Kamis, 29 Desember 2011

Mencari Latar NTT dalam Cerpen

Yohanes Sehandi
__Pos Kupang, Suara NTT

DALAM sebuah cerita pendek (juga dalam novel atau roman), latar atau setting merupakan salah satu unsur intrinsik, di samping unsur intrinsik yang lain, seperti tema atau inti cerita, tokoh atau perwatakan, plot atau alur cerita, dan gaya pengungkapan cerita. Unsur-unsur intrinsik ini merupakan ‘unsur dasar’ yang membangun/membentuk sebuah cerita pendek (cerpen) atau novel. Eksistensi sebuah cerpen atau novel ditentukan oleh hadirnya unsur-unsur intrinsik ini. Tanpa kehadiran unsur-unsur ini, sebuah cerita rekaan atau cerita fiksi (prosa atau imajinasi), susah untuk dimasukkan sebagai cerpen atau novel yang merupakan salah satu genre karya sastra.

Selasa, 27 Desember 2011

Gugatan untuk MASTERA 2006 dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000.*

Yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun” dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Awalnya masih menaruh pikiran positif. Di kepala seakan tertera kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh, bukan awut-awutan,” nyata tebakan itu meleset. Pun ingin husnudzon, mungkin tak tahu sumber aslinya. Namun apakah mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapati penghargaan, cuntel keilmuan?

Sekularisme Religius sebagai Kritik

–Sekularisme sebagai Kritik–
Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kawan, perdebatan tentang apa yang disebut sekular dan sekularisasi—ada yang menulis sekuler dan sekularisasi—memang belum memperlihatkan tanda-tanda melelahkan. Padahal kurang apa kerasnya polemik yang pernah terjadi antara kelompok Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok Natsir-Hamka–Siradjudin Abbas—A.Hasan tentang soal ini. Kedua polemik ini memiliki pengikut, dengan corak dan gayanya masing-masing.

PANGGUNG PENCERITAAN SUWUNG

Sebuah novel perjalanan hidup yang penuh intrik emosional dan mimpi
Beni Setia
http://sastra-indonesia.com/

KONSTRUKSI pementasan wayang kulit bertumpu pada kelir–layar–, di mana si penonton ada di sebelah luar dan menikmati serta mengapresiasi tampakan dari bayangan wayang yang dimainkan dalang dan diproyeksikan oleh terang blencong–lampu minyak. Bila dirinci, di zona batas: hadir wayang yang aktualistik dimainkan dalang, ada wayang yang siap untuk dimainkan kalau pembabakan dan kebutuhan cerita memaksanya tampil, dan sekaligus ada wayang-wayang yang hanya jadi pajangan dan tidak akan dimainkan–berjejer di kiri dan kanan arena cerita yang ditandai oleh batang pisang buat menegakkan wayang, di antara kelir dan blencong.

Senin, 05 Desember 2011

Maaf, Supir Itu Suami Saya!

Salamet Wahedi *
tabloid Memo edisi 156, 11 Juli 2010

“Mbak, Mbak sudah siuman? Syukurlah kalau Mbak sudah siuman”, lamat-lamat Reni mendengar suara setengah cemas di sampingnya. Perempuan muda seumurny, yang kira-kira dalam taksirannya, tiga tahun lebih tua dibanding dirinya. Ia juga melihat ruang tempatnya terdampar putih semua. Sekeliling, hanya warna putih yang menyapa retina-pupil matanya.

FRAGMEN BAWAH JEMBATAN

Bambang kempling
http://sastra-indonesia.com/

Adalah setangkai bunga rumput berkelopak ungu dalam genggam perempuan di tengah siang. Sudah tidak begitu segar dan hampir layu, seperti kisah bunga-bunga terlalu tua untuk jadi mahkota. Mengapa? Apakah hari ini telah kehilangan fantasinya juga bagi wajah yang tersembunyi dari langit terbuka di balik payung pelangi?

Jembatan kecil pada suatu jalan kecil itu sungguh telah menjadi tempat yang baik untuk membebaskan keinginan bersedih, bahkan sekali waktu bisa menggodanya untuk iseng bergembira sejenak: memilin-milin tangkai bunga rumput yang digenggamnya sejak tadi sambil bernyanyi-nyanyi lirih. Lalu memungut sempalan ranting pohon waru lantas dilemparkannya ke arah buih yang tersangkut di celah-celah batu…Plung!!, dan buih pun berlubang memanjang, berombak lembut, sebagian terberai mengikuti arus air, maka terciptalah lecut pimping dari perjalanan sunyi gericik air. Tapi masih ada satu pertanyaan yang tidak juga terjawab oleh dirinya: “Benarkah ini satu kegembiraan iseng?” Semacam perjuangan nihil untuk berusaha melegalisasikan semua jalan pelarian dengan pikiran-pikiran yang semakin menjauh. Tidak ada ketajamannya, kecuali alasan-alasan yang sempurna.

Payung pelangi diayunkannya perlahan, saat itu pula dilihatnya langit telah kehilangan warna birunya. Kelabu mendung seperti hendak membawa mala petaka. Ingin rasanya ia beranjak pergi, tetapi gerimis telah menghadirkan harapan lain bagi kangen yang terpenjara begitu hadir seorang lelaki kurus dan capek.

“Sudah lama?” sapa lelaki itu.

“Aku hampir saja pulang! Inilah keajaiban gerimis, dengan cepatnya ia menyihir niat itu menjadi fantasi sore yang indah.” jawab perempuan itu.

“Aku kangen.”

“Apa masih perlu?”

Perempuan itu menggeser duduknya. Itu adalah isyarat bagi kesepakatan tanpa kata-kata bagi lelaki itu untuk menyelinapkan wajah di balik payung.

Merdu gerimis menjadi tak berlagu di atas sepasang kepala yang semakin jelas terdengar tanpa rasa heran yang berlebihan. Dan gericik air pun kemerduannya sama sekali juga tak menimbulkan romantisme luar biasa bagi mereka. Barangkali karena mereka telah terbiasa menjalani hidup dengan kebiasaan-kebiasaan aneh.

“ Ciumlah aku…!” manja perempuan itu. Lelaki itu menyibak rambutnya yang panjang tergerai, membelainya dengan bangga, lantas mencium bibir kering terbuka.

“Peluklah aku…!”

Didekapnya perempuan itu. “Hari ini kita sama tidak merasa kehilangan, tetapi jangan terlalu berharap.” Bisik lelaki itu.

“Mengapa?”

“Tidak apa-apa.”

“Kau tidak mandi hari ini?”

“Kemarin lusa. Mari kita berlindung! Gerimis nampaknya akan deras.”

“Berlindung? Dimana?”

“Bawah jembatan.”

“Apa payung ini tidak cukup.?”

“Jelas cukup! tapi, bagaimana dengan istana kita?”

Di bawah payung, kemesraan begitu mengagumkan, muka kecut dan bahagia sepertinya sama saja, bau tanah basah tak sempat tercium oleh nafas yang diburu keinginan-keinginan dengan cepatnya. Sungguh betapa berartinya hari menjelang sore itu bagi mereka.

“Ulaaar…!!!” perempuan itu tiba-tiba menjerit.

Dari arah semak rerumputan, melata seekor ular tanggung. Perempuan itu meloncat. Karena dalam panik loncatannya justru mengenai ekornya, Ia terpeleset lalu jatuh, kepalanya hampir mengenai sebongkah batu. Payung terlempar. Dalam gerakan reflek sang lelaki menyahut lengannya, tapi sial justru hanya mengenai lubang leher rok kekasihnya hingga sobek memanjang termasuk tali kutangnya juga tersangkut dan putus satu. Dalam gerak reflek instingtif untuk survifal dalam keadaan bahaya barangkali, kepala ular itu secepat kilat menyambar dan “cap!” tepat mengenai pantat perempuan yang menginjaknya.

“Awaass!!” seru yang terlambat dari sang lelaki.

Segera dramatik peristiwa kehidupan terjadi begitu cepatnya – secepat kilat disahutnya ekor ular – disabetkan pada sebongkah batu tepi jembatan – Plak..!!,Plak..!!,Plak..!!!

“Lunglailah kau..!! Harcurlah kau..!!Bangsat..!!”

Nafas memburu dendam berlebihan, didekatinya ular itu, diperhatikannya sungguh-sungguh.

“Matilah kau.” desisnya, dan senyum kepuasan sedikit tersungging di kedua sudut bibir.

Lalu diraih lunglai tubuh ular itu, dilemparkannya jauh-jauh dari situ.

“Bukan maksudku tidak memberi hak kehidupan bagimu hai binatang! tapi kaulah yang menciptakan kesumatku!” Teriaknya sambil melirik wajah memelas kekasihnya.

“Ulaaaar!!!” tiba-tiba terdengar jeritan serentak beberapa anak perempuan dari seberang jalan. Disusul jeritan-jeritan panik serta derap sepatu yang cepat. Lelaki itu terkejut penuh tanda Tanya. “Kok … terlalu jauh ?!” Betapa kekonyolan itu akhirnya juga sedikit memberikan hiburan bagi sang kekasih di sela-sela degup jantung yang membara.

“Aduuuh…” perempuan itu mengaduh, kedua tangannya mencengkeram
luka gigitan.

“Sakit ?”

“Ya… jelas sakiiit..! Ayo cepat tolong…!Tunggu wajahku membiru apa?! Cepaaat..!!! ” bentakkan yang penuh dengan kemanjaan berbaur seringai menahan sakit dan rasa takut yang sangat.

Lelaki itu semakin panik. Kekonyolan-kekoyolan yang hadir bersamaan dengan klimaks dramatik kejadian, membangun tabir keingin-tahuan. Otak mampet. “Apakah ini ketololan?” Desisnya. Sementara jeritan-jeritan seberang jalan masih membuatnya menjadi ingin tahu tentang apa yang telah dan akan terjadi disana. Dalam kondisi seperti itu sulit baginya memberikan prioritas porsi keinginan-keinginan; antara segera menolong kekasih atau beranjak ke seberang jalan. Dalam gundah, dia berdiri mematung. “Selalu saja begini.” Desisnya. Matanya berlinang, menerawang ke atap rumah-rumah yang mencuat dari pucuk pohon-pohon.

Terdengar sayup-sayup di seberang jalan, kegaduhan berkembang menjadi umpatan-umpatan.

“Kurang ajar..! Dikira lucu apa keusilannya!! Kurang ajar..!!”

“Untung saya tidak pingsan….Hiii…!”

“Ya untung kita semua tidak pingsan!”

“Ini pasti ulah orang gila itu.”

“Orang gila yang mana!?”

“Adduuuh… Itu…tu… yang biasa….”

“Oh…Seniman itu. Kemarin dia mengirim bunga buat Rina Lho… Biasanya romantis kan dia.”

“Nyaco pikiran kamu! Itu… mereka sepasang manusia surialis penjaga taman bawah jembatan ……”

“Oh… Barangkali dengan begitu bisa membuatnya bahagia.”

“Humanis banget kamu..?! Eh!! Kamu ada yang sudah ngerjakan tugas Psykologi Sastra? Bantu aku dong..!”

Suara-suara itu semakin menjauh. Segerombol pemuda gondrong menyanyikan lagu romantis melintasi jembatan dalam gerimis yang semakin deras, mereka terlalu cuek untuk mengetahui apa yang terjadi di bawah jembatan.

“Ayo cepat !!! Jangan berpikir terlalu panjang! Aku keburu mati nanti!! sentak perempuan itu.

Lelaki itu segera sadar akan apa yang harus dilakukan segera. Ia hampiri kekasihnya, memeriksa luka bekas gigitan. “Sakit?” tanyanya.
“Tiddak!” jawab perempuan itu dengan cemberut.

“Eeehh! Kamu jangan cemberut begitu dong! Nanti aku tambah bingung. Ini tidak apa-apa.”

“Tidak apa-apa bagaimana..!?”

“Iya… tidak apa-apa… sebab ular tadi tidak berbisa.”

“Sok tahu!”

“Tidak bengkak kan..?”

“Tapi,… ini lihat! Lihat dengan sepasang matamu yang tolol! Ada sepasang luka bekas gigitan dan giginya tertinggal sebelum kau cabut. Apa bukan bukti!!”

“Bukti bahwa ular itu berbisa? Sok tahu !! Ular yang itu tadi, yang menggigitmu sayangku, kekasihku, termasuk ular yang biasa hidup di air atau yang lazim di daerahku menyebutnya sebagai ular air. Dan ular air itu tidak berbisa.:

“Tapi kok sakit.”

“Nah jelas sekarang, siapa yang tolol sebenarnya.”

“Nah!…naah!…naah!! Jangan kau mulai lagi!.”

“Maaf …maaf. Semalam nonton Film Special nggak?”

“Ngaco…!”

“Yang jadi Robin Hood itu aku lho …”

“Jangan kau goda aku dengan ketololanmu!!”

“Giginya tadi aku lempar ke mana ya? Akan aku ambil untuk leontin cinta bagi kekasihku tercinta.” godanya semakin menjadi.

“Kau sudah tahu bagaimana kalau aku marah..!?” Tiba-tiba perempuan itu memekik. Pekikan dari rasa jengkel yang meskipun tidak berlebih, tapi sudah cukup untuk menjadi ancaman berbahaya bagi lelaki itu, dan hal terbaik saat-saat demikian adalah segera menghentikan godaannya.

Darah merah tua…

Merah tua menetes dari luka kecil.

Dengan lembut lelaki itu mengusapnya tanpa sepatah kata. Sehelai sapu tangan biru dan kotor dibalutkannya, seperti bagaimana dia membalut harapan-harapan.

“Mari ke taman kita sebagaimana rencana kita tadi..!” ajak lelaki itu.

Perempuan itu mengatupkan matanya,“Payungnya..?” katanya.

“Sebentar aku ambil.”

Di bawah jembatan gericik air dan gerimis deras yang menggerimisi rimbun daun-daun bersatu di telinga dan dada. Dingin sore sangatlah berarti bagi sepasang kekasih di bawah jembatan. Kelas cinta yang murni dari manusia-manusia pinggiran. Kelas cinta yang bebas dari kebebasan burung-burung ciblek. Kemurnian cinta yang banyak dilupakan.

Bau anyir dari sungai kecil dan kotor dalam keheningannya bukanlah suatu hal yang menjijikkan. Mereka berpelukan…berpelukan mesra sekali. Kadang-kadang dilihatnya bersama luka yang terlupakan. Yaa… Tuhan, dari mana sumber kebahagiaan sebenarnya?

Dalam bahagia mereka lepas tertawa selepas-lepasnya. Lelaki itu tiba-tiba berdiri di sebongkkah batu hitam. Tangan meraih sebatang kayu penguat jembatan, menggelayutkan tubuhnya, dan dengan berekpresi selayaknya seorang pemeran dalam sebuah pertunjukan teater, dia berdeklamasi di hadapan kekasihnya, di hadapan lumut-lumut, rumput-rumput, semut-semut, dan binatang lata dari sebuah kehidupan yang sering terlupakan.

“Dan kitalah pengantin musim ini, yang mempersembahkan cinta kasihnya buat cuaca yang gundah. Tidak selalu kalah dalam pertipuan angin, tidak selalu mencaci kesewenangan nasib, tidak pernah menolak menjadi pemimpi. Wahai… pengantinku mari berdansa dalam alunan musik abadi kita!!”

Sementara itu, sang perempuan dengan mengulum kebanggaan menyibak rambutnya, menengadah ke atap surganya yakni papan-papan jembatan. Dengan khusuk mereka lantas berdansa, menyusuri air kehidupan.

Gerimis masih tetap mewarnai sore. Sebentar kemudian azan Magrib berkumandang. Mereka masih tetap bercinta.

*
Di perempatan jalan, dimana aliran air sungai membentuk pusaran, seorang tukang becak yang kebetulan sedang kencing disitu, menemukan sesuatu terapung terbawa arus air. “Kutang siapa ya ..?” tanyanya dalam hati. “Ah…masa bodoh…lumayan.” desisnya. Ia cepat-cepat mengambilnya, menyimpannya di saku kiri, lalu pergi mengayuh becaknya kembali. Ketika ada yang memanggilnya, ia tidak begitu peduli.

Langit tiba-tiba hitam, semakin hitam. Halilintar susul menyusul dengan guntur dan angin badai.Begitu cepatnya keindahan sore berubah menjadi pekat Hujan mengguyur teramat lebat. Orang-orang segera menutup pintu-pintu dan jendela. Kota menjadi sepi sampai sepanjang malam, hanya dera hujan dan genangan-genangan air mewarnai sepanjag jalan.

Dingin menusuki tulang-tulang.
Kengiluan bagi makhluk seluruh kota itu.

*
Dua hari kemudian, pagi-pagi benar seekor anjing menyalak. Tak lama seseorang yang kebetulan melintas curiga dengan tingkah anjing yang kebetulan anjing tetangganya menghampiri anjing itu. Betapa terkejutnya ia begitu dilihatnya dua sosok manusia telanjang terbujur kaku dalam pelukan.

September 2003

____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.

Bayang-Bayang Wajah

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Kabut pagi belum mengering. Padahal sinar matahari sudah mulai menghangatkan tubuh. Tapi toh begitu, bening air telaga sudah mulai menguap tersengat oleh hangat sinarnya. Kumparan waktu menyeretku berkeliling di tepian telaga. Riak-riak kecil menggiring ikan-ikan berkecipak di permukaannya. Sebatang pohon mangga menyapaku saat aku duduk di bawahnya. Daun kuningnya membelai wajahku yang muram memikirkan lembaran hari yang tiada menentu.

Pelukis Gelombang Laut

Dody Kristianto*
http://sastra-indonesia.com/

Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Tubuhnya perlahan bangkit dari lautan yang selama ini menyelubunginya. Ia nampak elok nan gemulai. Benar-benar menunjukkan sebuah arsiran dan detil rinci air lautan yang membentuknya. Cahaya bulan terang memberi warna kuning langsat pada kulitnya yang semula bening. Ia nampak rupawan. Rambutnya tergerai panjang. Setiap lekuknya berasal dari percikan gelombang. Gelombang nyalang, ketika malam sangat hening dan tak ada suara lain terdengar selain deru gelombang yang panjang.

Dan perempuan itu mulai melangkah gemulai. Matanya menatap bulan yang nampak bulat sempurna. Dari wujud kesempurnaan bulan, mata perempuan terbentuk, sangat terang dan meneduhkan bagi siapa pun yang beradu pandang. Ia merentangkan tangan. Lalu satu demi satu tetes air terbang membalut tubuhnya. Lantas buliran air itu berubah menjadi gaun putih nan anggun. Berpadu padan dengan wajahnya yang seterang cahaya bulan.

Lalu perempuan itu berjalan. Sangat pelan. Ia meninggalkan gelombang yang selama ini membungkusnya. Keanggunannya bagai seorang putri kerajaan. Kerajaan yang hanya ada dalam khayalan. Kerajaan bagi mereka yang percaya impian. Perempuan itu ibarat kupu-kupu terlahir dari butir kepompong. Butir kepompong gelombang yang tak henti menerjang daratan. Lalu perempuan itu berjalan pelan. Ia menatap jauh. Memandang ke arahku…

***

Perempuan yang tercipta dari gelombang itu adalah imajiku yang tertuang dalam wujud lukisan. Lukisan yang kuhibahkan kepada kantor dan kini terpajang di tengah ruang kantor. Lokasi yang kukira sangat strategis. Orang-orang yang berlalu-lalang bisa menikmati lukisanku. Bahkan bosku pun mengakui hasil goresan kuasku. Ia mengatakan kalau aku sepatutnya menjadi seorang seniman, bukan kasir pada pekerjaanku saat ini. Aku hanya tersenyum kecut mendengar pujian dari bosku. Juga rekan-rekanku yang lain. Namun mereka tidak tahu yang kurasakan selama ini. Mereka tak mengerti sesuatu yang membayangi diriku.

Yang selama ini terjadi adalah gejolak jiwaku. Gejolak jiwa yang menderu ketika menyaksikan gelombang menerjang. Gelombang yang mengasah dan membentuk diriku hingga aku tabah menghadapi kerasnya kota besar. Gelombang yang senantiasa membayangiku ke manapun. Di mana aku berada, aku selalu terngiang mendengar bisikan gelombang. Sampai pada inti atom terdalam, aku kerap terhanyut oleh partikel-partikel gelombang.

Aku dibesarkan di sebuah desa nelayan. Desa tepi pantai, yang hidup sehari-harinya takkan dapat terlepas dari gelombang. Karena dari situlah para penduduk memperoleh nafkah. Termasuk juga ayahku. Sebenarnya ketika masih berusia 6 tahun, aku adalah anak yang paling enggan diajak melaut. Aku lebih memilih bermain di hamparan pasir pantai, mencari tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Terkadang aku bersembunyi di tempat penjemuran ikan, saat ayah maupun saudara-saudaraku yang lain mengajakku melaut. Aku berlari sekencang mungkin, menghindari kejaran mereka.

Gerak gelombang yang selalu menerjang membuatku sangat takut kala itu. Aku tak pernah bisa membayangkan, mengapa pergerakan sekumpulan tetes air yang bersatu dengan tetes lainnya dapat menghasilkan tenaga yang begitu besar. Bahkan aku kerap berandai-andai seumpama gelombang yang menerjang itu sebesar rumah. Bahkan lebih besar dari rumah. Tentu gelombang itu akan menelan tubuh kecilku. Menggilingnya dalam satu gilasan raksasa yang membuat diriku hancur berkeping-keping. Sebuah fantasi yang kubayangkan setiap detik dapat terjadi pada diriku.

Apalagi, aku pernah mendengar cerita dari orang-orang tua di desa, bahwa gelombang besar pernah melanda desaku, menewaskan beberapa orang, termasuk kakek dan nenekku. Cerita yang membuatku bergidik. Pun yang bercerita adalah paman dan bibiku. Mereka adalah orang yang selalu mengatakan padaku, bahwa merekalah yang mendidik ayah menjadi seorang nelayan tangguh, setelah orang tua ayah meninggal. Lantas mereka menyuruh aku agar tidak bermain-main dekat pantai karena pantai dijaga oleh dedemit yang setiap saat akan mencari tumbal anak kecil seusiaku.

Namun berbeda dengan ayahku. Ia selalu berpikir bahwa gelombang adalah kawan bagi nelayan. Tidak akan ada gelombang yang menelan nelayan. Gelombang akan mengantar nelayan menuju sumber penghidupan. Tak ada yang harus ditakutkan. Hal ini selalu ditanamkan ayah pada teman-temannya, termasuk pada anak-anaknya, tak terkecuali diriku. Memang ayah dikenal sebagai penyemangat di kalangan nelayan lainnya. Bila nelayan-nelayan lain berputus asa menghadapi sedikitnya hasil tangkapan, maka ayah akan membakar semangat mereka. Ia meminta para nelayan melaut lebih jauh lagi hingga didapat hasil tangkapan yang memuaskan.

Tapi aku tak tahu mengapa, setiap kali ayah dan saudaraku yang lain mengajakku melaut, aku selalu enggan. Sudah berkali-kali kukatakan pada ayah dan saudara-saudaraku bila aku takut akan gelombang yang setiap saat menelanku. Lantas, ayah marah bila aku selalu mengatakan hal yang sama. Terkadang ia sampai memukul pantatku hingga aku menangis sekerasnya. “Tidak ada gelombang besar. Kamu tidak boleh jadi penakut. Kamu itu lelaki yang tumbuh di lautan”, tandas ayah di tengah tangisanku. Namun biasanya ibu akan mendekatiku dan menenangkanku. “Cup cah bagus, ayahmu hanya ingin kamu berani melaut. Kamu harus berani nak. Gelombang itu tidak menakutkan!”, tukas ibu sembari menggendongku. Setelah itu segalanya akan berlangsung seperti biasa. Aku bersembunyi menghindar tiap kali ayah mengajakku melaut.

Suatu ketika, aku bernasib sial. Saudaraku tertuaku memergokiku sedang bermain di tempat penjemuran ikan. Ia mendekapku dengan erat. Aku meronta semampuku. Akan tetapi sia-sia. Tubuh kakakku terlalu kuat untuk kugoyahkan. Aku hanya bisa menangis sekeras mungkin. Sedang tubuh kecilku ini sudah pasti akan dibawa ke kapal, melaut bersama ayah dan nelayan lainnya.

Hawa pengap dan amis ikan segera menyergapku. Begitu juga dengan ayunan gelombang yang menghentak kapal. Seketika itu aku merasa pusing. Aku tak berani menatap sekitar. Tubuhku meringkuk di sudut kapal sembari menangis sekuatku. Nelayan yang lain hanya tertawa melihat tingkahku. Tapi tidak dengan ayah. Ia langsung menentengku, membawaku ke bagian depan kapal. “Lihat ke depan. Tidak ada yang harus kamu takutkan”, seru ayah.

Aku terus menangis sambil melihat ke depan. Tampak hanya ada hamparan gelombang laut dan garis khayal pertemuan antara langit dan lautan. Aku lantas terdiam memandang apa yang tergelar di depanku. Sungguh indah. Lebih indah disbanding pemandangan serupa yang kusaksikan di daratan. Mengetahui tangisku mulai lerai, ayah langsung mengelus rambutku. “Bagaimana Nak? Tak ada yang harus kamu takuti kan?”, kata ayah sambil mengecup ubun-ubunku.

Ayah pun melepas gendongannya pada tubuhku. Perlahan ia meninggalkan aku. Sementara aku masih termangu di pinggir kapal, membiarkan gelombang menggoyang tubuhku. Aku masih terpana oleh pemandangan yang baru saja kusaksikan. Lalu aku menengok ke bawah, berkaca pada gelombang yang masih menderu. Aku menyaksikan bayanganku terpantul kabur, bersahutan dengan gelombang laut yang terus saja bergerak. Gerakan lamat-lamat yang bisa kupandang. Bahkan kunikmati bersama air mataku yang mulai mengering.

Hari-hari selanjutnya, aku berani ikut rombongan ayah melaut. Aku mersakan goyangan gelombang sebagai suatu buaian. Bagaimana sinar matahari yang memantul di lautan membuat imajinasiku melayang. Terkadang aku memikirkan gelombang itu tiba-tiba menjelma sekawanan kupu-kupu. Melayang dengan lincah di atas lautan. Lalu, tiba-tiba seekor ikan berukuran lumayan besar melesat, menenggak kawanan kupu-kupu itu. Tidak hanya sebatas ikut melaut, kala fajar belum menyingsing aku telah berdiri di bibir pantai. Merasakan bagaimana gelombang laut memerciki kakiku.

Gelombang laut makin lama makin menjadi-jadi di depanku. Ia seolah memainkan sebuah pertunjukan besar. Aku kerap menyaksikan sebuah kapal rakssa menyembul dari balik gelombang. Kapal yang berukuran lebih besar dari kapal yang biasa digunakan ayahku melaut. Kadang juga wujud satria berkuda yang berderap di atas laut. Ia berlari menuju arahku yang diam termangu di bibir pantai. Lantas ketika akan menerjangku, satria berkuda itu pecah, menjelma kembali gelombang yang menabrak tubuhku. Aku tersadar bahwasanya tubuhku baru saja diguyur oleh sepercik gelombang. Gelombang yang selalu kupermainkan dan mengajakku bermain-main.

Aku belajar untuk menggambar wujud-wujud yang dibentuk oleh permainan gelombang. Aku menorehkan coretan di atas pasir. Coretan beraneka ragam. Ada kalanya sesosok satria, kemudian sepasang pengantin yang berjalan di atas lautan, atau pun seekor elang yang melesat tiba-tiba dari balik gelombang. Coretan yang selanjutnya mewarnai pesisir pantai dan membuat para nelayan terheran-heran dengan tingkah polaku.

Seiring berlalunya waktu, gelombang masih terus berderap di dalam otakku. Ketika aku telah bersekolah kebiasaanku menggambar gelombang masih terus berlanjut. Intensitasnya bahkan semakin menggila. Sepulang aku bersekolah sampai menjelang malam aku masih duduk di bibir pantai, sembari menunggu gelombang membentuk dirinya jadi bermacam wujud. Termasuk wujud seorang putri rupawan. Lalu putrid itu berjalan perlahan menghampiriku. Terus aku mulai menggambarnya di atas buku gambar, memberinya gaun beraneka ragam yang terbuat dari butiran gelombang pula. Aku melakukan hal ini ketikahampir malam dan bulan purnama menjelang. Namun seperti sebelumnya terjadi, gelombang itu tak pernah membentuk dirinya menjadi seorang putri. Aku pun tetap termangu di bibir pantai.

Bahkan aku lebih sering terduduk sendirian ketika malam. Menanti putri rupawan melangkah pelan ke arahku. Menjulurkan tangannya dan ia mengajakku berdansa. Seolah aku adalah seorang pangeran yang telah lama dinantinya. Lalu kami berdua pun berdansa, beriring musik gelombang yang terus bergulung tanpa henti. Tanpa pernah mengenal waktu. Tak hanya di atas gelombang. Aku berdansa dengan sang putri di atas kertas putih yang telah kupersiapkan. Kertas yang akan tergores dengan sapuan gerakan lembut kami berdua.

Ternyatalah, putri rupawan hanya gejolak dalam hatiku yang tak mampu kuredam. Gejolak yang muncul dari kegilaanku terhadap gelombang. Gelombang yang semula kutakuti ternyata jadi bagian tak terpisahkan dalam hidupku. Aku merasa tubuhku turut tercipta dari tetesan gelombang dan sedang menunggu suatu penyatuan dengan gulungan gelombang.

***

Kini aku hidup di kota besar dan bekerja sebagai seorang kasir. Sudah 14 tahun aku meninggalkan desa, meninggalkan terjangan gelombang yang telah menempa dan membentuk diriku. Kali terakhir aku melihat gelombang di desa 7 tahun lalu, ketika menghadiri pemakaman ayah. Seorang lelaki tua yang begitu bangga pada gelombang hingga nafas terakhirnya. Ia tetap gagah meski dibalut tubuh renta. Berada di tengah gelombang untuk mencari sebanyak mungkin ikan. Menurut saudara-saudaraku, ayah memang sempat melaut sebelum ia mangkat.

Aku menyaksikan telah banyak yang berubah di desaku. Tempat aku biasa berdiri menatap gelombang telah digerus oleh gelombang. Maka pemerintah setempat membangun pemecah gelombang agar gerusan itu tidak sampai pada rumah penduduk. Kukira gelombang merangsek memakan pantai karena kerinduan mereka pada diriku. Kerinduan yang sangat terlalu hingga mereka berderap kencang mencari diriku. Aku tak pernah ragu akan hal itu.

Di kota aku sangat tersiksa. Tak ada gelombang yang dapat aku abadikan. Setiap aku berjalan-jalan di tengah kota, yang kulihat hanyalah gelombang yang telah terpecah pada aliran sungai-sungai kecil yang kotor. Dan di sungai yang kian keruh itu, aku mendengar mereka merintih merasakan perilaku manusia kota yang tak pernah benar-benar memahami mereka. Rasa sakit mereka sampai ke telingaku, mengiris-iris hatiku. Membuat darahku memanas dan menderu kencang. Aku sudah tidak kuasa mendengar rintihan mereka.

Di tepian pantai kota yang juga kotor, aku mencoba menggambar gelombang sebagai mayat-mayat yang bangkit. Dan dalam kesenyapan malam, mayat-mayat itu melangkah dan mengepung kota yang tengah terlelap. Wajah mereka teramat mengerikan. Tangan mereka yang penuh darah memanjang, mencari tubuh manusia. Lalu mayat-mayat itu masuk dalam mimpi manusia, menghantui mereka, lantas menenggelamkan mereka dalam satu terjangan gelombang besar. Manusia tak berdaya. Mereka kelam dalam keganasan gelombang. Termasuk diriku.

*) mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Sabtu, 03 Desember 2011

Iwan Simatupang, Pembaru Sastra Indonesia

Nelson Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

IWAN Simatupang, lengkapnya Iwan Martua Dongan Simatupang, merupakan bungsu dari lima bersaudara. Lahir di Sibolga, Sumatera Utara, pada 18 Januari 1928. Dan wafat di Jakarta 4 Agustus 1970. Pendidikan Iwan di SMA Padang Sidempuan terhenti karena Agresi Belanda II (1948), lalu ia pun aktif sebagai Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Setamat HBS V/B Medan (1953) ia masuk Sekolah Kedokteran Surabaya, tidak tamat, lantaran berangkat ke Negeri Belanda.

Iwan mendalami Antropologi Budaya di Leiden (1956). Mengikuti Full Cource International Institute for Social Studies di Den Haag, dan Ecole d L’Eroupe (Brugge) di samping menekuni drama di Amsterdam (1957). Kemudian ia juga belajar Filsafat Barat pada Prof Jean Wahl di Sorbonne University (Paris, 1958) sambil bekerja di restoran untuk menghidupi keluarganya.

Akhir 1958 Iwan kembali ke Tanah Air. Menetap sebentar di Cipanas, lantas pindah ke Bogor, menghuni Hotel Salak Kamar 52 yang kemudian melegenda menjadi gelarnya: “Manusia Hotel Salak Kamar 52″.

Pada mulanya Iwan Simatupang dikenal sebagai esais yang berhasil mengintroduksi pemikirannya yang tajam, bernas lagi orisinal. Esai-esainya disinyalir membuat orang ternganga dan, dalam keadaan demikian orang cuma bilang: esai-esai Iwan unik!

Setelah itu dia juga menulis puisi, drama yang di antaranya terdapat lakon Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar, Taman, Kaktus dan Kemerdekaan serta RT Nol, RW Nol. Sejak 1959 ia mulai membuat cerpen, kemudian, sebanyak 15 buah dikumpulkan dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (Sinar Harapan, 1982).

Bagi Iwan mengarang cerpen tidak lebih daripada sebentuk “pemanasan” dalam rangka menggarap hal yang sesungguhnya novel. Dan novel dimaksud memang telah rampung, empat buah: Merahnya Merah (Gunung Agung, 1968) yang meraih Hadiah Seni untuk Sastra Tahun 1970 dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ziarah (Djambatan, 1969) yang memenangkan Hadiah Sastra ASEAN 1977 untuk jenis novel/prosa, Kering (Gunung Agung, 1972) dan Kooong (Pustaka Jaya, 1975).

Kehadiran cerpen apalagi novel Iwan membuat orang jadi gregetan. Cerpen maupun novel itu mirip esai, tidak logis, irrasional, inkonvensional dan lain sebagainya. Maka muncullah tanggapan tertulis dari Boen S. Oemarjati dalam majalah Sastra, yang (menurut Iwan dalam tanggapan balik atas Boen) menolak cerpen Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu.

Polemik Boen-Iwan ternyata menggugah sastrawan untuk buka mulut. Tercatatlah pembicaraan serta resensi relatif panjang yang ditulis HB Jassin (1963, 1968), Gayus Siagian (1963), Alfons Tarjadi (1969), Wing Karjo (1969), Umar Junus (1971), Henri Chambert-Loir (1971), dan Goenawan Mohamad (1972). “Tulisan-tulisan Iwan tidak sama dengan karya-karya mayoritas prosais Indonesia,” kata Satyagraha Hoerip. Konfliknya, maraton. Intens. Ke segala arah, termasuk terhadap dirinya sendiri. Ibarat penyair, Iwan terasa benar bahwa ia senantiasa menimang kata-katanya. Sehingga kata-kata dan kalimat-kalimat itu bukan hanya mendukung jalan cerita, tetapi juga mewarnai “keindahan” serta “filsafat” yang diusung ceritanya.

“Karya-karya Iwan berupa prosa lebih menampilkan suasana esai daripada sekadar bercerita,” tulis Abdul Hadi WM pula. Iwan jelas lain daripada cerpenis atau novelis lain. Dalam karya-karya Iwan kita dihadapkan pada masalah keberadaan hidup yang tak terpahami, tak punya alasan, terlempar begitu saja ke tengah kehidupan. Dan tema pokok lain yang menonjol dari Iwan adalah kegelandangan. Kegelandangan batin.

“Kalau ia simbol,” tambah Abdul Hadi, “maka itulah dunia kaum seniman dan intelektual. Cemooh, protes dan sinisme menonjol pula dan ini menggambarkan keadaan kita Indonesia dalam kemelut sosial maupun politik.”

Pertanyaan tentang apa, bagaimana, mengapa, siapa, dari mana hendak ke mana dan sebagainya terhadap diri sendiri, dan makna keberadaan manusia di muka bumi dipertanyakan secara intensif sehingga tokoh-tokoh dalam karya-karya Iwan sampai pada kesadaran untuk berbuat nekat seperti menggantung diri, menabrak kereta api dan lain sebagainya untuk pemenuhan eksistensi. Sudut kreatif dari kesadaran ini membawa kita kepada interpretasi tentang kewajaran manusia untuk melakukan sesuatu dalam batas-batas kemampuannya.

“Komitmen Iwan dengan masalah sosial masyarakatnya cukup besar,” tukuk tambah Korrie Layun Rampan, “dan sebenarnya itulah yang dikemukakannya dalam karya-karyanya yang avant-garde, yang mendahului zamannya.”

Sedangkan M Djufri menulis, “Iwan Simatupang merupakan novelis yang tangguh dalam perkembangan kesusastraan Indonesia mutakhir.” Pemakaian bahasanya begitu liat serta tak boros dengan kata-kata. Kata demi kata, kalimat demi kalimat dibangunnya secara bagus. Karakterisasi pola pelakunya juga begitu dominan dalam novel-novelnya. Dalam menggarap perwatakan pelaku, kecenderungan yang diamati Iwan Simatupang memang bukan hanya sekadar melengkapinya dengan nama-nama pelaku. Baginya nama-nama setiap pelaku dalam novelnya tidaklah begitu dipentingkan. Sementara Farouk HT mengungkapkan bahwa karya-karya Iwan memang merupakan suatu gejala yang mengagetkan pembaca atau pencinta sastra, mengagetkan kehidupan sastra secara keseluruhan.

Dan kemudian ada pula yang mengatakan bahwa karya-karya Iwan bersifat “metafisis”, “roman batin”, novenu roman. Bahwa (karya) Iwan banyak dipengaruhi oleh karya-karya asing, sebagaimana disinyalir Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang: “… terdapat kesan ada persamaan novel-novel Iwan dengan novel-novel kesadaran baru (the stream of conciousness novel), atau subyektif di Perancis….”

Sementara menurut Iwan, masyarakatlah yang kudu gila, karena sudah terlalu banyak mengalami distorsi. Jadi tokoh-tokoh yang nampaknya gila itu tidak gila sebenarnya sebenarnya kitalah yang tidak normal lagi. Tokoh-tokoh yang murni berhak mutlak-mutlakkan, karena tokoh-tokoh itu merupakan protipe atau penokohan suatu ide yang ideal.

Singkat kata, sebagian besar pencinta sastra, terutama kritikus sastra di negeri ini, mengakui bahwa karya-karya Iwan Simatupang selalu memperlihatkan trend baru yang memberi warna serta arti tersendiri bagi perkembangan sastra Indonesia. Ya, dalam berkarya Iwan telah berhasil menemukan satu bantuk baru yang lain daripada yang lain, baik dari segi tema, plot atau alur, penokohan (untuk cerpen dan novel) dan gaya bahasa untuk semua jenis karya sastra yang telah ditulisnya. ***

* Nelson Alwi, Esais /26 November 2011

Detektif di Ladang Sastra

Khudori Husnan *
Pikiran Rakyat, 31 Okt 2010

DARI cara pandang Binhad Nurrohmat kritik sastra selalu perspektif (“Kritik dan Hama Sastra”, Pikiran Rakyat, 19 September 2010). Menurut dia, “perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna.” Dua pekan dari tulisan tersebut Maman S. Mahayana menjawab “perspektif dalam kritik sastra bukanlah pendekatan … Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, relatif, dan perspektif.” (“Seolah-olah Kritik Sastra”, Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2010). Dua tulisan tersebut berhasil memicu hasrat untuk memikirkan kembali peran kritik dan kritikus sastra.

Atas pernyataan Nurrohmat di atas Mahayana wajib resah karena bila penyataan tersebut diterima sepenuhnya kemungkinan besar kurikulum sastra dan kritik sastra semakin jauh terabaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jika ruang lingkup kritikus sastra direduksi menjadi sekadar ilmu perspektif maka semua orang, dengan kekayaan sudut pandang (baca perspektif) masing-masing dapat dengan mudah menjadi seorang kritikus. Lalu bagaimana peran program studi ilmu sastra? Uraian saya tak akan melebar ke arah sana.

Kajian atau kritik sastra merupakan bidang penulisan yang berupaya memberikan dasar rasional atas keyakinan bahwa kajian-kajian sastra mampu menciptakan pengetahuan yang bernilai dan bermakna secara akademik. Sementara itu, perspektif, yang dipahami Nurrohmat, tampaknya serupa teropong. Jika kita mengamati pohon cemara dengan menggunakan teropong dari jarak tertentu, yang tampak hanyalah bagian tertentu dari cemara. Dalam arti ini, perspektif nyata benar keterbatasannya karena keseluruhan cemara tak seluruhnya mampu teramati. Akan tetapi, bukankah pada hampir benak semua orang dengan kelengkapan pancaindra tercetak gambar bahwa cemara adalah sejenis pohon yang memiliki batang, dahan, daun, ranting, akar, dan lain sebagainya?

Keterbatasan yang melekat dalam perspektif tidak pernah terbatas secara total. Potensi untuk melampaui keterbatasan tersebut tetap ada. Mengikuti argumentasi kaum eksistensialis ketika seseorang seperti kritikus, seniman, penyair, ilmuwan, dan lainnya, mengetahui keterbatasannya, ia sesungguhnya memiliki potensi untuk melampaui keterbatasannya. Aktualisasi dari potensi tersebut terwujud melalui apa yang disebut sebagai pemaknaan.

Cemara di tangan Chairil Anwar misalnya melahirkan baris puisi Derai-derai Cemara yang anggun dan memesona; Cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan jadi malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam. Pemaknaan serupa juga dilakukan oleh kritikus sastra yang bersahaja yakni yang dapat memaparkan secara argumentatif penilaiannya atas karya sastra dan karya yang dihasilkan kritikus mampu melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru baik dari segi khazanah sastra sendiri maupun dari aspek sosialnya yaitu mampu menggerakkan pembacanya.

Penyataan Nurrohmat bahwa “kritik sastra yang baik adalah laku komunikasi yang memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra” baru efektif jika sebelumnya melibatkan apa yang disebut Mahayana sebagai apresiasi.

**

SESEDERHANA itukah persoalannya? Tidak. Hubungan antara kritikus sastra dan karya sastra pada mulanya adalah hubungan antarbahasa jadi merupakan peristiwa bahasa. Bahasa yang dimiliki kritikus sastra di satu sisi dan bahasa, yang merupakan perluasan dari jati diri pengarang, yang tertuang dalam karya sastra di sisi lain. Pertanyaannya, yang dimaknai itu apakah bahasa-bahasa spesifik dan khas dari karya sastra atau sebaliknya sebelum mengulas karya sastra kritikus terlebih dahulu harus memahami kerangka konseptual (bahasa-bahasa umum) tentang bahasa yang kelak digunakannya untuk menganalisis karya sastra?

Ilmu bahasa mengalami perkembangan pesat. Dalam bahasa (pasca-Ludwig Wittgenstein) berlaku apa yang disebut tekstur terbuka dari bahasa (open texture of language). Frasa ini mau memperlihatkan bahwa bahasa selalu terbuka bagi kemungkinan tafsir-tafsir baru sehingga mengakibatkan tak adanya ketunggalan definisi dan pemahaman yang akurat tentang bahasa sebagaimana contohnya dapat kita simak pada pertikaian di wilayah tafsir atas pasal-pasal hukum di muka pengadilan dan tafsir terhadap risalah-risalah suci yang terkadang berujung pada pengusiran, pengejaran, dan penumpasan.

Sementara itu, Paul de Man dalam apa yang dikenang sebagai perdebatan Baltimore 1966 secara sinis menyatakan, sejarah sastra sebagai disiplin ilmu didominasi oleh konsep-konsep dengan watak dasar melakukan alegorisasi atas periode-periode dan tren-tren (Jean-Michel Rabaté, 2003:93). Artinya, konsep-konsep dipahami terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemahaman dan pemaknaan atas karya sastra. Atas dasar ini hubungan kritik sastra dan karya sastra berpotensi mengarah pada gejala seperti tecermin pada ungkapan pagar makan tanaman. Kritikus dengan aneka konsep dan definisi dengan meyakinkan mengobjekkan karya sastra.

Dalam mengapresiasi karya seni, tulis Walter Benjamin (1969:69), pertimbangan si penerima tak pernah dijamin berhasil. Ketidakberhasilan terjadi karena pertama sedari mula telah ditetapkan khalayak yang jadi pembaca. Kedua, pada sesat representasi, apa yang diimajinasikan pengarang berbeda dengan yang dibayangkan kritikus. Ketiga, konsep “yang ideal” menurut si penerima merugikan pertimbangan teoretik tentang seni yang pada keseluruhan aspeknya mengasumsikan eksistensi dan hakikat manusia. Demikian pula halnya seni. Seni mengandaikan eksistensi spiritual dan fisikal manusia. Benjamin menambahkan bahwa tak satu pun dari karya-karya seni berhubungan langsung dengan tanggapan-tanggapan atasnya.

Tak perlu cemas. Terlepas dari persoalan-persoalan di atas nyata bahwa tugas yang dipikul kritikus sastra, dengan berguru pada Benjamin, sekurang-kurangnya ialah ia dituntut untuk dapat menyeimbangkan tegangan antara aspek teoritik di satu sisi dan unsur puitik di sisi lain. Tingkat kesulitan dalam tugas seperti itu serupa dengan kerja seorang detektif swasta yang berniat menangkap pelaku pembunuhan berantai.

Seorang detektif berupaya memecahkan teka-teki dengan cara melakukan penelusuran atas jejak-jejak, mengumpulkan barang bukti, menanyakan pada saksi-saksi dan seterusnya untuk sekadar mencari tahu pola umum di balik kasus pembunuhan yang tengah dihadapi dan membekuk pelaku tetapi di saat bersamaan ia juga dituntut untuk selalu mewaspadai serangan tiba-tiba dan mematikan yang dilancarkan pelaku pembunuhan yang diburunya.

*) Khudori Husnan, pengkaji seni dan filsafat
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/10/detektif-di-ladang-sastra.html

Fitri Yani: Hidup Artistik dengan Seni

Ni’matus Shaumi
teknokraunila, 15 Nov 2008

IA kini jadi salah satu penyair muda Lampung yang cukup disegani. Kecintaan Fitri Yani kepada puisi membuatnya berkomitmen akan terus berkarya sampai kapan pun. Karena baginya hidup dengan kesenian adalah hidup yang artistik.

Perkenalannya dengan puisi dan sastra dimulai sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kala itu ia suka membaca pantun dan puisi yang ada dibuku- buku pelajaran Bahasa Indonesia. Sejak itu ia mulai tertarik dengan puisi dan sastra. Fitri mulai suka menulis puisi. Apalagi guru Bahasa Indonesianya kerap memberi tugas untuk membuat puisi dan mengarang. Puisi-puisinya pun sering menghiasi majalah dinding sekolahnya.

Hobi dan bakatnya terus berlanjut menginjak Sekolah Menengah Atas (SMA). Eksistensinya didunia sastra mulai dibuktikan saat ia berkesempatan mengikuti Bengkel Sastra siswa SMA Se-Bandar Lampung. Ia mendapat Juara II Penulisan Puisi. Mulai saat itu ia sering pula diminta teman-temannya membuatkan puisi khusus untuk mereka.

Ia selalu meluangkan waktunya ke perpustakaan sekolah untuk membaca majalah sastra Horizon atau buku-buku kumpulan puisi. ”Banyak puisi-puisi tidak saya mengerti karena bahasanya penuh dengan metafor,” kenangnya. Ia pun mulai membedah puisi-puisi karya penyair legendaris macam Chairil Anwar, ”saya suka puisinya yang judulnya Senja di Pelabuhan Kecil dan Doa. Saya juga kagum karya Willibrordus Surendra Broto Rendra atau WS.Rendra, puisi-puisi sosialnya menginspirasi diri,” ujarnya puitis.

Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKM BS Unila) menjadi pilihan menyalurkan hobi menulisnya saat kuliah. Ia memilih Divisi Teater dan Sastra. Iklim sastra di UKM BS tentu sangat mendukungnya belajar bagaimana menulis puisi yang baik. Ia semakin mencintai puisi, sastra, belajar menurunkan ego dan kerja sama, dan Sejak itu itulah ia bertekad tidak akan meninggalkan UKM BS apapun yang terjadi.

Banyak belajar dari senior

Eksistensinya terus diasah sampai saat ini dengan menjabat sebagai Ketua Bidang Program periode 2008-2009. Hal itu membuatnya harus pandai-pandai membagi waktu. Selain puisi, Fitri juga menyukai dunia teater. Berteater membuatnya mendapat hal-hal baru, membuatnya lebih percaya diri dan disiplin. Teater juga memengaruhinya dalam menulis. ”Walaupun capek latihan sampai jam 11 malam dan mengorbankan banyak hal tetapi ada rasa puas dan bangga,” ungkapnya seraya tersenyum.

Gadis berperawakan sedang, berkulit putih bersih, rambut lurus sebahu dan bola mata hitamnya yang tajam, ditambah dengan bentuk bibir yang sedikit lebar ini selalu ingin terus dikritik kepada siapa saja yang membaca karyanya. Senior-seniornya seperti Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian dan Lupita Lukman adalah orang-orang yang sangat memotivasi dirinya. Mereka tempatnya belajar.

Proses belajarnya tidaklah mudah. Suatu saat sepuluh puisi yang ditulis Fitri dicoret-coret seniornya. ”Apa ini! Ini bukan puisi! Menulis lagilah kamu sampai tulisanmu baik,” ujarnya menirukan kata seniornya. Itu tidak membuatnya patah arang, justru lebih semangat. Menurut Fitri, secara konvensional puisi yang dianggap baik adalah tidak terlalu dibebani pesan atau pikiran si penyair. ”Bang Ari pernah berkata kepada saya, untuk menjadi orang yang luar biasa kau harus menempuh jalan yang tak biasa pula.” Jalan tersebut menurut Ari mungkin amat jarang dilalui orang, jalan sunyi yang sarat harapan dan kenangan.

Proses dan hasil

Banyak hal dapat mempengaruhi seseorang menulis puisi, misalnya: mendengar musik-musik yang jarang didengar, membaca buku-buku sastra, membaca buku fiksi dan non fiksi. Seorang penyair harus memiliki pengetahuan serta wawasan yang luas. Puisi merupakan tulisan yang ilmiah dan nalar secara logika, karena penyair harus dapat mempertanggung jawabkan karya-karyanya kepada pembaca. Fitri mengatakan untuk menulis puisi haruslah penuh dengan imajinasi, pembaca yang kemudian menikmati dan memaknai.

Sudah ratusan puisi yang ditulisnya. Namun, ia mengaku jarang mengirim puisinya untuk dilombakan. ”Saya berpuisi untuk berkarya agar mencapai kesempurnaan,” akunya. Bagi sulung dari lima bersaudara pasangan Bapak Kalvin dan Ibu Tamimah ini, dengan menulis, memori yang tersimpan dapat dituangkan, sehingga banyak hal yang kemudian datang dan mengisi lagi ruang memori untuk kemudian dituliskan kembali. Menulis adalah perjalanan yang dinamis. Pengalaman yang berulang memang bisa berubah-ubah kategori pemaknaannya. Inilah keasyikannya bisa memahami setiap kejadian dalam perjalanan hidup. Menulis juga dapat membuat peka dengan hal-hal diluar diri sehingga karya bisa kita bagi dengan orang lain.

Tema puisinya bisa apa saja. Apa yang sedang dirasakannya, ya ditulisnya. Ia terus menjaga produktifitasnya sebagai penyair muda dengan terus menulis. Ia selalu belajar membagi waktu antara kuliah, menulis puisi, dan menghapal naskah drama. Harus ada energi lebih agar konsentrasi tidak pecah, ”aku kalo gak nulis selalu ngerasa gelisah,” ungkapnya. Ia juga kadang membutuhkan waktu refresh untuk mencari inspirasi baru.

Fitri paling tidak suka tidak melakukan apa-apa. ”Tiga hari saja tidak menulis, saya selalu bertanya-tanya ada apa dengan diri saya?” Kalau sudah seperti itu, ia merasa harus ada yang berubah dan mencoba bangkit. Setiap hari ia mencoba berpikir positif, ”aku harus terus mengosongkan gelas yang sudah penuh, untuk aku isi lagi dengan mengasah kemampuan,” kata Fitri filosofis.

Ia mencoba fokus dan total pada apa yang sedang dijalaninya. Ia menghindari malas dan ketergantungan pada rasa malas. Menulis merupakan proses yang cukup menyita pikirannya, dari menentukan tema, memeriksa dan meninjau kembali sudut pandang kesesuaian hasil editing dan garis besar puisi.

Kegigihan prosesnya tersebut tentu menuai hasil. Salah satunya, puisinya masuk dalam Kampung Dalam Diri, Antologi Puisi Temu Penyair Lima Kota (Payakumbuh, 2008). Selain itu teater yang pernah dipentaskannya antara lain Ipoh karya Athur S. Nolan, Titit karya Putu Wijaya, dan Mak Comblang karya Nocolai Gogol. Bahkan, saat ini naskah teaternya yang ditulis Fitri bersama dua temannya di UKM BS berjudul ”Suara-suara Dari Balik Jendela” dalam proses penggarapan. Rencananya karya tersebut akan diikutkan dalam Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO) di Bandung. Karya-karya Fitri dimuat media daerah dan nasional seperti Lampung Post, Kompas, Majalah Gong.

Menulis baginya jelas berbeda dengan teater. Alasannya, teater ada sutradara yang bertanggungjawab dalam mengatur latihan, sedangkan ketika menulis Fitri merasa harus bergelut dengan dirinya sendiri. Bagaimana tulisannya tidak hanya sebagai seni tetapi juga menjadi sastra ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.


begitulah aku,
melewati langit
tiap pintu waktu berderit


Pelampung Keramba

Fitriyani, 2007

BIODATA

Nama lengkap: Fitri Yani
Nama panggilan: Fitri
Tempat/tanggal lahir: Liwa, Lampung Barat, 28 Februari 1986
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Sebarus Liwa
- SLTP 1 Negeri Liwa
- SMU Negeri 8 Bandar Lampung
- FKIP PPKN Universitas Lampung

Organisasi:
- Anggota Divisi Teater dan Sastra UKMBS
- Kepala Divisi Teater dan Sastra UKMBS
- Kepala Program UKMBS

Karya
- Karya puisi dimuat pada harian umum Lampung Post, Majalah Gong, Kompas, serta terdapat dalam Kampung dalam Diri, Antologi Puisi Temu Penyair Lima Kota (Payakumbuh, 2008)”.
- Menulis skenario drama yang diadakan FESTAMASIO berjudul ”Suara – Suara dari Balik Jendela” bersama kedua temannya.

Dijumput dari: http://ulunlampung.blogspot.com/2008/12/ekspresi-fitri-yani-hidup-artistik.html

Puisi, Korupsi, & Kritik Tradisi

Munawir Aziz*
Pikiran Rakyat, 5 April 2009

KORUPSI menjadi polemik dan bencana dan ruang kehidupan bangsa ini. Menghadapi polemik ini, sastra bertugas memberi wawasan segar dan pencerahan kreatif kepada publik luas, agar menghindar dari jerat korupsi. Virus korupsi seolah menggerakkan energi iblis untuk melahirkan setan-setan baru yang menghancurkan negara dan tatanan kehidupan. Masa depan bangsa ini dihimpit suramnya badai korupsi. Di tengah badai, sastra bertugas menangkis korupsi dengan menginspirasi pembaca sebanyak-banyaknya agar menghindar dari terjangan korupsi.

Karya sastra yang lahir untuk mencerdaskan bangsa ini, hendaknya menempatkan antikorupsi sebagai wacana yang terus dikampanyekan. Tanggung jawab sosial sastrawan adalah mengupayakan perbaikan hidup dengan menjelaskan kondisi kritis yang merenggut masa depan bangsa ini. Maka, karya sastra yang menggambarkan perlawanan terhadap tradisi korupsi patut didukung dengan pemikiran dan gerakan kongkret.

Melawan korupsi berarti menyiapkan mental dan diri menggempur kemapanan birokrasi. Kritik sosial semacam ini, akan meletup dalam diri sastrawan yang tak mau dikekang kejumudan. Sastrawan dan seniman yang menghamba pada kemapanan birokrasi hanya akan menghasilkan dengan nafas pendek. Kampanye antikorupsi dalam karya sastra mengharuskan konsistensi dalam pikiran dan tindakan. Kampanye antikorupsi yang meletup akan menjadi perjuangan kreatif penuh risiko, namun menjadi panggilan hidup dan refleksi penting. Puisi antikorupsi merupakan jalan kreatif untuk mengutuk kebusukan birokrasi dan mengimpikan masa depan cerah bangsa ini.

Perjuangan kreatif inilah yang akan menjadikan nama penyair terekam dalam keabadian. Sebaliknya, ketika penyair hanya terdiam menghadapi badai krisis sosial, menjadi epigon, dan makelar sastra, maka karya yang lahir hanya akan singgah sejenak pada beranda sejarah, selanjutnya tenggelam dan diterpa arus tren baru yang lebih relevan. Penyair yang setia pada penciptaan puisi, berfungsi sebagai aktor yang mengendalikan lorong komunikasi dalam jengkal syairnya, dengan menampilkan nilai-nilai baru (new values) yang bermanfaat bagi masa depan sastra negeri ini. Untuk itu, penggalian terhadap tema-tema sosial hendaknya melalui filter kontemplasi dari ruang batin.

Sudah selayaknya lorong puisi negeri ini memunculkan karya kreatif yang tak tunduk pada kanon sastra yang lazim diikuti, atau setelah ditahbiskan sebagai “selera zaman”. Perjuangan menemukan celah kreatif yang tak sekadar berbeda, tetapi menyuguhkan jalan dan bentuk baru dalam khazanah sastra negeri ini.

Jalan sunyi yang ditempuh penyair, merupakan perjuangan kemanusiaan dengan sayap kreatif luar biasa. Penyair yang setia menampilkan kritik sosial dan jejak kreatif dalam derap sajaknya, akan tercatat dalam naskah sejarah kesastraan. Hal inilah, yang menjadikan Widji Thukul—penyair dan aktivis sosial—dari Solo, sajaknya menjadi “lagu wajib” bagi aktivis mahasiswa, hingga detik ini. Widji THukul melancarkan sajak-sajak kritik sosial, hingga menjadikan dirinya “lenyap” tak berbekas, ketika hegemoni Orde Baru masih menancap di bumi pertiwi. Dengan demikian, bukan dentuman karya yang menjadi “air bah” dalam panggung sastra, akan tetapi subtansi dan kecemerlangan karya, yang akhirnya memberikan kontribusi penting bagi perkembangan kehidupan. Pada konteks inilah, ucapan Heidegger (dalam Urterwegs zur Sprache) bahwa “setiap penyair besar hanya menghasilkan sebuah syair” menjadi kalimat penting.

Wacana korupsi

Dalam letupan puisi di panggung sastra negeri ini, wacana antikorupsi yang sublim dalam deretan sajak penyair disuarakan secara lantang. Adalah F. Rahardi, penyair dan wartawan, menulis kumpulan sajak “Catatan Harian sang Koruptor” (1985). Dalam buku ini, F. Rahardi merangkum 48 sajak yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi realitas kehidupan.

Sajak F. Rahardi sarat dengan kritik sosial terhadap keserakahan, wajah pemerintah, paradoks keadilan, dan perilaku koruptor yang melukai hati rakyat. Sebagaimana dalam puisi “Tentang Tikus” ini; Tikus tikus jorok itu melubangi kebun rakyat/ dan mencuri cek lembar demi lembar/ Dan menumpuknya dalam gudang 75 cm/ di bawah permukaan tanah. Kukerahkan herder/ kusiapkan sekop/ kubongkar dan kutumpas tikus-tikus yang bodoh dan memalukan. Bagiku,/ cek, bini muda, mobil/gedung atau karet KB/semuanya bernyawa dan punya kaki/ mereka tak pernah kukejar/ kucari-cari atau kucuri/ mereka semua datang sendiri/ tiap hari sebagai upeti. Sajak ini, walaupun ditulis puluhan tahun lalu, akan tetapi masih relevan dengan konteks sosial politik yang terjadi saat ini. Korupsi menjadi hantu yang membayangi kehidupan dan merasuki tubuh pejabat negeri ini, hingga mencederai amanat rakyat.

Suara hati F. Rahardi menjadi penanda (sign) betapa virus korupsi begitu parah merasuk dalam kehidupan bangsa ini. Dalam sajaknya yang lain, F. Rahardi merefleksikan situasi dalam ruang pengadilan yang penuh dengan muslihat. Seperti petikan sajak “Pledoi di Meja Hijau”: Tuan Hakim Ketua dan Anggota/ Saudara Jaksa/ Rekan Saya Pembela/ Dan Hadirin semua. terlebih dahulu/ kenalkan: aku ini hewan kurban/ —bukan koruptor—/ seperti tuduhan jaksa/ atau pers Indonesia. Penyair F. Rahardi menuliskan perenungannya akan kondisi hukum negeri ini, dengan perspektifnya sebagai penyair, sekaligus wartawan yang setiap hari bergelut dengan problem politik dan hukum. Selanjutnya, Korupsi itu/ kalau toh dianggap ada/ mustahil bisa dibasmi dari muka bumi/ termasuk negeri ini/ tapi dalam hal ini upaya saudara jaksa/ bagaimanapun juga sangat saya hargai. Ungkapan ini menjadi sentilan kepada lembaga hukum negeri ini, ketika menghadapi kasus korupsi sekan berbelit-belit. Selain itu, sajak ini mengungkapkan paradoks keadilan di negeri zamrud khatulistiwa.

Di ranah hukum, koruptor yang merugikan negara dalam jumlah besar, sekan bebas mempermainkan, sedangkan warga kecil dengan balutan kemiskinan menjadi pesakitan ketika tertimpa kasus hukum. Selain F. Rahardi, belakangan ini muncul ratusan penyair yang menggemakan kritik antikorupsi dalam deretan sajak.

Riuhnya kritik sosial dalam panggung sastra, semoga menjadi inspirasi bagi berbagai elemen bangsa untuk memperbaiki negeri ini. Kritik sosial yang menguar dari lubuk sastra, akan menjadi ekpresi kehidupan yang sesungguhnya. Hal ini senada dengan analisis Nyoman Kutha Ratna (2005) bahwa kaitan antara sistem estetika dan sistem sosial tampak apabila karya sastra dilihat melalui dimensi-dimensi sosiokulturalnya. Artinya, karya sastra dianggap melalui manifestasi intensi-intensi struktur sosial tertentu, baik sebagai afirmasi (pengakuan), restorasi (pengembalian pada semula), dan inovasi (pembaruan), maupun negasi (pengingkaran). Melalui medium bahasa, karya sastra menampilkan ekspresi kolektivitas tertentu, sebagai pandangan dunia. Hal ini menjadi spirit penyajian refleksi melalui lorong sastra.

Kampanye antikorupsi dan kritik sosial lain yang menggema dalam karya sastra, diharapkan menjadi inspirasi terbukanya ruang kesadaran elite politik negeri ini untuk memperbaiki kinerja dan mengayomi rakyat. Dengan demikian, cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) akan tergapai. Dan lewat panggung sastra, spirit inilah yang terus dikobarkan.***

* Munawir Aziz, Koordinator Divisi Riset Sampak “Gus Uran” dan peneliti di Cepdes, Jakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/04/puisi-korupsi-kritik-tradisi.html

(Sekali Lagi) Membincang (tentang) ”Sastra Pesantren”

Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/

”Kalau ada sastrawan kita yang merasa terpanggil untuk menggarap kehidupan pesantren sebagai objek sastra nantinya, terlebih dahulu harus diyakininya persoalan-persoalan dramatis yang akan dikemukakannya. Tanpa penguasaan penuh, hasilnya hanyalah akan berisi kedangkalan pandangan belaka” (Abdurrahman Wahid, 2001)

Bagi penulis yang tidak terlalu akrab dengan kehidupan pesantren, pernyataan di atas sesungguhnya menyimpan kemasygulan. Bagaimana mungkin bagi diri penulis untuk menulis sastra dengan menjadikan pesantren sebagi objeknya, sementara penulis sendiri tidak terlalu akrab dengan dunia pesantren itu sendiri?

Barangkali inilah yang pernah disebut oleh sastrawan-penyair Acep Zamzam Noor—seperti apa yang dirasakan oleh penulis—sebagai ’beban’ tersendiri ketika ingin bersastra-pesantren, menulis sastra pesantren, atau sekian embel-embel lain yang berkaitan dengan sastra-pesantren. Di sisi lain, penulis sepakat dengan ungkapan Gus Dur di atas bahwa harus ada ’pendalaman’ secara pribadi terhadap kehidupan pesantren. Dari ’pendalaman’ itulah akan muncul ’penguasaan penuh’ terhadap apa yang disebut sebagai pesantren.

Membincang sastra pesantren, sesungguhnya tak akan pernah selesai dus secara terminologis (istilah). Beberapa waktu lalu memang sempat menjadi hangat perbincangan—kalau tidak boleh disebut sebagai polemik—tentang apa sesungguhnya yang disebut ”sastra pesantren” itu? Apakah segala karya cipta sastra tentang dunia pesantren dan seisinya ataukah suatu karya sastra yang meski bukan berkisah tentang pesantren, namun ditulis oleh seorang santri dari sebuah pesantren? Penulis yakin tidak ada yang bisa dikatakan baku dari pengertian sastra pesantren. Ia akan berkembang dengan sendirinya seiring waktu yang berubah.

Pesantren dan dunianya menurut hemat penulis adalah sebuah warna (dalam bahasa Gus Dur kerap disebut dengan subkultur) yang tersendiri dari elemen-elemen kehidupan negeri ini. Pesantren memiliki kehidupan yang unik, bukan saja karena ia ’berbeda’ dari kehidupan masyarakat pada umumnya, melainkan lebih dari itu, pesantren menjadi tempat yang subur bagi bersemainya nilai-nilai luhur ajaran agama. Ia menjadi benteng moral dari kebobrokan zaman yang mengalir deras di dunia luar. Tempat menjadikan nilai luhur sebagai tradisi menyehari-hari ini jugalah yang terbukti melahirkan manusia-manusia tangguh ketika menghadapi hidup di kemudian hari.

Denyut kehidupan di pesantren yang berkisar antara bilik-bilik kamar (asrama), masjid/mushola pusat sebagai tempat beribadah (beberapa mungkin juga dijadikan sebagai sarana halaqoh/belajar bersama) dan ruang-ruang kelas bagi pesantren yang menerapkan model belajar klasikal, dan kediaman pengasuh (kiai) adalah menyimpan berjuta inspirasi yang tak ada habisnya untuk dituangkan dengan tetesan pena membentuk karya sastra. Akan tetapi, dalam sejarah sastra di negeri ini penggarapan karya sastra berlatar belakang pesantren seperti dimaksud penulis di atas, belumlah lama. Tercatat baru di tahun 50-an dan 60-an, seorang bernama Djamil Suherman yang mengenyam kehidupan pesantren, aktif menggarap pesantren sebagai latar karya-karyanya berupa cerita-cerita pendek.

Di tahun-tahun belakangan ini, kita mengenal pula muncul nama orang-orang dari latar belakang pesantren yang juga menuliskan karya terkait pesantren. Ada KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang begitu menonjol dengan karya sufistik-religi (Keislaman) melalui puisi dan cerpen-cerpennya, Acep Zamzam Noor yang juga penyair, Jamal D Rahman, Ahmad Tohari, Alm. Zainal Arifin Thoha, untuk menyebut sedikit saja dari nama-nama yang akrab di hati penulis, sampai pada perkembangan sastrawan periode-periode muda sekarang yang banyak sekali jumlahnya. Mayoritas mereka adalah santri atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

Nama-nama yang dikenal penulis seperti di atas, bergelut di dunia pesantren dengan kesungguhan yang tidak diragukan. Meski harus diakui bahwa pesantren (manapun) tidak pernah memasukkan kurikulum ”belajar sastra” secara khusus dalam pendidikan yang dilangsungi, namun justru mereka dengan keinginan sendiri secara mandiri bergelut dengan ruang-ruang penempaan batin yang luar biasa untuk menuliskan suatu karya. Iklim yang ada di sebuah pesantren menurut hemat penulis, menyediakan diri sepenuhnya bagi santri untuk merenung, membaca, menulis sekaligus meresapi hal-hal yang sulit sekali untuk dijelaskan dengan dunia nyata. Maksudnya, resapan-resapan atas kehidupan yang bernilai yang hanya mampu dituangkan dalam karya. Biasanya ada pula beberapa dari santri itu membentuk komunitas dalam sebuah pesantren. Tentu saja hal ini bisa terjadi bila ada dukungan penuh, misalnya dari sesepuh atau pengasuh pesantren itu sendiri. Juga hal yang tidak ketinggalan adalah minat baca-tulis santri sendiri. Seharusnya adalah hal yang niscaya terjadi di sebuah pesantren, tradisi baca-tulis ini menjadi bagian hidup santri. Bagaimana mungkin misalnya santri dapat melahirkan suatu karya tulis bila santri itu sendiri malas membaca dan menulis?

Sebagai penutup dari tulisan ini, barangkali ini menjadi kegelisahan penulis sendiri bahwa jika kita masih bingung merumuskan gagasan tentang apa itu sastra pesantren, lantas kita bisa berbuat apa? Penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa pergumulan dengan sastra pesantren adalah tidak perlu mengedepankan harus menghasilkan karya sastra murni pesantren. Harus segala yang berbau pesantren. Akan tetapi lebih luas dari itu, kita perlu mengeksplorasi nilai-nilai yang ditradisikan di pesantren untuk kita ajak keluar. Bagaimana nilai pesantren tanggap terhadap perubahan zaman, bagaimana pesantren merespon kehidupan yang telah sedemikian mengglobal di luar sana. Toh, sastra sudah semestinya meluas seluas semesta ini dan bukan hanya terkungkung di pesantren an sich.
Wallahua’lam bis showab

22 Juli 2009

CYBERSASTRA: PENTINGKAH?

Pengantar buku “SENYAWA KATA KITA” Antologi Puisi Komunitas Cybersastra TITAH PENA HAMBA – DISKUSI SASTRA ONLINE
Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Jika ada yang bertanya tentang muasal lahirnya buku Antologi Puisi SENYAWA KATA KITA yang sangat sederhana ini, maka jawabannya adalah: cybersastra. Ya, sebuah transformasi baru dalam laju periodisasi kesusastraan yang mulai familiar dikenal sejak sekitar tahun 2001. Atau lebih tepatnya kala budaya internet mulai mewabah dalam geliat kehidupan sehari-hari di seantero negeri. Tak dapat dipungkiri, bahwa kehadiran cybersastra memang telah membawa dampak besar dalam dunia sastra. Laksana tamu tak diundang yang datang mengetuk pintu hati para penggiat, pemerhati, hingga peneliti sastra yang selama ini seakan terkunci. Meski oleh berbagai kalangan, diam-diam masih menjadi perdebatan, apakah kehadiran gaya baru bersastra ini membawa hal positif atau negatif? Lantas, apa saja sebenarnya yang telah, sedang dan akan terjadi melalui cybersastra?

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati