungkapkan sebelumnya.
Mendengar kata-kata Bagong dari Semar, informasi yang sudah dibumbui tersebut, Gareng memiliki persepsi dan argumen sendiri. Gareng, di dalam perkembangan cerita, menganggap bahwa musuh manusia bukan diri sendiri, akantetapi adalah kekuasaan. Gareng mengungkapkan dengan dibarengi dengan pemahaman lebih dalam yang mencetuskan bahwa musuh manusia adalah kekuasaan yang merusak. Kekuasaan yang merusak, di dalam cerita pewayangan dan novel ini, langsung menunjuk ke pihak Korawa sebagai wakil dari kejahatan, kebejatan moral, politisi busuk, dan lain sebagainya, yang berurusan dengan ketidak-benaran.
PW memberikan penjelasan mengenai kekuasaan yang merusak, yaitu kekuasaan (seperti pihak Korawa) yang melakukan penindasan terhadap rakyatnya. Kekuasaan seperti ini, menurut PW, harus dilawan, yang tidak hanya sebatas pada hasil kekuasaan namun menentang kekuasaan yang merusak secara langsung. PW dalam novel Perang memberikan contoh yang nyata dari hegemoni kekuasaan melalui bahasa, yang merupakan sarana penindasan. Aspek-aspek kekuasaan yang memberikan peluang untuk melakukan penindasan harus dilawan. Darisana, diketahui bahwa musuh terbesar manusia bukan hanya Korawa, namun semua orang yang dengan kekuasaannya menindas orang lemah yang tidak memiliki kekuasaan, lihat novel Perang halaman 85.
Pembicaraan antara Bagong dan Semar dalam obrolan ringan menjadi hal yang menarik dalam pokok bahasan kekuasaan negara dan penindasan yang dilakukan oleh negara itu. Pertanyaan mengenai siapa sebenarnya musuh manusia, berlanjut ke masalah politik yang nyata dan terjadi di luar karya sastra. Kekuasaan negara pada dasarnya bukan kekuasaan mutlak sebab di dalam kekuasaan negara itu teremban amanat untuk melakukan gerakan yang melindungi rakyatnya, bukan menindas rakyat. Oleh karena itu, kami mengambil definisi kekuasaan yang diketengahkan oleh Wiratmo Soekita yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah adalah persekutuan antara pemerintah dengan rakyatnya. Istilah persekutuan memberikan penjelasan bahwa kekuasaan itu harus menguntungkan kedua belah pihak bukan hanya satu pihak saja. Kekuasaan bukan hubungan antara penindas dan yang ditindas.
Melalui cerita ini, salah satu hal yang ingin diungkapkan PW melalui novel Perang ingin mengajak masyarakat pembaca untuk ikut andail dalam kegiatan berpolitik. Menjadi rakyat yang sebenarnya, apabila ada pemimpin yang salah, rakyat diharapkan mau mengingatkan, sebab dalam khasanah negara demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan negara. Kekuasaan yang merusak (adalah penindasan) harus dihancurkan demi tegaknya kemanusiaan dan terlaksananya moral politik sebuah bangsa yang beradap, berkeadilan sosial, dan berketuhanan yang maha esa.
Akantetapi, PW pun menyadari bahwa hal ini menjadi suatu gerakan yang berat dan terlampau menanggung resiko yang besar. Kita bisa melihat sendiri, dalam sejarah bangsa Indonesia, bagaimana para sastrawan dan anggota masyarakat yang melakukan kritik terhadap kesewenangan negara mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi. Sebagai seorang sastrawan besar, PW, menyadari akan hal ini, yang melalui tokohnya mengatakan:
“Ternyata melawan kekuasaan itu tidak enak. Sakit, lebih baik aku berkawan saja dengan kekuasaan …” (Perang, 2002: 110).
Bantul, 2010
PJ Semangat Desa Sejahtera
Teror(isme) Negara dalam Novel Indonesia
Aprinus Salam
http://www.jawapos.co.id/
TERORISME kini menjadi salah satu ancaman besar bagi kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Beberapa peristiwa teror bom yang menikam jantung Indonesia sejak bom Bali menjadikan agenda Detasemen 88 Mabes Polri sebagai perhatian penting pemerintah, media, dan tentu saja masyarakat.
Teror yang dipahami Indonesia seiring dengan peristiwa tadi terfokus pada segala yang berkaitan dengan Islam dan kelompok-kelompok militan garis kerasnya. Teror itu disebut sebagai ideological terrorism, yakni terorisme yang mendasarkan aksinya pada prinsip-prinsip ideologi. Biasanya teror tersebut diikuti pula dengan keinginan untuk memisahkan diri (gerakan separatis), mengacaukan ketertiban masyarakat, atau membangun pemerintahan sendiri. Teror itu disebut nationalistic terrorism. Kedua jenis teror tersebut menjadi pusat perhatian dan menutupi kemungkinan teror-teror lain yang muncul dan menjalankan aksinya dengan ”tenang dan damai”.
Teror-teror lain yang terabaikan sangat banyak dan yang paling tidak kentara tetapi sangat merajalela adalah teror dari negara sendiri kepada masyarakatnya. Teror itu bisa dilakukan secara langsung ataupun tidak. Tidak langsung dimaksudkan untuk mengategorikan tindakan negara dalam mendukung aksi terorisme kelompok tertentu. Sayang sekali, seringkali aksi teror yang dilakukan negara tidak disebut teror. Tindakan itu dianggap sebagai tindakan yang dimaksud untuk menjamin ketaatan rakyat.
Teror negara bisa berbentuk kebijakan-kebijakan, peraturan, dan keputusan yang berkaitan dengan segala macam aspek kehidupan rakyatnya; pengabaian negara terhadap tindak-tindak pelanggaran hukum ataupun kriminal dari pihak-pihak tertentu; pengendalian wacana secara sepihak; monopoli ekonomi oleh pemilik kapital yang bekerja sama dengan negara; dan jenis teror-teror yang lebih konkret seperti kekerasan dari aparat negara seperti militer dan polisi, mafia kasus oleh aparat hukum, dan korupsi pejabat pemerintahan.
Teror seperti itu tidak disadari sebagai sebuah teror. Memang, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kondisi itu kerap menjadi pembicaraan luas di masyarakat, tetapi tidak cukup dipahami bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap berbagai ketimpangan tersebut. Kenyataannya, negara dalam beberapa hal justru memanfaatkan situasi itu. Masyarakat tidak menemukan benang penghubung yang jelas antara tindak teror di satu ujung dan keberadaan negara di ujung lain. Kerugian dan keresahan sebagai ekses peristiwa-peristiwa tersebut dan ketidaktahuan rakyat bisa dianggap sebagai keberhasilan negara dalam ”meneror” demi kekuasaan.
***
Situasi itu dengan gamblang justru ditelanjangi beberapa novel Indonesia, terutama yang terbit pada masa reformasi dan sesudahnya. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam hampir seluruh sistem kenegaraan dan pemerintahan, yang juga menjadi perubahan bagi kehidupan masyarakat yang selama ini diatur olehnya. Ketika perilaku represif pemerintah (militer) melemah, bahkan diupayakan untuk hilang sama sekali (khususnya dalam dunia kesusastraan), karya sastra menemukan fungsi hakikinya kembali. Karya sastra bebas menyuarakan apa pun. Berbagai wacana, baik yang bertentangan maupun saling mendukung, hadir dalam karya sastra. Demikian pula wacana teror negara.
Dalam novel Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami, wacana teror begitu mendominasi. Teror datang dari siapa saja dan dengan maksud yang berbeda-beda. Akan tetapi, sasaran teror mereka selalu rakyat kebanyakan. Teror datang dari militer yang mewakili negara, perusahaan-perusahaan besar, pejabat-pejabat dan institusinya, praktik korupsi, perselingkuhan, perzinahan, dan dalam bentuk penculikan, pembakaran, pemfitnahan, penghasutan, bahkan pembunuhan.
Teror dalam novel ini tidak terpusat pada satu pihak, walaupun secara tersirat ada semacam keberpihakan penulis kepada rakyat kecil dan menyudutkan negara serta para pemilik modal. Jadi, samar-samar, di antara sekian banyak teror yang diwacanakan, teror dari negara kepada rakyatnya (state terrorism) tampak lebih dominan. Kekejaman militer mewakili kekejaman negara, pembakaran desa oleh pengusaha adalah atas izin dan kerja sama dengan negara, praktik korupsi dan pemfitnahan dilakukan pejabat-pejabat negara, dan negara juga bertanggung jawab terhadap pembunuhan-pembunuhan aktivis.
Begitu pula dalam novel Epigram (2006) karya Jamal. Melalui militer, negara mengatur nyaris total kehidupan pendidikan di Indonesia. Mereka berkoordinasi dengan petinggi-petinggi pendidikan untuk membuat kurikulum, menciptakan peraturan-peraturan di kampus, menangkap aktivis diam-diam, dan mekanisme itu membuat banyak aktivis terdeportasi ke luar negeri dan sulit kembali ke Indonesia. Itu merupakan salah satu teror negara paling nyata dalam dunia pendidikan.
Teror juga bisa berbentuk ketidakadilan perlakuan terhadap rakyat di Indonesia. Novel seperti Laskar Pelangi secara tersirat namun dominan memaparkan ketimpangan sosial yang terjadi antara orang-orang pribumi dan pendatang yang menguasai kapital. Perbedaan itu tampak dalam banyak aspek, seperti sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Dengan tidak memberikan solusi apa pun bahkan seperti tidak menyadari kondisi itu, negara telah mendukung kapitalis-kapitalis merongrong dan mengeruk apa-apa yang mungkin bukan hak mereka. Dengan mendukung perampokan tersebut, negara telah meneror rakyatnya sendiri. Ketidakadilan sebagai teror negara juga tampak dalam novel-novel yang kental nuansa etnis seperti novel-novel Remy Sylado, yang mengangkat dan memperjuangkan banyak hak etnis Tionghoa di Indonesia.
Apa yang dipaparkan dalam beberapa contoh novel di atas mewakili gejala di beberapa novel lain yang terbit dalam kurun waktu bersamaan. Wacana teror yang diangkat lebih bervariasi dan lebih dekat dengan realitas dalam masyarakat Indonesia. Realitas yang tidak terwacanakan secara sempurna dalam media-media lain ataupun wacana-wacana formal dari negara.
Hal itu disebabkan hegemoni negara begitu kuat, termasuk dalam mewacanakan apa itu teror. Kemudian, kondisi tersebut didukung aksi teror dari gerakan radikal dan separatis yang mungkin terlebih dahulu kecewa dan dirugikan teror-teror negara terhadap mereka. Jadi, pengertian teror kemudian dilokalisasikan hanya untuk menyebut tindakan gerakan itu. Perhatian masyarakat dipusatkan kepada mereka sehingga luput terhadap teror lain. Novel-novel mencoba mengingatnya kembali, memaparkan bahwa ada teror lain, yang subur dan terlestarikan tanpa disadari, yakni teror(isme) negara.
Akan tetapi, satu ganjalan besar masih terlihat di tengah keberhasilan dan keberagaman novel pasca-Orde Baru merepresentasikan teror, yakni novel pada pasca-Orde Baru juga masih mewacanakan teror atau negara di masa lalu (terutama negara Orde Baru). Kenyataan itu mengindikasikan kemungkinan bahwa negara pada masa sekarang masih merepresi novel-novel sehingga wacana kekinian tentang negara dan teror-terornya tidak terepresentasi dengan maksimal. Artinya, saat ini negara telah berhasil meneror sastrawan. (*)
*) Peneliti sastra dan kebudayaan UGM Jogakarta.
http://www.jawapos.co.id/
TERORISME kini menjadi salah satu ancaman besar bagi kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Beberapa peristiwa teror bom yang menikam jantung Indonesia sejak bom Bali menjadikan agenda Detasemen 88 Mabes Polri sebagai perhatian penting pemerintah, media, dan tentu saja masyarakat.
Teror yang dipahami Indonesia seiring dengan peristiwa tadi terfokus pada segala yang berkaitan dengan Islam dan kelompok-kelompok militan garis kerasnya. Teror itu disebut sebagai ideological terrorism, yakni terorisme yang mendasarkan aksinya pada prinsip-prinsip ideologi. Biasanya teror tersebut diikuti pula dengan keinginan untuk memisahkan diri (gerakan separatis), mengacaukan ketertiban masyarakat, atau membangun pemerintahan sendiri. Teror itu disebut nationalistic terrorism. Kedua jenis teror tersebut menjadi pusat perhatian dan menutupi kemungkinan teror-teror lain yang muncul dan menjalankan aksinya dengan ”tenang dan damai”.
Teror-teror lain yang terabaikan sangat banyak dan yang paling tidak kentara tetapi sangat merajalela adalah teror dari negara sendiri kepada masyarakatnya. Teror itu bisa dilakukan secara langsung ataupun tidak. Tidak langsung dimaksudkan untuk mengategorikan tindakan negara dalam mendukung aksi terorisme kelompok tertentu. Sayang sekali, seringkali aksi teror yang dilakukan negara tidak disebut teror. Tindakan itu dianggap sebagai tindakan yang dimaksud untuk menjamin ketaatan rakyat.
Teror negara bisa berbentuk kebijakan-kebijakan, peraturan, dan keputusan yang berkaitan dengan segala macam aspek kehidupan rakyatnya; pengabaian negara terhadap tindak-tindak pelanggaran hukum ataupun kriminal dari pihak-pihak tertentu; pengendalian wacana secara sepihak; monopoli ekonomi oleh pemilik kapital yang bekerja sama dengan negara; dan jenis teror-teror yang lebih konkret seperti kekerasan dari aparat negara seperti militer dan polisi, mafia kasus oleh aparat hukum, dan korupsi pejabat pemerintahan.
Teror seperti itu tidak disadari sebagai sebuah teror. Memang, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kondisi itu kerap menjadi pembicaraan luas di masyarakat, tetapi tidak cukup dipahami bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap berbagai ketimpangan tersebut. Kenyataannya, negara dalam beberapa hal justru memanfaatkan situasi itu. Masyarakat tidak menemukan benang penghubung yang jelas antara tindak teror di satu ujung dan keberadaan negara di ujung lain. Kerugian dan keresahan sebagai ekses peristiwa-peristiwa tersebut dan ketidaktahuan rakyat bisa dianggap sebagai keberhasilan negara dalam ”meneror” demi kekuasaan.
***
Situasi itu dengan gamblang justru ditelanjangi beberapa novel Indonesia, terutama yang terbit pada masa reformasi dan sesudahnya. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam hampir seluruh sistem kenegaraan dan pemerintahan, yang juga menjadi perubahan bagi kehidupan masyarakat yang selama ini diatur olehnya. Ketika perilaku represif pemerintah (militer) melemah, bahkan diupayakan untuk hilang sama sekali (khususnya dalam dunia kesusastraan), karya sastra menemukan fungsi hakikinya kembali. Karya sastra bebas menyuarakan apa pun. Berbagai wacana, baik yang bertentangan maupun saling mendukung, hadir dalam karya sastra. Demikian pula wacana teror negara.
Dalam novel Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami, wacana teror begitu mendominasi. Teror datang dari siapa saja dan dengan maksud yang berbeda-beda. Akan tetapi, sasaran teror mereka selalu rakyat kebanyakan. Teror datang dari militer yang mewakili negara, perusahaan-perusahaan besar, pejabat-pejabat dan institusinya, praktik korupsi, perselingkuhan, perzinahan, dan dalam bentuk penculikan, pembakaran, pemfitnahan, penghasutan, bahkan pembunuhan.
Teror dalam novel ini tidak terpusat pada satu pihak, walaupun secara tersirat ada semacam keberpihakan penulis kepada rakyat kecil dan menyudutkan negara serta para pemilik modal. Jadi, samar-samar, di antara sekian banyak teror yang diwacanakan, teror dari negara kepada rakyatnya (state terrorism) tampak lebih dominan. Kekejaman militer mewakili kekejaman negara, pembakaran desa oleh pengusaha adalah atas izin dan kerja sama dengan negara, praktik korupsi dan pemfitnahan dilakukan pejabat-pejabat negara, dan negara juga bertanggung jawab terhadap pembunuhan-pembunuhan aktivis.
Begitu pula dalam novel Epigram (2006) karya Jamal. Melalui militer, negara mengatur nyaris total kehidupan pendidikan di Indonesia. Mereka berkoordinasi dengan petinggi-petinggi pendidikan untuk membuat kurikulum, menciptakan peraturan-peraturan di kampus, menangkap aktivis diam-diam, dan mekanisme itu membuat banyak aktivis terdeportasi ke luar negeri dan sulit kembali ke Indonesia. Itu merupakan salah satu teror negara paling nyata dalam dunia pendidikan.
Teror juga bisa berbentuk ketidakadilan perlakuan terhadap rakyat di Indonesia. Novel seperti Laskar Pelangi secara tersirat namun dominan memaparkan ketimpangan sosial yang terjadi antara orang-orang pribumi dan pendatang yang menguasai kapital. Perbedaan itu tampak dalam banyak aspek, seperti sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Dengan tidak memberikan solusi apa pun bahkan seperti tidak menyadari kondisi itu, negara telah mendukung kapitalis-kapitalis merongrong dan mengeruk apa-apa yang mungkin bukan hak mereka. Dengan mendukung perampokan tersebut, negara telah meneror rakyatnya sendiri. Ketidakadilan sebagai teror negara juga tampak dalam novel-novel yang kental nuansa etnis seperti novel-novel Remy Sylado, yang mengangkat dan memperjuangkan banyak hak etnis Tionghoa di Indonesia.
Apa yang dipaparkan dalam beberapa contoh novel di atas mewakili gejala di beberapa novel lain yang terbit dalam kurun waktu bersamaan. Wacana teror yang diangkat lebih bervariasi dan lebih dekat dengan realitas dalam masyarakat Indonesia. Realitas yang tidak terwacanakan secara sempurna dalam media-media lain ataupun wacana-wacana formal dari negara.
Hal itu disebabkan hegemoni negara begitu kuat, termasuk dalam mewacanakan apa itu teror. Kemudian, kondisi tersebut didukung aksi teror dari gerakan radikal dan separatis yang mungkin terlebih dahulu kecewa dan dirugikan teror-teror negara terhadap mereka. Jadi, pengertian teror kemudian dilokalisasikan hanya untuk menyebut tindakan gerakan itu. Perhatian masyarakat dipusatkan kepada mereka sehingga luput terhadap teror lain. Novel-novel mencoba mengingatnya kembali, memaparkan bahwa ada teror lain, yang subur dan terlestarikan tanpa disadari, yakni teror(isme) negara.
Akan tetapi, satu ganjalan besar masih terlihat di tengah keberhasilan dan keberagaman novel pasca-Orde Baru merepresentasikan teror, yakni novel pada pasca-Orde Baru juga masih mewacanakan teror atau negara di masa lalu (terutama negara Orde Baru). Kenyataan itu mengindikasikan kemungkinan bahwa negara pada masa sekarang masih merepresi novel-novel sehingga wacana kekinian tentang negara dan teror-terornya tidak terepresentasi dengan maksimal. Artinya, saat ini negara telah berhasil meneror sastrawan. (*)
*) Peneliti sastra dan kebudayaan UGM Jogakarta.
Menyimak Lokalitas di Riau
Judul buku : Nyanyian Kemarau
Penulis : Hary B. Kori’un
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : November 2009
Halaman : x+248 hlm.
Peresensi : Arman AZ
http://www.lampungpost.com/
MENYIMAK sisik melik lokalitas suatu daerah di Indonesia lewat sudut pandang sastra (cerpen, puisi, novel) tetap jadi ihwal menarik untuk dinikmati. Apa yang mungkin lumrah kita temukan dalam tulisan atau informasi jurnalistik, menjadi berbeda ketika dibaca dalam teks sastra. Selain memasuki wilayah imajiner (fiksi), bisa jadi kita pun akan memergoki sejumlah rekonstruksi fakta yang mungkin sebelumnya tak diketahui pembaca di daerah lain.
Beberapa tahun belakangan, novel Indonesia dipenuhi tema-tema lokalitas, semisal Jawa, Papua, Flores, Batak, dan beberapa daerah lainnya. Akhir tahun silam, bertambah lagi novel bertema serupa. Kali ini dari Negeri Lancang Kuning, Riau. Adalah sastrawan Hary B. Kori’un yang menerbitkan novel anyarnya bertajuk Nyanyian Kemarau.
Novel ini dibuka dengan prolog berupa narasi Sari, wanita keturunan China yang dalam usia muda sudah memiliki posisi strategis di sejumlah perusahaan. Dia sudah tiga tahun berdomisili di Riau. Sebelumnya dia lebih banyak di Jakarta dan kota lain untuk mengurus perusahaan milik bapaknya. Sari kehilangan Rusdi, lelaki perantau dari Riau yang pernah membuat hatinya luluh. Dia menemukan sosok pribadi yang berbeda dalam diri Rusdi, wartawan muda yang masih memiliki idealisme. Relasi personal antara Sari dan Rusdi jadi pemantik untuk mengetahui kisah selanjutnya.
Kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan membuat Rusdi memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Di sana dia menjadi wartawan koran lokal. Idealisme membuatnya terlibat jauh dalam mengungkap bisnis pembalakan liar. Dalam pelarian dari lokasi kerusuhan, Rusdi diselamatkan Aida, dokter yang mengabdi di pedalaman Riau. Risiko fatal adalah ketika Rusdi mengalami kecelakaan bersama Aida. Mobil yang dikendarai Aida ditabrak truk dari depan. Aida cacat dan harus duduk di kursi roda. Terdorong rasa cinta dan ingin bertanggung jawab, Rusdi memutuskan menikahi Aida, apa pun kondisinya.
Kisah bertambah kompleks ketika Sari, wanita dari masa lalu Rusdi, melebarkan sayap bisnisnya di Riau. Salah satu tujuan rahasianya adalah mencari Rusdi. Kisah cinta segi tiga berlanjut dengan pertemuan Sari dan Aida atas sepengetahuan Rusdi. Naluri wartawan Rusdi membuatnya mencari tahu ada apa dibalik peristiwa kecelakaan yang dialaminya bersama Aida. Usut punya usut, ternyata kecelakaan itu adalah skenario untuk melenyapkan Rusdi. Aida yang cacat seumur hidup, kemudian meninggal, adalah korban tak sengaja dalam permainan penguasa dan pemilik modal.
Dalam novel ini banyak kita temui fakta-fakta sejarah buram di Indonesia, misalnya peristiwa kerusuhan berbau rasial di Jakarta dan sejumlah daerah menjelang runtuhnya Orde Baru, kejahatan terorganisasi di Jakarta menjelang runtuhnya Orde Baru itu yang melibatkan sejumlah pihak, kekerasan terhadap jurnalis, perlawanan masyarakat daerah (Riau) terhadap kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada kepentingan masyarakat setempat dan kearifan lokalnya yang sudah berlaku turun-temurun, pembalakan liar, kesehatan di daerah-daerah terpencil, juga ihwal-ihwal keberagaman (pluralisme). Sepintas novel ini jadi dijejali kompleksitas masalah dan dibebani banyak pesan moral.
Pembaca bisa berimajinasi tentang geografis Riau, plus problem sosial di sana yang mungkin luput terpublikasi ke level nasional. Misalnya, polemik antara warga adat dan perusahaan asing yang di-backing-i pemerintah menjelang pembangunan PLTA Koto Panjang. Walaupun PLTA telah berdiri, ternyata tak juga bisa mencukupi pasokan listrik Riau. Ada juga ihwal pembalakan liar (illegal logging) yang menyebabkan rusaknya hutan Riau dan berdampak negatif pada udara, permainan kotor yang melibatkan banyak pihak dalam pembalakan liar tersebut, dan beberapa lainnya. Fakta-fakta itu berkelindan atau jalin-menjalin dengan kisah cinta segitiga Rusdi, Sari, dan Aida.
Novel ini, yang mengungkit problem sosial politik di Riau, relasi masyarakat setempat atau rakyat kecil dengan penguasa, perusakan alam, dibumbui kisah cinta, sepintas mengingatkan pada cerpen-cerpen atau novel Korrie Layun Rampan yang berlatar Kalimantan. Hary B. Kori’un, bukan nama asing dalam ranah sastra Indonesia, terutama Riau. Karyanya kerap menghiasi media massa, pun acap meraih penghargaan dalam lomba penulisan sastra tingkat lokal maupun nasional. Novel Nyanyian Kemarau ini terasa sekali aroma jurnalistiknya, mirip seperti novelnya terdahulu (Nyanyian Batanghari) yang menggunakan lebih dari satu narator. Cukup beralasan mengingat latar belakang penulisnya sebagai wartawan. Bila novel ini dicetak ulang, tampaknya editor harus merevisi ulang beberapa kesalahan pengetikan yang kelihatan sepele tapi terasa mengganggu. Selain itu, desain kover belakang yang membuat sinopsis jadi sulit dibaca.
Semogalah apa yang telah ditempuh Hary lewat Nyanyian Kemarau ini, menerbitkan buku sastra dan mempublikasikannya secara nasional, bisa diikuti sastrawan-sastrawan muda Riau lainnya hingga ranah sastra Indonesia semakin semarak.
Arman AZ, sastrawan
Penulis : Hary B. Kori’un
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : November 2009
Halaman : x+248 hlm.
Peresensi : Arman AZ
http://www.lampungpost.com/
MENYIMAK sisik melik lokalitas suatu daerah di Indonesia lewat sudut pandang sastra (cerpen, puisi, novel) tetap jadi ihwal menarik untuk dinikmati. Apa yang mungkin lumrah kita temukan dalam tulisan atau informasi jurnalistik, menjadi berbeda ketika dibaca dalam teks sastra. Selain memasuki wilayah imajiner (fiksi), bisa jadi kita pun akan memergoki sejumlah rekonstruksi fakta yang mungkin sebelumnya tak diketahui pembaca di daerah lain.
Beberapa tahun belakangan, novel Indonesia dipenuhi tema-tema lokalitas, semisal Jawa, Papua, Flores, Batak, dan beberapa daerah lainnya. Akhir tahun silam, bertambah lagi novel bertema serupa. Kali ini dari Negeri Lancang Kuning, Riau. Adalah sastrawan Hary B. Kori’un yang menerbitkan novel anyarnya bertajuk Nyanyian Kemarau.
Novel ini dibuka dengan prolog berupa narasi Sari, wanita keturunan China yang dalam usia muda sudah memiliki posisi strategis di sejumlah perusahaan. Dia sudah tiga tahun berdomisili di Riau. Sebelumnya dia lebih banyak di Jakarta dan kota lain untuk mengurus perusahaan milik bapaknya. Sari kehilangan Rusdi, lelaki perantau dari Riau yang pernah membuat hatinya luluh. Dia menemukan sosok pribadi yang berbeda dalam diri Rusdi, wartawan muda yang masih memiliki idealisme. Relasi personal antara Sari dan Rusdi jadi pemantik untuk mengetahui kisah selanjutnya.
Kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan membuat Rusdi memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Di sana dia menjadi wartawan koran lokal. Idealisme membuatnya terlibat jauh dalam mengungkap bisnis pembalakan liar. Dalam pelarian dari lokasi kerusuhan, Rusdi diselamatkan Aida, dokter yang mengabdi di pedalaman Riau. Risiko fatal adalah ketika Rusdi mengalami kecelakaan bersama Aida. Mobil yang dikendarai Aida ditabrak truk dari depan. Aida cacat dan harus duduk di kursi roda. Terdorong rasa cinta dan ingin bertanggung jawab, Rusdi memutuskan menikahi Aida, apa pun kondisinya.
Kisah bertambah kompleks ketika Sari, wanita dari masa lalu Rusdi, melebarkan sayap bisnisnya di Riau. Salah satu tujuan rahasianya adalah mencari Rusdi. Kisah cinta segi tiga berlanjut dengan pertemuan Sari dan Aida atas sepengetahuan Rusdi. Naluri wartawan Rusdi membuatnya mencari tahu ada apa dibalik peristiwa kecelakaan yang dialaminya bersama Aida. Usut punya usut, ternyata kecelakaan itu adalah skenario untuk melenyapkan Rusdi. Aida yang cacat seumur hidup, kemudian meninggal, adalah korban tak sengaja dalam permainan penguasa dan pemilik modal.
Dalam novel ini banyak kita temui fakta-fakta sejarah buram di Indonesia, misalnya peristiwa kerusuhan berbau rasial di Jakarta dan sejumlah daerah menjelang runtuhnya Orde Baru, kejahatan terorganisasi di Jakarta menjelang runtuhnya Orde Baru itu yang melibatkan sejumlah pihak, kekerasan terhadap jurnalis, perlawanan masyarakat daerah (Riau) terhadap kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada kepentingan masyarakat setempat dan kearifan lokalnya yang sudah berlaku turun-temurun, pembalakan liar, kesehatan di daerah-daerah terpencil, juga ihwal-ihwal keberagaman (pluralisme). Sepintas novel ini jadi dijejali kompleksitas masalah dan dibebani banyak pesan moral.
Pembaca bisa berimajinasi tentang geografis Riau, plus problem sosial di sana yang mungkin luput terpublikasi ke level nasional. Misalnya, polemik antara warga adat dan perusahaan asing yang di-backing-i pemerintah menjelang pembangunan PLTA Koto Panjang. Walaupun PLTA telah berdiri, ternyata tak juga bisa mencukupi pasokan listrik Riau. Ada juga ihwal pembalakan liar (illegal logging) yang menyebabkan rusaknya hutan Riau dan berdampak negatif pada udara, permainan kotor yang melibatkan banyak pihak dalam pembalakan liar tersebut, dan beberapa lainnya. Fakta-fakta itu berkelindan atau jalin-menjalin dengan kisah cinta segitiga Rusdi, Sari, dan Aida.
Novel ini, yang mengungkit problem sosial politik di Riau, relasi masyarakat setempat atau rakyat kecil dengan penguasa, perusakan alam, dibumbui kisah cinta, sepintas mengingatkan pada cerpen-cerpen atau novel Korrie Layun Rampan yang berlatar Kalimantan. Hary B. Kori’un, bukan nama asing dalam ranah sastra Indonesia, terutama Riau. Karyanya kerap menghiasi media massa, pun acap meraih penghargaan dalam lomba penulisan sastra tingkat lokal maupun nasional. Novel Nyanyian Kemarau ini terasa sekali aroma jurnalistiknya, mirip seperti novelnya terdahulu (Nyanyian Batanghari) yang menggunakan lebih dari satu narator. Cukup beralasan mengingat latar belakang penulisnya sebagai wartawan. Bila novel ini dicetak ulang, tampaknya editor harus merevisi ulang beberapa kesalahan pengetikan yang kelihatan sepele tapi terasa mengganggu. Selain itu, desain kover belakang yang membuat sinopsis jadi sulit dibaca.
Semogalah apa yang telah ditempuh Hary lewat Nyanyian Kemarau ini, menerbitkan buku sastra dan mempublikasikannya secara nasional, bisa diikuti sastrawan-sastrawan muda Riau lainnya hingga ranah sastra Indonesia semakin semarak.
Arman AZ, sastrawan
Manajemen Proses Kreatif
Iwan Gunadi
http://www.lampungpost.com/
Tak sedikit pekerja film, sinetron, dan musik tersohor di Indonesia mengakui pentingnya peran manajer untuk kemajuan karier di dunia seni masing-masing. Tak heran kalau kemudian mereka meminta teman dekat, salah seorang anggota keluarga, suami, atau istri menjadi manajer mereka.
ADA pula yang meminta atau menerima tawaran dari perusahaan yang menyediakan jasa manajemen artis. Kesadaran akan pentingnya peran tersebut memang memicu sejumlah pihak mendirikan perusahaan jasa pengelolaan artis. Ya, mereka menyebutnya manajer artis untuk pelakunya dan manajemen artis untuk aktivitasnya.
Kesadaran semacam itu mungkin tak hanya ada di kalangan para pekerja film, sinetron, dan musik tersohor di Indonesia, tapi juga para pelaku seni rupa, seni tari, seni teater, atau bahkan seni sastra. Tapi, untuk empat kelompok terakhir, kesadaran itu kemudian tak segera atau bahkan sama sekali tak menjadi kenyataan, apalagi kelaziman.
Perbedaan tingkat persentuhan masing-masing bidang seni dengan napas industrialisasi memang berbeda. Sebab itu, unsur komersialisasi masing-masing bidang seni itu pun tak sama. Bahasa sederhananya, tingkat penghasilan di masing-masing bidang seni berbeda. Sementara ini, di Indonesia, tingkat penghasilan di bidang film, sinetron, dan musiklah yang memungkinkan para pelakunya mampu menggaji seorang atau beberapa orang dalam suatu tim manajemen artis untuk membantu perkembangan kariernya. Itu pun terutama hanya berlaku untuk mereka yang sudah masuk kategori bintang, seperti pemain film, pemain sinetron, pemusik, atau penyanyi terkenal tadi.
Namun, apakah mereka sudah memanfaatkan dukungan manajer artis atau manajer seniman itu semaksimal mungkin? Jawabannya terbilang mudah: belum. Simak saja pengakuan beberapa di antara mereka dan juga sejumlah manajer artis itu sendiri tentang peran yang biasa dilakoni seorang manajer artis. Menyiapkan pelbagai kebutuhan fisik seperti kostum, mengatur wawancara dengan wartawan, membalas surat-surat penggemar, menyiapkan kontrak kerja dengan pengguna jasa, dan mengelola keuangan, inilah sejumlah peran yang sering mereka sebut di beberapa tayangan infotainment.
Sementara, kegiatan yang berhubungan langsung dengan kerja artistik dan estetiknya tetap menjadi hak dan wewenang sang artis. Si artis masih menjadi pengendali utama atau bahkan pelaku tunggal manajemen proses kreatif secara menyeluruh. Kalau hanya itu yang dilakukan, peran manajer artis cenderung hanya mempermudah kegiatan “terutama” fisik atau psikomotorik yang tak perlu dilakukan seorang pemain film, pemain sinetron, pemusik, atau penyanyi terkenal.
Ada yang salah dengan pemahaman tersebut? Boleh jadi, tidak ada yang salah. Sebab, di negeri ini, manajer artis hanya menempatkan artis sebagaimana orang lain kebanyakan yang menyandang profesi berbeda. Bedanya, orang lain yang berprofesi berbeda tak membutuhkan pihak atau orang lain untuk membantu meringankan kegiatan “terutamna” fisik atau psikomotoriknya ataupun membutuhkan pihak atau orang lain itu, tapi tak mampu membayarnya. Jadi, manajer artis tak akan berbeda dengan manajer mubalig atau manajer politikus kondang, misalnya. Pemahaman seperti itulah yang banyak dikembangkan penjual dan pengguna jasa tersebut di sini untuk terminologi “manajer artis”, termasuk aktivitasnya alias terminologi “manajemen artis”.
Sesungguhnya, cakupan pemahaman manajemen artis dapat diperluas hingga ke pengelolaan pelbagai persoalan yang berhubungan dengan kerja artistik dan estetik sang artis. Bukan cuma mengelola pelbagai kegiatan fisik atau psikomotorik. Jadi, manajemen artis meliputi manajemen proses kreatif dan bukan proses kreatif. Kalau hal itu yang dilakukan, manajemen artis tentu akan berbeda dengan manajemen mubalig atau manajemen politikus, misalnya, karena bidangnya memang tak sama.
Kalau manajemen artis diperluas seperti itu, manajer artis juga tak sekadar menyiapkan tim kreatif yang bertugas menyokong gagasan-gagasan baru untuk kelompok pelawak, misalnya. Lebih dari itu, manajer artis dapat berperan sebagai dokumentator artistik dan estetik yang lengkap sekaligus kritikus yang mumpuni untuk kemajuan pencapaian artistik dan estetik kelompok pelawak yang dimanajerinya dalam setiap pementasan lawak.
Dalam manajemen kelompok pelawak seperti itu, peran manajer artis dapat dimulai dengan membantu kelompok pelawak itu menyiapkan tema yang cocok dengan penikmatnya dan media apa yang dimanfaatkannya, seperti media cetak, radio, atau televisi, baik siaran secara langsung maupun rekaman. Kalau akhirnya harus mengulang tema yang sama, manajer artis harus mampu membantu mencari perspektif yang berbeda. Ketika tema sudah menjadi materi cerita yang lengkap atau sekadar panduan kasar, memilih pelawak yang cocok untuk suatu tokoh merupakan pekerjaan lain yang juga dapat dibantu manajer kelompok pelawak. Kalau pelawak A kembali harus memerankan tokoh dengan karakter dasar yang sama dengan tokoh dalam pementasan sebelumnya, misalnya, manajer kelompok pelawak harus sanggup turut mencari pembedanya. Pencarian pembeda perspektif dan perincian karakter tersebut tentu sebaiknya tetap dalam jalur pencitraan yang selama ini dibangun kelompok pelawak itu. Di situlah kemampuan dokumentatif dan kekritikusan manajer kelompok pelawak itu bekerja.
Sebelum pemain film dan pemain sinetron menerima atau mendapatkan peran tokoh tertentu, manajer artis harus dapat membantu memutuskan apakah peran itu pantas diambil atau tidak. Kalau diambil, apa pertimbangannya: tantangan akting atau komersial semata, misalnya.
Kalau peran itu kemudian diambil, manajer artis kudu mampu membantu mengekpslorasi karakter tokoh itu sesuai dengan tuntutan skenario, menganalisis perbedaannya dengan karakter tokoh-tokoh yang sebelumnya pernah diperankan si artis, menemukan akting yang berbeda dengan akting untuk karakter-karakter sebelumnya yang mungkin mirip atau bahkan sama persis, serta menciptakan komunikasi yang efektif dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film atau sinetron itu, terutama produser, sutradara, dan penulis skenario. Untuk semua itu, manajer artis tentu butuh data yang akurat. Di titik itulah, kemampuan dokumentatif dan kekritikusan juga dibutuhkan manajer pemain film atau sinetron.
Untuk manajer pemusik atau penyanyi, fokus manajemen proses kreatif tentulah lagu, mulai dari proses penciptaan, penafsiran, hingga perekaman atau pementasannya. Manajer penyanyi, misalnya, tentu harus mampu membantu penyanyi memilihkan lagu yang cocok dengan karakter vokal penyanyi tersebut dan media penyampaiannya, yakni melalui produk rekaman atau nonrekaman (di depan khalayak). Tema lagu di negeri ini yang cenderung bermain di wilayah yang seragam, yakni cinta, sering kali menjadi titik krusial untuk mengeksplorasinya. Belum lagi aransemen musiknya yang juga cenderung tak berbeda secara signifikan. Sebab itulah, eksplorasi yang bertujuan menciptakan perbedaan pendekataan menyanyi bukanlah proses pencarian dan penemuan yang mudah. Dukungan kemampuan dokumentatif dan kekritikusan yang lebih perinci pun sangat dibutuhkan manajer penyanyi.
Bahasa mestinya menjadi satu dari dua titik perhatian penting manajer sastrawan. Sebab, bahasa merupakan media untuk sastrawan mewujudkan gagasannya. Pada saat yang bersamaan, gagasan atau apa yang akan dibahasakan melalui karya sastra merupakan satu hal penting lain yang mesti dihatikan. Yang tak mudah tentulah mengelola tarik-menarik atau ketegangan antara bahasa dan apa yang akan dibahasakan atau tarik-menarik antara bentuk dan isi karya sastra itu. Bagaimana menempatkan proses ketegangan itu dalam konstelasi karakter karya-karya sang sastrawan dan sejarah kesusastraan di Tanah Air adalah hal lain yang juga tak selayaknya dilewatkan manajer sastrawan dalam menata proses kreatif sang sastrawan.
Dengan pemahaman manajemen proses kreatif seperti itu, tak gampang memang menjadi manajer seniman. Walau tak mesti menjadi sekaliber kritikus, manajer seniman tetap mesti mampu menjadi pemuji dan pencela yang mumpuni untuk kemajuan artistik dan estetik sang seniman. Sebagai pemuji atau pencela yang mumpuni, selain mampu melontarkan pujian yang tak memabukkan dan celaan yang tak menghancurkan disertai alasan-alasan yang rasional dan solusi-solusi yang dapat diterapkan sang seniman, manajer seniman sekurangnya dapat menjadi pendamping atau jembatan penghubung yang produktif ke arah kemajuan kualitas dan kuantitas karya-karya kreatif sang seniman. Apalagi kalau manajer seniman juga dapat menjadi pendamping atau jembatan penghubung ke penemuan keunikan karya-karya hingga menjadi trade mark sang seniman kalau memang seniman tersebut belum menemukan karakter yang khas untuk karya-karyanya.
Idealnya, peran manajer seniman dilakukan pihak atau orang lain. Bukan sang seniman sendiri. Kalau penghasilan sang seniman sangat besar dan tuntutan kegiatan manajemen seniman memang banyak, kegiatan manajemen seniman dapat melibatkan pekerja yang banyak. Kalau kebutuhannya memang hanya satu dua orang, ya cukup sejumlah itu.
Namun, ketika dukungan keuangan sangat tidak memadai, seniman tentu harus realistis. Dia mesti rela berperan ganda sebagai manajer untuk dirinya. Dalam kondisi seperti itu, tentu tak semua aktivitas manajerial dapat dilakukan. Pelbagai aktivitas yang sangat substantif memengaruhi kemajuan kualitas dan kuantitas karya sepantasnya lebih diprioritaskan. Artinya, seniman yang tak mampu menggaji manajer harus bekerja lebih keras karena tak ada pihak lain yang membantunya.
Meski dukungan keuangan sangat tak memadai, seniman sebetulnya masih berpeluang punya manajer selama ada komunitas seni yang sudi mengambil peran tersebut. Komunitas seni itu bisa membentuk divisi atau kelompok kerja yang melakukan kegiatan manajemen seniman. Sang seniman selayaknya menjadi anggota komunitas seni tersebut. Komunitas seni itu bisa melakukan kegiatan manajemen seniman itu secara cuma-cuma atau menerapkan tarif fee tertentu dari setiap karya yang sudah mendatangkan uang. Catatannya, tarif tersebut tentu tak memberatkan seniman dan sekurangnya dapat turut membantu komunitas seni itu melanjutkan kegiatan manajemen seniman yang menjadi anggotanya. Pokoknya, win-win solution-lah.
Iwan Gunadi, Peminat Seni
http://www.lampungpost.com/
Tak sedikit pekerja film, sinetron, dan musik tersohor di Indonesia mengakui pentingnya peran manajer untuk kemajuan karier di dunia seni masing-masing. Tak heran kalau kemudian mereka meminta teman dekat, salah seorang anggota keluarga, suami, atau istri menjadi manajer mereka.
ADA pula yang meminta atau menerima tawaran dari perusahaan yang menyediakan jasa manajemen artis. Kesadaran akan pentingnya peran tersebut memang memicu sejumlah pihak mendirikan perusahaan jasa pengelolaan artis. Ya, mereka menyebutnya manajer artis untuk pelakunya dan manajemen artis untuk aktivitasnya.
Kesadaran semacam itu mungkin tak hanya ada di kalangan para pekerja film, sinetron, dan musik tersohor di Indonesia, tapi juga para pelaku seni rupa, seni tari, seni teater, atau bahkan seni sastra. Tapi, untuk empat kelompok terakhir, kesadaran itu kemudian tak segera atau bahkan sama sekali tak menjadi kenyataan, apalagi kelaziman.
Perbedaan tingkat persentuhan masing-masing bidang seni dengan napas industrialisasi memang berbeda. Sebab itu, unsur komersialisasi masing-masing bidang seni itu pun tak sama. Bahasa sederhananya, tingkat penghasilan di masing-masing bidang seni berbeda. Sementara ini, di Indonesia, tingkat penghasilan di bidang film, sinetron, dan musiklah yang memungkinkan para pelakunya mampu menggaji seorang atau beberapa orang dalam suatu tim manajemen artis untuk membantu perkembangan kariernya. Itu pun terutama hanya berlaku untuk mereka yang sudah masuk kategori bintang, seperti pemain film, pemain sinetron, pemusik, atau penyanyi terkenal tadi.
Namun, apakah mereka sudah memanfaatkan dukungan manajer artis atau manajer seniman itu semaksimal mungkin? Jawabannya terbilang mudah: belum. Simak saja pengakuan beberapa di antara mereka dan juga sejumlah manajer artis itu sendiri tentang peran yang biasa dilakoni seorang manajer artis. Menyiapkan pelbagai kebutuhan fisik seperti kostum, mengatur wawancara dengan wartawan, membalas surat-surat penggemar, menyiapkan kontrak kerja dengan pengguna jasa, dan mengelola keuangan, inilah sejumlah peran yang sering mereka sebut di beberapa tayangan infotainment.
Sementara, kegiatan yang berhubungan langsung dengan kerja artistik dan estetiknya tetap menjadi hak dan wewenang sang artis. Si artis masih menjadi pengendali utama atau bahkan pelaku tunggal manajemen proses kreatif secara menyeluruh. Kalau hanya itu yang dilakukan, peran manajer artis cenderung hanya mempermudah kegiatan “terutama” fisik atau psikomotorik yang tak perlu dilakukan seorang pemain film, pemain sinetron, pemusik, atau penyanyi terkenal.
Ada yang salah dengan pemahaman tersebut? Boleh jadi, tidak ada yang salah. Sebab, di negeri ini, manajer artis hanya menempatkan artis sebagaimana orang lain kebanyakan yang menyandang profesi berbeda. Bedanya, orang lain yang berprofesi berbeda tak membutuhkan pihak atau orang lain untuk membantu meringankan kegiatan “terutamna” fisik atau psikomotoriknya ataupun membutuhkan pihak atau orang lain itu, tapi tak mampu membayarnya. Jadi, manajer artis tak akan berbeda dengan manajer mubalig atau manajer politikus kondang, misalnya. Pemahaman seperti itulah yang banyak dikembangkan penjual dan pengguna jasa tersebut di sini untuk terminologi “manajer artis”, termasuk aktivitasnya alias terminologi “manajemen artis”.
Sesungguhnya, cakupan pemahaman manajemen artis dapat diperluas hingga ke pengelolaan pelbagai persoalan yang berhubungan dengan kerja artistik dan estetik sang artis. Bukan cuma mengelola pelbagai kegiatan fisik atau psikomotorik. Jadi, manajemen artis meliputi manajemen proses kreatif dan bukan proses kreatif. Kalau hal itu yang dilakukan, manajemen artis tentu akan berbeda dengan manajemen mubalig atau manajemen politikus, misalnya, karena bidangnya memang tak sama.
Kalau manajemen artis diperluas seperti itu, manajer artis juga tak sekadar menyiapkan tim kreatif yang bertugas menyokong gagasan-gagasan baru untuk kelompok pelawak, misalnya. Lebih dari itu, manajer artis dapat berperan sebagai dokumentator artistik dan estetik yang lengkap sekaligus kritikus yang mumpuni untuk kemajuan pencapaian artistik dan estetik kelompok pelawak yang dimanajerinya dalam setiap pementasan lawak.
Dalam manajemen kelompok pelawak seperti itu, peran manajer artis dapat dimulai dengan membantu kelompok pelawak itu menyiapkan tema yang cocok dengan penikmatnya dan media apa yang dimanfaatkannya, seperti media cetak, radio, atau televisi, baik siaran secara langsung maupun rekaman. Kalau akhirnya harus mengulang tema yang sama, manajer artis harus mampu membantu mencari perspektif yang berbeda. Ketika tema sudah menjadi materi cerita yang lengkap atau sekadar panduan kasar, memilih pelawak yang cocok untuk suatu tokoh merupakan pekerjaan lain yang juga dapat dibantu manajer kelompok pelawak. Kalau pelawak A kembali harus memerankan tokoh dengan karakter dasar yang sama dengan tokoh dalam pementasan sebelumnya, misalnya, manajer kelompok pelawak harus sanggup turut mencari pembedanya. Pencarian pembeda perspektif dan perincian karakter tersebut tentu sebaiknya tetap dalam jalur pencitraan yang selama ini dibangun kelompok pelawak itu. Di situlah kemampuan dokumentatif dan kekritikusan manajer kelompok pelawak itu bekerja.
Sebelum pemain film dan pemain sinetron menerima atau mendapatkan peran tokoh tertentu, manajer artis harus dapat membantu memutuskan apakah peran itu pantas diambil atau tidak. Kalau diambil, apa pertimbangannya: tantangan akting atau komersial semata, misalnya.
Kalau peran itu kemudian diambil, manajer artis kudu mampu membantu mengekpslorasi karakter tokoh itu sesuai dengan tuntutan skenario, menganalisis perbedaannya dengan karakter tokoh-tokoh yang sebelumnya pernah diperankan si artis, menemukan akting yang berbeda dengan akting untuk karakter-karakter sebelumnya yang mungkin mirip atau bahkan sama persis, serta menciptakan komunikasi yang efektif dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film atau sinetron itu, terutama produser, sutradara, dan penulis skenario. Untuk semua itu, manajer artis tentu butuh data yang akurat. Di titik itulah, kemampuan dokumentatif dan kekritikusan juga dibutuhkan manajer pemain film atau sinetron.
Untuk manajer pemusik atau penyanyi, fokus manajemen proses kreatif tentulah lagu, mulai dari proses penciptaan, penafsiran, hingga perekaman atau pementasannya. Manajer penyanyi, misalnya, tentu harus mampu membantu penyanyi memilihkan lagu yang cocok dengan karakter vokal penyanyi tersebut dan media penyampaiannya, yakni melalui produk rekaman atau nonrekaman (di depan khalayak). Tema lagu di negeri ini yang cenderung bermain di wilayah yang seragam, yakni cinta, sering kali menjadi titik krusial untuk mengeksplorasinya. Belum lagi aransemen musiknya yang juga cenderung tak berbeda secara signifikan. Sebab itulah, eksplorasi yang bertujuan menciptakan perbedaan pendekataan menyanyi bukanlah proses pencarian dan penemuan yang mudah. Dukungan kemampuan dokumentatif dan kekritikusan yang lebih perinci pun sangat dibutuhkan manajer penyanyi.
Bahasa mestinya menjadi satu dari dua titik perhatian penting manajer sastrawan. Sebab, bahasa merupakan media untuk sastrawan mewujudkan gagasannya. Pada saat yang bersamaan, gagasan atau apa yang akan dibahasakan melalui karya sastra merupakan satu hal penting lain yang mesti dihatikan. Yang tak mudah tentulah mengelola tarik-menarik atau ketegangan antara bahasa dan apa yang akan dibahasakan atau tarik-menarik antara bentuk dan isi karya sastra itu. Bagaimana menempatkan proses ketegangan itu dalam konstelasi karakter karya-karya sang sastrawan dan sejarah kesusastraan di Tanah Air adalah hal lain yang juga tak selayaknya dilewatkan manajer sastrawan dalam menata proses kreatif sang sastrawan.
Dengan pemahaman manajemen proses kreatif seperti itu, tak gampang memang menjadi manajer seniman. Walau tak mesti menjadi sekaliber kritikus, manajer seniman tetap mesti mampu menjadi pemuji dan pencela yang mumpuni untuk kemajuan artistik dan estetik sang seniman. Sebagai pemuji atau pencela yang mumpuni, selain mampu melontarkan pujian yang tak memabukkan dan celaan yang tak menghancurkan disertai alasan-alasan yang rasional dan solusi-solusi yang dapat diterapkan sang seniman, manajer seniman sekurangnya dapat menjadi pendamping atau jembatan penghubung yang produktif ke arah kemajuan kualitas dan kuantitas karya-karya kreatif sang seniman. Apalagi kalau manajer seniman juga dapat menjadi pendamping atau jembatan penghubung ke penemuan keunikan karya-karya hingga menjadi trade mark sang seniman kalau memang seniman tersebut belum menemukan karakter yang khas untuk karya-karyanya.
Idealnya, peran manajer seniman dilakukan pihak atau orang lain. Bukan sang seniman sendiri. Kalau penghasilan sang seniman sangat besar dan tuntutan kegiatan manajemen seniman memang banyak, kegiatan manajemen seniman dapat melibatkan pekerja yang banyak. Kalau kebutuhannya memang hanya satu dua orang, ya cukup sejumlah itu.
Namun, ketika dukungan keuangan sangat tidak memadai, seniman tentu harus realistis. Dia mesti rela berperan ganda sebagai manajer untuk dirinya. Dalam kondisi seperti itu, tentu tak semua aktivitas manajerial dapat dilakukan. Pelbagai aktivitas yang sangat substantif memengaruhi kemajuan kualitas dan kuantitas karya sepantasnya lebih diprioritaskan. Artinya, seniman yang tak mampu menggaji manajer harus bekerja lebih keras karena tak ada pihak lain yang membantunya.
Meski dukungan keuangan sangat tak memadai, seniman sebetulnya masih berpeluang punya manajer selama ada komunitas seni yang sudi mengambil peran tersebut. Komunitas seni itu bisa membentuk divisi atau kelompok kerja yang melakukan kegiatan manajemen seniman. Sang seniman selayaknya menjadi anggota komunitas seni tersebut. Komunitas seni itu bisa melakukan kegiatan manajemen seniman itu secara cuma-cuma atau menerapkan tarif fee tertentu dari setiap karya yang sudah mendatangkan uang. Catatannya, tarif tersebut tentu tak memberatkan seniman dan sekurangnya dapat turut membantu komunitas seni itu melanjutkan kegiatan manajemen seniman yang menjadi anggotanya. Pokoknya, win-win solution-lah.
Iwan Gunadi, Peminat Seni
Mengkaji Gerakan Sastra ‘Horison’
Abdul Aziz Rasjid
http://www.lampungpost.com/
Taufiq Ismail pernah merasa bahwa dirinya bersama puluhan anak SMA lain seangkatannya di seluruh Tanah Air telah menjadi generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Istilah nol buku menerangkan pada kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga mereka menjadi rabun membaca. Sedangkan istilah pincang mengarang diakibatkan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.
Keadaan generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang itu lalu diindikasikan Taufiq Ismail sebagai sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Indonesia di seluruh strata, baik di pemerintahan maupun swasta.
Didorong oleh keresahan pada adanya generasi nol buku itulah, lalu Taufik Ismail menggagas gerakan sastra bersama majalah Horison–di mana Taufik Ismail pernah menjadi redaktur senior dan salah satu dewan redaksi–dengan tujuan menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa bagi kemajuan pendidikan sastra di Indonesia. Taufik Ismail dan Horison tak main-main memang, sasaran yang dituju meliputi SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK, sampai mahasiswa se-Indonesia.
Gerakan sastra itu terdiri dari lima program, berupa 1). Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, 2). Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), 3). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan 5). Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).
Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison digunakan sebagai medium mengenalkan sosok dan karya sastrawan Indonesia pada siswa. Sosok, karya, proses kreatif sastrawan Indonesia lalu diulas oleh Horison dengan harapan dapat memberi influence bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastrawan Indonesia. Untuk mempermudah akses pengonsumsian pada siswa, majalah Horison lalu disebar secara gratis ke SMA, madrasah aliah, pesantren, dan SMK.
Di sisi lain, sisipan Kaki Langit dalam majalah Horison juga menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya.
Siswa dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai di mana karya siswa ini lalu ditelaah oleh Horison. Telaah yang dilakukan Horison dapat dikatakan sebagai edukasi sekaligus evaluasi agar teknik menulis siswa dapat lebih berkembang. Sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai eksekutor terpenting dalam lingkup pendidikan (sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis, dalam sisipan Kaki Langit dapat berbagi pengalaman tentang metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah lewat kolom Pengalaman Guru.
Tiga Program lainnya, yaitu pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) adalah ajang promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis di instansi pendidikan, dan juga perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.
Program-program di atas setidaknya menjelaskan bahwa tradisi membaca dan menulis bagi siswa SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK dan mahasiswa telah digalakkan. Hasil ideal juga telah didapati, yaitu adanya karya yang dihasilkan siswa SMA, madrasah aliyah, pesantren, SMK, dan mahasiswa yang kemudian dimuat dalam majalah Horison. Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana karya mereka selanjutnya (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat diterbitkan lalu dikonsumsi masyarakat? Untuk dapat memprediksi sejauh apa peluang-peluang karya mereka dapat diterbitkan, tentu harus ditengok dahulu sistem penerbitan karya yang berjalan di Indonesia ini.
Menurut Yosi Ahmadun Herfanda dalam Kapitalisasi Sistem Produk Sastra Kota (Horison, edisi September 2004), secara umum keadaan sistem industri budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri market oriented yang secara jelas mengejar pengembangan modal. Sedang kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.
Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dalam sistem ini, maka peluang penulis menjadi besar jika idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar untuk sementara dipinggirkan lalu tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dampak yang terjadi kemudian, penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan penulisan karya demi popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.
Pada sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal atau dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal–dalam bidang sastra Ahmadun mencontohkan Horison, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu, konsekuensi logis bagi penulis agar karyanya dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini, secara positif memberi peluang kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya, asal idealisasi itu harus melebihi atau sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas, sedang sisi negatifnya akan melahirkan penulis-penulis yang hanya akan menjadi tenaga kerja repetitif karena tujuan penulisan sekadar menyesuaikan selera komunitas.
Dalam sistem penerbitan inilah, pekerjaan rumah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menumbuhkan tradisi membaca dan menulis semacam yang dilakukan majalah Horison mendapat tantangan sebenarnya, yaitu memberitahu sejak dini pada siswa pentingnya menjadi tenaga ahli dalam bidang apa pun, lalu mewartakan tentang pentingnya cara menyiasati peluang-peluang pemasaran karya guna mempertahankan idealisasi pemikiran mereka.
*) Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto.
http://www.lampungpost.com/
Taufiq Ismail pernah merasa bahwa dirinya bersama puluhan anak SMA lain seangkatannya di seluruh Tanah Air telah menjadi generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Istilah nol buku menerangkan pada kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga mereka menjadi rabun membaca. Sedangkan istilah pincang mengarang diakibatkan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.
Keadaan generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang itu lalu diindikasikan Taufiq Ismail sebagai sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Indonesia di seluruh strata, baik di pemerintahan maupun swasta.
Didorong oleh keresahan pada adanya generasi nol buku itulah, lalu Taufik Ismail menggagas gerakan sastra bersama majalah Horison–di mana Taufik Ismail pernah menjadi redaktur senior dan salah satu dewan redaksi–dengan tujuan menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa bagi kemajuan pendidikan sastra di Indonesia. Taufik Ismail dan Horison tak main-main memang, sasaran yang dituju meliputi SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK, sampai mahasiswa se-Indonesia.
Gerakan sastra itu terdiri dari lima program, berupa 1). Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, 2). Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), 3). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan 5). Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).
Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison digunakan sebagai medium mengenalkan sosok dan karya sastrawan Indonesia pada siswa. Sosok, karya, proses kreatif sastrawan Indonesia lalu diulas oleh Horison dengan harapan dapat memberi influence bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastrawan Indonesia. Untuk mempermudah akses pengonsumsian pada siswa, majalah Horison lalu disebar secara gratis ke SMA, madrasah aliah, pesantren, dan SMK.
Di sisi lain, sisipan Kaki Langit dalam majalah Horison juga menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya.
Siswa dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai di mana karya siswa ini lalu ditelaah oleh Horison. Telaah yang dilakukan Horison dapat dikatakan sebagai edukasi sekaligus evaluasi agar teknik menulis siswa dapat lebih berkembang. Sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai eksekutor terpenting dalam lingkup pendidikan (sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis, dalam sisipan Kaki Langit dapat berbagi pengalaman tentang metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah lewat kolom Pengalaman Guru.
Tiga Program lainnya, yaitu pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) adalah ajang promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis di instansi pendidikan, dan juga perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.
Program-program di atas setidaknya menjelaskan bahwa tradisi membaca dan menulis bagi siswa SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK dan mahasiswa telah digalakkan. Hasil ideal juga telah didapati, yaitu adanya karya yang dihasilkan siswa SMA, madrasah aliyah, pesantren, SMK, dan mahasiswa yang kemudian dimuat dalam majalah Horison. Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana karya mereka selanjutnya (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat diterbitkan lalu dikonsumsi masyarakat? Untuk dapat memprediksi sejauh apa peluang-peluang karya mereka dapat diterbitkan, tentu harus ditengok dahulu sistem penerbitan karya yang berjalan di Indonesia ini.
Menurut Yosi Ahmadun Herfanda dalam Kapitalisasi Sistem Produk Sastra Kota (Horison, edisi September 2004), secara umum keadaan sistem industri budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri market oriented yang secara jelas mengejar pengembangan modal. Sedang kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.
Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dalam sistem ini, maka peluang penulis menjadi besar jika idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar untuk sementara dipinggirkan lalu tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dampak yang terjadi kemudian, penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan penulisan karya demi popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.
Pada sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal atau dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal–dalam bidang sastra Ahmadun mencontohkan Horison, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu, konsekuensi logis bagi penulis agar karyanya dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini, secara positif memberi peluang kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya, asal idealisasi itu harus melebihi atau sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas, sedang sisi negatifnya akan melahirkan penulis-penulis yang hanya akan menjadi tenaga kerja repetitif karena tujuan penulisan sekadar menyesuaikan selera komunitas.
Dalam sistem penerbitan inilah, pekerjaan rumah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menumbuhkan tradisi membaca dan menulis semacam yang dilakukan majalah Horison mendapat tantangan sebenarnya, yaitu memberitahu sejak dini pada siswa pentingnya menjadi tenaga ahli dalam bidang apa pun, lalu mewartakan tentang pentingnya cara menyiasati peluang-peluang pemasaran karya guna mempertahankan idealisasi pemikiran mereka.
*) Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati