Selasa, 28 September 2010

Menulis Cerpen, Jadinya Novel

Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/

SALAH seorang anggota Sekolah Menulis Paragraf (SMP) yang saya (dan beberapa kawan penulis Riau) gerakkan, sering tak bisa menulis cerpen yang “standar.” Selalu saja, cerpen yang ia tulis, panjang-panjang. Memang, kata “standar” itu batasan-batasannya masih relatif. Setidaknya kita bolehlah bersepakat dengan sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe, yang pernah bilang bahwa cerpen itu “dapat dibaca sekali duduk.”

Tapi, adik-adik, kecenderungan dan perkembangan proses kreatif si penulis tentu tak bisa begitu saja diatur-atur. Tak ada kata tidak boleh begitu, dan tidak boleh begini bagi si penulis ketika ia sedang masuk ke wilayah penciptaan. Menulislah dengan “merdeka.” Kemerdekaan ini sebetulnya yang lebih memberi peluang besar bagi si penulis untuk menghasilkan karya-karya yang “baru” dengan capaian-capaian estetika yang “luas”. Meski, memang, berbagai standar yang kerap kita temui selama ini, ya begitulah bentuknya puisi, ya begitulah pula bentuknya cerpen, atau novel, dan beberapa jenis lainnya.

Jadi, untuk memberi alternatif solusi bagi anggota SMP yang sering nulis cerpen panjang-panjang itu, saya sering menganjurkan untuk kenapa tidak sekalian menulis novel, atau yang lebih pendek dari itu, novelet. Caranya gampang, tinggal teruskan saja kisahnya, kalau perlu tambah tokohnya, settingnya, konfliknya, dan lain-lain. Tapi, jika tetap juga hendak menulis cerpen, ya tetaplah niatkan dalam hati bahwa yang akan ditulis ini adalah cerpen, meskipun kemudian hasilnya tetap panjang.

Nah, masalah yang kemudian muncul adalah, ketika cerpen itu akan dikirim ke media massa. Saya kira, semua media massa (baik koran maupun majalah) yang menyediakan ruang sastra tetap saja memiliki keterbatasan ruang. Meski belakangan, kita temukan juga media yang sengaja menampung kecenderungan cerpen seperti itu, semisal dulu ada Kalam, dan sekarang ada Jurnal Cerpen Indonesia, sesekali juga majalah sastra Horison. Jadi, tinggal pilih saja, media mana yang mau dituju.

Tapi, peluang yang cukup besar untuk pemuatan cerpen “standar” tentu ada pada koran atau majalah selain dua yang saya sebut di atas. Sebab, tak cuma satu-dua-tiga koran yang menyediakan rubrik sastra tiap minggunya. Juga cukup banyak tabloid, majalah, jurnal, yang serupa. Jadi, kalau memang ingin memanfaatkan peluang tersebut, ya berupayalah untuk menyesuaikan pendek-panjang cerpen kita dengan media yang hedak dituju. Apa upaya itu?

Ada banyak cara. Sebab bagi mereka yang punya “jam terbang” tinggi dalam menulis, tak ada masalah mau menulis cerpen dengan ukuran tertentu. Nah, untuk mencapai ke sana, berlatih yang keras dan displin, terus menulis dan menulis, membaca dan membaca. Apa kata orang, “ala bisa karena biasa” itu memang nampaknya perlu dibenarkan.

Baiklah, cerpen edisi karya Surya Ismail, berjudul “Sekolahku di Pedalaman”. Sebuah cerpen yang cukup mengharukan. Secara tematik, sebetulnya masih bisa dikembangkan dengan pendalaman-pendalaman. Bertuturnya terasa sangat sederhana, sehingga agak terkesan kaku. Tapi, jika mau terus berlatih menulis, saya kira, segera akan dapat teratasi.

Puisi, ada Melody, dengan “Sandiwara Hidup.” Dari judulnya kita dapat tahu bahwa puisi ini memang mengarah pada gambaran tentang realitas kehidupan yang umum. Jika lebih spesifik lagi temanya maka puisi ini akan lebih sublim. Berikut ada puisi “Kerinduan” karya Igustinna. Cukup baik memainkan impresi dalam puisinya. Diksi juga cukup mengarah pada suasana imaji itu. Lagi-lagi, sama dengan yang lain, masih lemah pada pendalaman tema.

“Tak Bisa Diam” puisi karya Zulkarnaen. Dari awal cukup baik menyusun diksi, tapi lemah pada bait-bait terakhir. Terlalu verbal jika diksi “bila hukum diperdagangkan” masuk da-lam puisi ini. Puisi lain, ada “Rebung” karya Lidya A Tina. Lebih kuat imajisnya. Simbol-simbol banyak dimainkan sebagai kekuatan puisi. Meski juga harus hati-hati bermain rima dan irama.

Puisi berikut karya Jumardi, berjudul “Air Mata.” Puisi naratif ini, cukup terang menyusun diksi. Kesedihan dan kelembutan, berpadu. Makna pun dapat kita ungkai dengan cukup mudah. Sementara “Rumah yang Dulu” karya Refila Yusra, lebih liris memainkan suasana. Tema percintaan memang menjadi sedikit berbeda karena beberapa diksi membuat lompatan. Meski harus terus berhati-hati menyeleksi kata-kata.***

LELATU DALAM TUNGKU

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Andaikata bapak benar, siapakah yang rela disekap di balik jeruji, karena membisikkan hasil-lamunan yang seronok? Oh, aku banyak sekali menyandang kemualan, kendatipun yang kukejar adalah kemuliaan. Aku banyak sekali tertikam runtuk-lantak, walaupun sedari muda, selalu berkeinginan untuk merangkum pesan nan khusus.

Sriatun ananda sayang.
Sekali lagi, bapaklah yang paling pantas dituding dalam peristiwa ini, nak. Andaikata bapak tidak terlalu lancang mengucapkan kata-kata demikian, mustahil lagu duka itu singgah di sukmamu. Aku masih juga kurang menyadari, dikau telah berangkat remaja, nak. Sewajarnya, bapak merengkuh lebih hati-hati lagi. Orang Jawa bilang, mengasuh seorang gadis lebih pelik dan sukar, ibaratnya mengawasi lelatu dalam tungku. Dibiarkan api menyala, akan hangus tanpa manfaat. Kalau api ditunggu dan ditiup tanpa menggunakannya untuk merebus ataupun memasak, sama artinya dengan percuma menggantang asap dalam ketidak-pedulian. Akan tetapi, tatkala seorang tua bicara tentang anak-anaknya, dia sering meluncurkan gagasan, betapa bahagia jika anak-anak cepat menjadi dewasa, mandiri, dan punya penghasilan.

Tetapi bapak justru masih bertanya: apakah pendidikan dan pengajaran juga memadai sebagai pengantar suksesnya menapaki jaladeri hayati? Ayahbunda manakah yang secara sepihak mengundang orang lain untuk ikut mendandani sisiran rambut putra-putrinya, kalau saja ia berpikir sehat: anakku mampu berdiri sebagai ‘Si Polan’.

Waktu Masmu Handoyo pulang, Nduk – bapak tak mengira, bahwa dia ternyata sangat kangen kepada kita seisi rumah. Sungguh, aku luar biasa girang, dan demikian juga ibumu. Karena di Proyek Irigasi Sumanding yang baru setahun diresmikan oleh Kepala Negara itu, Abangmu beruntung bisa diterima sebagai pekerja. Ya, walaupun sekolahnya terhenti hingga STM, dan bapak memang kurang mampu untuk melanjutkan sekolahnya hingga perguruan tinggi. Dua tiga kali ia mengirimkan lamaran ke beberapa instansi, nol besar. Maka tatkala proyek itu bisa memperkerjakannya secara layak, kami bersyukur sekali. Kini tiba pikiran kami, agar sekolahmu yang sudah sampai di kelas dua SMTA itu jangan sampai terhenti di tengah jalan. Pensiun bapak sebagai purnawirawan Letnan Satu terlampau sedikit, untuk menopang impian masa depanmu, Nduk. Tapi bapak yakin, kalau ujian akhirmu nanti sarat dengan nilai-nilai terbaik, maka beasiswa pasti akan kauraih, dan bangku universitas dapat juga kaucapai. Kalau itu tiba, alangkah bahagia kami. Di lingkungan keluarga bapak dan ibumu, belum ada seorang pun yang beruntung menikmati pendidikan tinggi, apalagi memiliki gelar ilmiah. Maka siang-malam Ayahbundamu berdoa, semoga di antara anak-anakku ada yang membuka langgam sejarah baru, mempunyai seorang sarjana, apalagi sarjana wanita. Kuharap kau bisa memahami, mengapa bapak sering tirakat, demi gegayuhan yang luhur itu, Nak. Suatu perbendaharaan yang sulit dilukiskan, yang bisa dipantau dari sebuah rumpun keluarga penuh bara-juang!

Sriatun yang sering bertafakur.
Kalaupun bapak terpaksa ‘ngalang-alang’ dalam warkah ini, hendaknya dirimu mafhum, betapa sedih hati Bapak, bahwa dirimu harus begitu saja pergi dari rumah, dan (kemarin Simbah Putri melayangkan surat dari Yosowilangun, bahwasanya Nduk Sriatun lari dari rumah, karena mengalami perbenturan pendapat dengan Ayahbunda!) – dan hal inilah yang tak pernah bapak duga sebelumnya. Bapak tak mengira, hatimu begitu keras, Nduk. Persis dengan apa yang bapak tempuh semasa muda. Tatkala Simbah Kakung melarang diriku untuk menjalin asmara dengan gadis pilihan hati. Bapakmu ini nekad minggat selama beberapa bulan di rumah seorang kerabat di Jakarta. Padahal, larangan itu semata-mata demi kebaikan diriku dan demi keberuntungan di hari tua. Karena gadis itu, bukan keluarga terpandang, lagipula dikenal sering berganti-ganti pacar. Aku kemudian insyaf, Nak. Syukur, sebelum terlambat. Bagaimanapun luka hatiku, karena cinta pertama itu retak. Toh, dari kalangan kerabat pada akhirnya bisa memilihkan diriku seorang calon isteri yang ayu, sederhana, lepasan Sekolah Kepandaian Putri, yang setia. Bapak merasa berterima kasih kepada Tuhan Maha Pengasih, bahwa pilihan masaremaja tak bisa terwujud, tepat di kala mataku sudah di-celik-kan, dan tiada nabras-nubrus. Maka bapak berharap, semoga putra-putri bapak nantinya tak seorang pun yang salah pilih. Tiada seorang pun yang kesasar…!

Sriatun yang baik.
Cuti pendek yang ditempuh Masmu Handoyo ternyata ada dampaknya nan tiada terduga. Kalau di atas kukatakan, kami gembira lantaran Handoyo telah mapan di sebuah medan-tugas terhormat, maka kini Ayahbundamu juga diliputi kerisauan, kenapa justru pada saat bersamaan itu pula kami punya firasat, bahwa “bahaya” ada mengintai dan oleh sebab itu kami harus hati-hati dalam bertindak, terlebih dalam menentukan sikap. Senyampang masih dinihari, dan senyampang kami belum usah mereguk kegetiran yang menyaput lidah.

Dikau dapat merasakan, bukan? Ibumu mengatakan begini: “Umur tujuh belas adalah masa taufan dan badai. Masa, tatkala kita hanya menyergap hal-hal yang indah-indah. Padahal, ada sesuatu di balik itu, yang kudu dinalar dan dirasakan sebaik-baiknya, hingga matabatin kita tak tertipu.” Demikianlah kiranya, petuah yang dapat kauserap, Nak. Tatkala Masmu Handoyo mengajak sahabatnya, teman sekerja di proyek, Dicky yang tampan itu, bapak samasekali tak punya dugaan lebih jauh. Artinya, sahabat Masmu itu juga masih pantas duduk di bangku kuliah, karena usianya barulah jalan dua puluh tahun. Dia anak seorang juragan kayu Kalimantan yang terpandang. Tapi sepanjang penglihatan Bapak, selama dia menjadi tamu kita, terasa dia belum memperlihatkan sikap-dewasa yang terpuji. Ia masih sering goyah dan terbata. Ada terasa kemanjaan pada beberapa wataknya. Gagasan-gagasan yang disampaikan pada bapak sewaktu berdiskusi, belum memancarkan kemandirian sejati.

Ananda sayang.
Ayahbunda bukanlah kolot jika berpendapat semacam itu. Cobalah kaupikirkan, Nak. Bagaimana mungkin dalam pergaulan dengan dirimu yang baru berlangsung kurang dari sepekan, dia telah berani menulis surat cinta berbunga-bunga buatmu. Malahan ada kalimat-kalimat (yang ketika itu diperlihatkan Abangmu padaku), dia membangga-banggakan kekayaan orang tuanya, sebagai suatu hal yang dijanjikan padamu, setelah membangun rumahtangga. Nak, itulah yang bagiku teramat naif. Kalau seorang jejaka yang punya tekad baja untuk melangkah, dan berani bekerja, dia sebetulnya tak usah menoleh ke belakang atau meletakkan kepalanya di pangkuan bapaknya lagi. Sandaran cita dan cintanya adalah hari esok yang musti diwujudkan secara cermat, namun pasti. Bapak bukan berbicara tentang kejayaan harinanti untuk kalian berdua. Bukan zamannya lagi. Bapak hanya mengatakan belum datang masanya, Nak.

Ananda yang penyabar!
Tentunya kau masih dalam kemarahan yang memuncak, di kala menerima suratku ini. Ibumu bilang: “Jangan keras dalam ucap kemarahanmu pada Sriatun. Ia harus dibimbing, diarahkan dan diberitahu mana yang tepat dan mana pula yang agak kelewatan.” Bapakmu ini juga menempuh cara yang sebijaksana mungkin, Nak. Karena bapak bukan melarang Dicky menyatakan cinta kepadamu. Bapak juga bukan melarang seandainya ananda Sriatun jatuh cinta pula kepada anak muda yang tampan itu. Namun sekali lagi, haraplah diingat: jangan terlalu cepat jatuh cinta. Apalagi jika alasannya hanya lantaran terpesona akan ketampanan dan kecantikan lahiriah. Bapak agak heran, bahwa pertemuan sependek itu, telah membuatnya menggebu dan merasa ‘diliputi perasaan kasih-mesra berkelimpahan’. Sungguh, Nak, usia muda terkadang kendala utama buat satu keutuhan perkawinan. Apalagi jika didambakan keharmonisan, dan bukan perayaan nikah sepasar bubar. Kelak, jika sekolahmu makin tinggi (ingat cita-cita Ayah agar dikau menjadi seorang sarjana wanita berpengetahuan luas, penuh kepedulian kepada negerinya!) – dan Bapak tak ingin, kalau kau menikah pada usia semuda ini.

Ananda Sriatun tersayang.
Masmu Handoyo juga bilang: Dicky luas pergaulannya, tetapi sering kurang memilih-memilah lingkungan mana yang dimasukinya. Ia sering terperosok dalam brandalan semasa remaja, dan sering berkonflik dengan Ayahbundanya. Bapak punya gambaran, dia menyamaratakan perempuan manapun yang ditemui. Kudengar, pada suatu sore, dia menyelinap masuk ke dalam kamarmu. Dari suara yang kutangkap, dia secara paksa menyatakan niatnya untuk tidur di situ bila malam tiba. Kau menolak dengan suara tangis yang sedih. Handoyo segera melaporkan hal itu kepada kami. Ia khawatir sekali, kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan atas diri adiknya. Dia pun bilang, semula dia tak mengajak Dicky dolan ke rumah kita. Ia sendiri yang memaksa untuk itu, dan Abangmu tak berdaya!

Bapak masih menahan hati untuk tidak melontarkan kata-kata kasar, mengingat Dicky masih menjadi tamu kita, yang harus kita hormati. Tetapi, tatkala dia benar-benar bersikap brutal dengan menarik tanganmu sewaktu kau hendak mandi, maka kemarahan bapak tak tertahankan lagi. Ia segera kulabrak dan aku ancam dengan keras. Kalau Masmu Handoyo tak segera melerai, mungkin ia telah merasakan akibat lebih jauh, bagaimana bapak mempertahankan rumah-tangga ini di ruas-ruas tajam; dan kita perlu mempertahankan harga diri. Handoyo lebih sabar, dan keesokan harinya segera mengajak Dicky kembali ke Sumanding. Lega perasaan bapak dan ibumu. Ibumu menyalahkan Handoyo, kenapa tak menjaga perasaan keluarga. Adik wanita satu-satunya harus dijaga kehormatannya.

Sriatun yang penyabar.
Salahkanlah Bapak, kalau semua kemarahan itu terjadi. Ibarat lelatu dalam tungku, demikian bapak menentukan sikap dalam menanggulangi segala cobaan tatkala merengkuh anak gadisnya. Mengapa dirimu salah-tampa, Nak? Mengapa paginya segera pergi tanpa pamit ke rumah Simbah di Yosowilangun? Kuharap, lebih jernihlah pemikiran serta olah-rasamu, dalam suasana keremajaan ini. Selain bapak sudah menekankan dambaan-hasrat terhadap anak-anaknya, haridepannya, juga landasan kebahagiaan esok hari. Anakku, bukan bapak melarang dirimu bergaul dengan pemuda yang dapat menyelami ihwal-ihwal yang ada dalam lingkar hayatmu, tapi bapak samasekali tak bisa membiarkan seorang Dicky (yang bapak masih meragukan asal-usulnya, ataukah benar-benar dari keluarga baik-baik ataukah justru dari rumahtangga yang berantakan) yang datang dengan ‘sikap budaya modern’ yang dia banggakan itu. Malah, Handoyo sendiri juga belum lagi jelas, apakah Dicky masih seorang bujangan ataukah sudah berumahtangga. Yakinlah, Nduk, bahwa cakrawala hidupmu masih luas, masih leluasa, selebar benua, sebentang angkasa. Suatu saat nanti, kau akan menemukan sahabat pria sejati, yang bisa kauharapkan menjadi calon pendamping yang tepat, dan memenuhi gambaran ideal – seperti apa yang orang tuamu harapkan juga.

Sriatun ananda sayang.
Segeralah dikau pulang, Nak. Lumrah, bahwa terdapat silang-selisih dalam hubungan perkerabatan, di mana pun. Ayahbunda berdoa, semoga Allah memberikan taufik dan hidayatNya atas dirimu. Jangan lupa, mohonlah sukma nan cerah, kalbu nan tinarbuka. Kalaulah ada prahara yang bertiup pada suatu masa, jangan kaukira dia akan jadi angin puting-beliung yang merontokkan segalanya. Kuyakin setelah angin-ribut, maka semilir bakal mengusap pipi, membisikkan kerelaan jiwa. Sesudah gelapmalam, cahaya fajar sidik bakal hadir, menganugerahkan rahmat nan nikmat. Usaplah airmatamu, Nak. Putri bapak nan tabah ini tumbuh bagai Srikandi perwira!


*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

TERBANGLAH SI BURUNG MERAK

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Rendra (7 November 1935 – 6 Agustus 2009), Si Burung Merak itu, akhirnya terbanglah. Sekian lama ia terbaring di rumah sakit, selama itu pula serangkaian doa untuk kesembuhannya terus dilantunkan oleh sejumlah komunitas seniman di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, para seniman di Malaysia, yang memang mengenal baik sosok Rendra, sengaja mengumandangkan doa bersama. Meskipun Tuhan berkehendak lain, kita menangkap adanya gelombang solidaritas atas seseorang yang sudah dianggap milik bersama. Fenomena apakah gerangan sehingga para seniman tiba-tiba bergerak berdoa bersama tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seorang Rendra?

Si Burung Merak dengan segala sepak terjangnya menjadi simbol bagi sebuah totalitas kerja berkesenian. Rendra telah menjelma menjadi ikon tentang sikap dan kiprah seniman sejati yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kerja sastra, seni, dan martabat kebudayaan bangsanya. Maka, seorang manusia Rendra hadir dalam kehidupan bangsa ini tidak lagi sebagai representasi seorang individu, melainkan milik bersama yang tetap dicintai—dikagumi, dan kemudian menjadi anutan dan orientasi, bagaimana kebudayaan harus menjadi teras kehidupan bangsa, kehidupan kemanusiaan. Itulah elan seniman sejati yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk menggairahkan seni yang dapat mengangkat harkat manusia, martabat bangsanya.

Rendra, sang maestro, terbanglah meninggalkan kita, meninggalkan pohon kesenian yang aromanya merebak ke mancanegara. Tetapi siapakah yang memetik buah dari pohon kesenian yang ditanam Rendra itu? Tentu saja kita sudah merasakannya. Lihat saja, bagaimana puisi yang semula cukup dibaca di dalam kamar sambil merenung sekalian mencari tahu maknanya, tiba-tiba berubah menjadi pentas kesenian yang memukau, menjadi sebuah pembacaan yang melibatkan publik dan menggedor emosi pendengarnya. Era vergadering (rapat umum) Bung Karno bagai menginspirasi Rendra yang lalu tampil tidak sebagai macan podium, melainkan aktor tunggal yang mengibarkan panji-panji puisi. Puisi tidak lagi sekadar teks yang cukup sebatas dibaca di ruang pribadi sambil mengunyah permen karet, tetapi coba dikembalikan sebagai pentas publik dan sekaligus menjadi alat memprovokasi problem moral, ideologi, bahkan kehidupan politik bangsa ini.

Ingat juga ketika dekade 1970-an, ia bergerak dari satu kampus ke kampus lain untuk mengobarkan semangat perjuangan—perlawanan pada sebuah rezim yang represif. Mula-mula melalui pentas drama Mastodon dan Burung Kondor. Lalu, tak terhindarkan, puisi menjadi pentas fenomenal ketika didengungkan di depan publik. Dengan segala konsekuensi yang harus diterimanya, Rendra, melalui puisi, coba menanamkan permusuhan pada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Inilah awal—selepas Taufiq Ismail melakukannya pada rezim Orde Lama—puisi mempunyai harga sebagai seni pentas. Pembacaan puisi tidak sekadar sebuah pentas deklamasi yang menekankan intonasi mendayu-dayu dan gerak tubuh menggemulai. Ia menjadi sebuah pementasan yang di sana, gerak teatrikal fungsional meneguhkan pesan yang disampaikan. Di tangan Rendra, puisi menjadi gelombang sihir. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh seorang penyair yang menguasai retorika secara prima.
***

Bagi Rendra, boleh jadi kesadaran itu lahir dari sebuah pemahaman atas konsepsi teater modern. Sebab, sekembalinya dari Amerika (1964—1967), Rendra membentuk Bengkel Teater. Inilah salah satu pohon kesenian yang lain yang ditanam Rendra. Itulah titik berangkat perubahan besar dalam kehidupan teater Indonesia yang kemudian berdampak pada reformasi deklamasi yang cenderung didominsi gaya mayoret yang konvensional dan monoton. Bukankah sebelum itu, ia juga telah menghasilkan kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (1957), dan Empat Kumpulan Sajak (1961), serta tiga naskah drama, Dataran Lembah Neraka (1952), Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), dan Selamatan Anak-Cucu Soleman (1967)? Sebelum balik dari Amerika, antologi itu wujud sebagai karya-karya puisi penting dalam deretan karya penyair lain periode itu. Lalu, manakala sejumlah puisi itu dibacakan di depan publik, ia berubah menjadi kepak burung merak yang memancarkan aura magis yang memukau dan menyihir.

“Berdirinya Bengkel Teater … menandai awal zaman baru di bidang drama di Indonesia,” begitu komentar A. Teeuw. Dari sana pula, Rendra coba menawarkan “Bip-Bop” (1968) –teater mini kata—yang membakar kelesuan pentas drama Indonesia dasawarsa itu. “Bip-Bop” telah menghancurkan konsep-konsep drama konvensional, dan sekaligus makin menenggelamkan drama bangsawan dengan segala kemegahan propertinya. Bahkan, ia juga menyisihkan drama realis yang mendominasi pentas drama selama satu dekade (1950-1960-an). “Bip-Bop” yang mengutamakan eksplorasi gerak dan bahasa tubuh para pemainnya, tidak dipahami sekadar membangun “narasi” melalui gerak tubuh, tetapi juga membuka peluang dilakukannya improvisasi dalam keseluruhan adegan.

Segala pementasan drama pada akhirnya disadari tidak perlu terlalu bergantung pada segala properti. Itulah awal berlahirannya teater Indonesia modern yang kerap dilabeli sebagai drama absurd. Di sana, Rendra telah mengobarkan kesadaran, bahwa modal utama dalam drama, tidak lain adalah bahasa tubuh (body language). Jika kemudian bermunculan, drama-drama nonrealis, absurd, atau inkonvensional, sebagaimana yang dimainkan Arifin C Noer, Putu Wijaya, Ikranegara, dan sederet panjang dramawan kontemporer kita, tidak pelak lagi, “Bip-Bop” itulah yang mengawali perintisannya.

Ternyata, Rendra tidak berhenti pada “Bip-Bop”. Ada kesadaran lain pada Rendra ketika situasi bangsa memaksanya bergerak. “Bip-Bop” sekadar membakar kelesuan pentas drama. Dan ketika kegiatan pentas drama semarak terjadi di berbagai kota, dengan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, seolah-olah menjadi puncak capaian estetiknya, Rendra memilih cara lain yang coba mengangkat fenomena sosial, problem bangsa, dan menolak penindasan dilakukan atas nama pembangunan. Maka, melalui kesenian yang dipilihnya, sekaligus hendak melakukan protes pada kekuasaan yang mulai diselewengkan. Mastodon dan Burung Kondor adalah ekspresi kreatif yang merepresentasikan perlawanan atas penyelewengan itu, pada tindakan represif yang mengatasnamakan pembangunan. Lalu, dengan semangat yang sama, berlahiranlah Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), Sekda (1977), Panembahan Reso (1986), dan Tuyul Anakku (2000), serta sekitar 20-an produksi teater yang dipersembahkan Rendra bagi pentas drama di Indonesia.

Dalam sejarah pementasan drama di Indonesia, Panembahan Reso tercatat sebagai pentas yang begitu reputasional, paling spektakuler, paling lama (20.00—03.30 dini hari), dan paling banyak menyedot jumlah penonton. Jadi, “Bip-Bop” yang minikata itu sekadar cemeti eksperimental, dan Panembahan Reso sebagai totalitas, bagaimana kerja kesenian digarap dengan mempertaruhkan segala konsekuensi. Itulah tanggung jawab seniman pada kebudayaan, pada kehidupan manusia.
***

Willibrordus Surendra Broto, yang selepas masuk Islam (12 Agustus 1970) cenderung menggunakan nama Rendra, mengawali kerier berkesenian melalui drama Dataran Lembah Neraka, dimuat majalah Drama (No. 1, Februari 1953). Tak ada sambutan atas drama ini, ia menulis cerpen “Ia Melagu Merdu Sekali” (Kisah, No. 8, Maret 1954). Sekitar 30-an cerpen yang dihasilkan masa awal kesastrawanannya (1954—1962), pernah dimuat suratkabar dan majalah Kisah, Drama, Indonesia, Minggu Pagi, Roman, Siasat, Star Weekly, Varia, Sastra. Beberapa di antaranya dikumpulkan dalam antologi cerpen Ia sudah Bertualang (1963).

Pada masa itu pula, karier kepenyairannya mulai menonjol. Diawali lewat puisi “Anjuran” (Majalah Nasional, No. 64, Februari 1951), puisi-puisi Rendra yang banyak mengangkat persoalan rakyat kecil, makin kokoh membangun estetikanya sendiri yang tidak lagi mengesankan keterpengaruhannya pada gaya Chairil Anwar. Pada dasawarsa 1950-an, gaya Chairil Anwar sangat kuat mewarnai sejumlah puisi para penyair Indonesia. Dan Rendra menawarkan bentuk estetika lain, yang realis dengan bentuk balada dan coba mengangkat tema-tema pembelaan terhadap rakyat kecil. Model estetik Rendra ini tentu saja berbeda dengan gaya yang diperlihatkan sejumlah penyair Lekra dengan konsepsi realisme—sosialisnya. Ideologi yang dikedepankan Rendra adalah pembelaan pada orang-orang tertindas, pada kemanusiaan, dan bukan pemihakan pada ideologi partai.

Itulah sebabnya, Rendra tidak terjebak pada politik aliran. Ia menulis puisi sebagai manifestasi perlawanannya pada ketidakadilan, penindasan, dan pembelaannya pada orang-orang tercinta, orang-orang yang teraniaya. Intinya, segala bentuk penindasan apa pun, harus dilawan, termasuk juga penindasan pada hakikat kebudayaan Indonesia yang secara alamiah menyerap berbagai pengaruh kebudayaan dunia. Maka, puisi-puisinya yang belakangan memperlihatkan motif-motif kebudayaan Jawa tradisional yang berkelindan dengan unsur-unsur simbolik Kristiani, Islam, Hinduisme, dan animisme sebagai warisan awal kepercayaan leluhur.

Pemikiran ini pula yang disuarakannya dalam berbagai forum. Itulah konsepsi kebudayaan Indonesia yang coba ditawarkan Rendra. Sesungguhnya Rendra seperti hendak merevisi gagasan Sutan Takdir Alisjahbana yang hendak menekankan orientasi ke Barat dan membenamkan tradisi. Bahkan, Rendra juga seperti coba menggugat Surat Kepercayaan Gelanggang yang menyebutkan tanggung jawab sosial seniman sebagai: “Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masjarakat) adalah penghargaan orang-orang jang mengetahui adanja saling-pengaruh antara masjarakat dan seniman.”

Tanggung jawab seniman bukan cuma itu. Individu seniman memang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh masyarakat. Tetapi, seorang individu yang kuat, karismatik, dan berwibawa, dapat pula memberi pengaruhnya pada masyarakat. Maka, seniman sejati harus memiliki kesadaran itu. Untuk tujuan itulah, ia harus menjadi suara rakyat dan memahami gejolak kegelisahan dan harapan-harapannya. Meski tidak secara langsung Rendra menolak konsepsi elitis yang tidak menyentuh problem kemasyarakatan, konsep estetik yang ditawarkan Rendra melalui balada dan sejumlah puisinya yang retorik, jelas menunjukkan sebuah usaha membangun komunikasi penyair—masyarakat. Pesan itu tidak perlu dikumandangan dalam pesan-pesan yang begitu tersembunyi dan asyik-masyuk dengan problem individual dirinya sendiri.

Penyair adalah bagian integral masyarakat. Suara penyair adalah suara pembelaan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tanpa harus meninggalkan metafora, pembelaan itu harus sampai dan dipahami. Dengan begitu, kelugasan bukanlah tabu. Bagi Rendra, seniman tidak sekadar menawarkan gagasan tentang estetika seni sebagai sebuah capaian, melainkan juga pelibatannya dalam mengangkat problem sosial dan memberi penyadaran untuk melakukan perlawanan pada segala bentuk penindasan. Kesadaran itulah yang lalu melahirkan Potret Pembangunan dalam Puisi (1983).

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
….
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu

***

Kini, Si Burung Merak itu, terbang meninggalkan kita, meninggalkan begitu banyak monumen yang tak tergoyahkan. Seperti kata Sutardji Calzoum Bachri, “Seniman besar tidak pernah pergi!” sebab, jejaknya abadi dan selalu akan memberi inspirasi. Pertanyaannya: siapakah yang dapat melanjutkan segala prestasinya, menyebarkan sikap dan konsistensinya melakukan perlawanan pada apa pun yang membelengu, menindas, dan menciptakan kelesuan dalam kehidupan berkesenian—berkebudayaan?

Itulah pertanyaan yang paling sulit dijawab. Pertanyaan itu juga makin menegaskan, bahwa keberlimpahan kekayaan kebudayaan Indonesia itu, ternyata berbanding terbalik dengan para pelaku budayanya. Keberangkatan Rendra telah memberi penyadaran, bahwa Indonesia begitu miskin sastrawan—seniman—budayawan besar! Maka, kepergian Rendra, adalah acuan, bagaimana mengukuhkan posisinya sebagai seniman besar. Dan seperti kata HB Jassin yang mengutip pernyataan Sarojini Naidu: “Nama jenderal-jenderal besar, raja-raja, dan pendeta-pendeta dilupakan. Tetapi ucapan-ucapan seorang pengarang atau seorang penyair yang bermimpikan mimpi persatuan dan peri kemanusiaan akan hidup selalu….” Terbanglah si Burung Merak! Kepak sayapmu adalah inspirasi untuk membangun manusia Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat-bermarwah!

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, kini menjadi dosen tamu di Hankuk University, Seoul)

Pengalaman dari Anugerah Sastra

Husen Arifin
http://www.surya.co.id/

Ada hal berkesan ketika saya mengikuti Launching Buku dan Penganugerahan Lomba Cipta Cerpen, Esai dan Puisi Tingkat Mahasiswa Se-Indonesia di STAIN Purwokerto kerja sama LPM Obsesi dan DeMa STAIN Purwokerto tanggal 9-10 Maret 2010. Saya salah satu finalis dari UIN Maliki Malang, Zulfa dari Universitas Brawijaya, dan Royyan Julian dari Universitas Negeri Malang (UM).

Berangkat dari Malang dengan kereta Gajayana, Senin (8/3) pukul 16.25 WIB. Perjalanan begitu menyenangkan.
Hampir subuh saya dan teman-teman dari Universitas di seantero Indonesia saling mengucapkan salam jumpa. Salam kesejahteraan untuk mengawali hari-hari yang penuh dengan keceriaan. Teman-teman dari UPI Bandung, Uhamka Depok, IAIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, UNS Surakarta, IAIN Imam Bonjol Padang dan lain-lainnya.

Setibanya di STAIN Purwokerto, Selasa 9 Maret 2010, saya mengikuti Launching Antologi Puisi “Menolak Lupa” bersama dengan narasumber Evi Idawati (Novelis, Cerpenis, Sastrawan, Artis) dan Abdul Wachid B.S (penyair, dosen, sastrawan). Walaupun kampus beda, tapi saya seolah mengenal teman-teman dari kampus lainnya seperti teman-teman kecil saya sendiri.

Mbak Evi, begitu sebutan akrabnya. Mengatakan bagaimanapun juga menulis puisi bukan hanya wahana ekspresi, tetapi juga sebuah cara berkomunikasi untuk memberitahukan pada dunia apa yang telah ditemukan dalam proses panjang pengendapan dan pemahaman menjalani kehidupan.

Betapa senangnya bila bertemu penulis yang berlabel mahasiswa, tapi berprestasi luar biasa. Dan kala siang, dilanjutkan dengan Launching Antologi Cerpen “Bukan Perempuan” yang dipandu juga oleh Mas Achid, sapaan akrab Mas Abdul Wachid B.S dan kedatangan Joni Ariadinata, sebagai Cerpenis dan Redaktur Pelaksana Majalah Sastra Horison, Jakarta.

Pertemuan yang membahagiakan untuk saya. Mas Joni mengobarkan semangat penulis –penulis muda agar kuat menggali kreativitas dan imajinasi yang membentuk karakternya dalam bertutur cerita pendek. Menurut Mas Joni cerita-cerita pendek yang tersebar luas di media-media lokal dan nasional sudah kehilangan karakter dan imajinasi, hingga tak lebih dari keringnya bahasa, pendeknya cara berpikir.

Rabu 10 Maret 2010, saya mengikuti Launching Antologi Esai Islam dan Terorisme dengan narasumber Dr Zuli Qodir (Dosen PPs UGM). Membincang terorisme lewat esai-esai teman-teman seperti sepotong pizza yang enak disantap.

Setelah mengikuti kegiatan launching tersebut, saya berwisata ke Baturraden. Salah satu wisata khas Purwokerto.

Dan di malam penganugerahan saya mendapat pelajaran begitu berharga bahwa menulis merupakan aktivitas paling mulia. Dengan berkarya maka tulisan-tulisan yang sudah kita hasilkan akan abadi. Berkaryalah maka kamu akan abadi, begitu temanya.

Beruntung, saya dipertemukan dengan kegiatan ini. Bertukar ide, sharing perjalanan kepenulisan. Kapan, di mana awal mula saya menulis? Bagaimana agar bisa eksis menulis? Semua yang berkenaan dengan kepenulisan selalu dibincangkan. Inilah momentum penulis “mahasiswa”. Mahasiswa tidak hanya dianggap anarkis, tapi mahasiswa juga berprestasi dalam bidang tulis-menulis.

*) Mahasiswa UIN Maliki Malang

Resital Sastra dari Negeri Kata-kata

Rusdy Nurdiansyah
http://www.infoanda.com/Republika

Perahu.
Saudagar.
Belayar, dari bandar ke bandar, rumah pecah beribu.
Kamar, tengah menganga, sejarah samudera berdarah luka.
Keduanya tak bisa lagi ditawar, tak bisa lagi diputar, tak pula dapat ditukar.
Perahu.
Bandar.
Bertolak belayar mencari jangkar, saudagar tak sempat lagi menghitung dinar.
Menghitung ringgit, menukar dolar.

Itulah sekelumit sajak Hasan Aspahani berjudul Saudagar, Bandar, Beras Setakar yang dibacakan pada acara Resital sastra Dari Negeri Kata-Kata di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Ahad, (29/1).

Acara yang diselenggarakan Yayasan Panggung Melayu ini diisi oleh Cakap-Cakap Rampai Sastra dan Pembacaan Puisi serta Cerpen dari budayawan dan penyair Kepulauan Riau yakni Hasan Aspahani, Hoesnizar Hood, Machzumi Dawood, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir, Tarmizi, dan penyair Jemputan, Asrizal Nur dengan moderator sastrawan Maman S Mahayana.

Sebagai negeri kata-kata, Kepulauan Riau, sejak zaman Raja Ali Haji hingga kini tiada henti melahirkan sejumlah penyair yang berkiprah di tingkat nasional, regional, bahkan internasional. Dengan semangat itulah Yayasan Panggung Melayu dan Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta menyemarakkan kiprah sastrawan Kepulauan Riau dalam Panggung sastra Indonesia.

”Tampilnya sastrawan-sastrawan Kepulauan Riau di TIM diharapkan dapat merangsang dan menumbuhkan kreativitas sastrawan generasi berikutnya, di samping sebagai bentuk silaturahmi dengan sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah lainya,” ujar ketua penyelenggara, Asrizal Nur.

Pada acara yang cukup meriah dan mendapat sambutan dari masyarakat Kepulauan Riau di Jakarta dan para seniman TIM ini dibuka dengan menyuguhkan pertunjukan kolaborasi musik dan tari dari Teater Makyong, Sanggar Sanggam arahan koreografer Pepy. Pertunjukan yang cukup memukau seakan membawa penonton ke Tanah Melayu nun jauh menceritakan selintas kondisi berkebudayaan di Pulau Bintan tempat Raja Ali Haji melahirkan Gurindam 12.

Selanjutnya penampilan budayawan dan sastrawan Riau, Ramon Damora dengan pembacaan sajak yang diiringi musik berirama blues. Ramon dengan suara yang berat membacakan sajak-sajak bertajuk Surat Jalang, On: Dengan Hangtuah dan Iftitah Hujan. Setelah itu, muncul penyair Samson Rambah Pasir yang membacakan cerita pendek Jenab Makyong.

Dalam pembacaan cerita pendek itu, Samson mengungkapkan tentang kisah tragis TKI yang dianggap pendatang haram dan bahkan ada juga yang disuntik gila di Singapura. Samson tampil dramatis dan cukup membawa penonton seolah mengalami apa yang diceritakan.

Secara bergantian penyair-penyair membacakan sajaknya. Tarmidzi, penyair yang mempunyai Komunitas Rumah Hitam di Batam tampil dengan membacakan sajak berjudul Surat Rumah Hitam Musim Utara. Dalam sajak tersebut Tarmidzi ingin menyampaikan isi hati melalui surat kepada siapa saja. Ia bertanya kepada alam tentang rumah tempat kelahirannya yang indah di mana telah jadi hamparan padang kepiluan dengan pelataran bertulang besi yang gagah dan angkuh.

”Rumah panggung sepanjang kampung, kini telah jadi beton tak berupa dalam minda kita yang purba….hari lalu, kau sempat bertanya tentang air pasang dan kita sama-sama menangkap udang. Kini, bakaunya telah ditebang dan udang kita hilang. Hutan bakau itu talh jadi ladang birahi dari nafsu-nafsu liar tak terhalang…,” teriak lantang Tarmidzi saat membacakan sajaknya tentang rumah kelahirannya dari negeri seberang yang kini menjelma menjadi negeri kata-kata yakni Batam.

Sebagai sebuah kata-kata, penyair kamus Hasan Aspahani lalu tampil membacakan sajaknya bertajuk Saudagar, Bandar, Beras Setakar dengan gaya bercerita sinis tentang beras impor dan tentang betapa susahnya beras di Indonesia sebagai ukuran kesejahteraan suatu bangsa.

”…. Bendera bergambar dinar, ringgit dan dolar. Kita bukan lagi saudagar. Kita terbungkuk-bungkuk menghormat. Di bawah bendera berkibar-kibar. Kita tak punya nilai tukar. Tak paut ke jangkar. Pun tak punya bandar. Tak punya bendera dikibar. Perahu tersuruk di laut paling dasar. Ke surut paling susut. Angin kehilangan layar. Berapa harga beras setakar? Berapa? Harga…beras…setakar?” lirih Hasan sinis menutup sajaknya.

Selanjutnya tampil Maczuhmi Dawood, penyair tertua di antara penyair yang tampil. Menurut Ramon Damora, sulit memosisikan dalam penyair Riau angkatan mana Maczuhmi berada. ”Apakah angkatan penyair Ibrahim Sattah atau Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri,” katanya. Tapi, yang jelas penampilan Maczuhmi masih tampak gagah dan memang ia pun masih terus aktif dan setia pada tanah kelahirannya pulau Bintan tak kala penyair lain meninggalkan kampung halamannya.

Pertunjukan Resital Sastra Dari Negeri Kata-kata ini ditutup dengan penampilan penyair, Hoesnizar Hood yang membacakan puisi berjudul Dongeng Pasir. Dengan suaranya yang bergaung penampilan Hoesnizar terasa khidmat ketika perlahan-lahan Gurindam 12 disenandungkan. Pada saat bersamaan cahaya temaram menyirami panggung dengan diakhiri munculnya film dokumenter sejarah sastra di Kepulauan Riau.

Resital Sastra Dari Negeri Kata-Kata ini, menurut Asrizal, sengaja digarap dalam beragam versi. Dalam setiap pembacaan sajak, puisi maupun cerpen dikolaborasi dengan musik, tari, dan iringan lagu Gurindam 12 yang membuat mungkin sedikit berbeda. ”Cukup memberikan angin baru bagi perkembangan dan perbendaharaan sastra Riau khususnya dan Indonesia umumnya,” jelas dia.

Dunia Tanpa Kotak Para Penyair Bali

Gandra Gupta
http://www.jawapos.co.id/

Penilaian Bali sebagai gudangnya seniman nampaknya tak berlebihan. Dari seniman tradisional hingga kontemporer semua ada. Pun dengan penyairnya, yang leluasa beraktivitas, berkarya, tanpa terkotak-kotak kepentingan duniawi industri pariwisatanya.

Sebut saja nama I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang dikenal dengan sebutan Putu Wijaya, tak pelak orang pun taka sing dengannya. Pria kelahiran Puri Anom, Tabanan, 11 April 1944 silam, ini adalah sosok seniman serba bias, yang melahirkan banyak karya fenomenal. Di antaranya novel Putri. Di khasanah puisi, dia sempat meraih gelar juara lomba puisi Suluh Indonesia Bali, beberapa tahun silam.

Seniman yang diakrabi dengan topi khasnya ini juga peshor dalam penulisan skenario film, juga drama. Karya-karyanya banyak jadi rujukan dan panduan sastrawan di tanah air.

Atau almarhum I Made Sanggra, tokoh sastra Bali modern yang dikenal lewat cerpen Ketemu Ring Tampaksiring yang berbahasa Bali. Sosok yang satu ini di tahun 1988 dikenal lewat buku puisinya Kidung Republik dan berhasil jadi yang terbaik dan meraih penghargaan Rancage. Penghargan prestisius jagat sastra nasional, yang dimotori budayawan, Ayip Rosidi.

Perkembangan sastra khususnya puisi di pulau Seribu Pura ini terus tumbuh dan berkembang. Salah satu yang “episentrum” dari “kawah sastra” angkatan muda itu adalah Umbu Landu Paranggi. Pria kelahiran Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, NTT, 10 Agustus 1943 silam, ini sangat memberi warna. Pendiri komunitas penyair Malioboro, Jogjakarta, di tahun 1970-an, ini punya andil spesial.

Penyair “mistis” ini setelah hijrah ke Bali, di era 1980-an. Dia pun dipercaya mengasuh rubrik di harian Bali Post, koran lokal tertua di pulau ini. Berkat asuhan mantan guru budayawan mbeling asal Jombang, Jatim, Emha Ainun Nadjib dan mendiang Linus Suryadi itulah, gairah perpuisian di pulau wisata ini makin menggeliat.

Apalagi setelah itu bermunculan sanggar sastra. Macam Sanggar Minum Kopi (SMP). Sejumlah nama penyair bermunculan dari sini. Di antaranya Warih Wisatsana, Tan Lioe Ie, Nuryana Asmaudi, Wayan “Jengki” Sunarta, Putu Fajar Arcana, Cok Sawitri, Raudal Tanjung Banua, Pranita Dewi, Putu Vivi Lestari, Komang Ira Puspitaningsih dan lainnya.”Saya banyak belajar juga dengan Pak Umbu (Umbu Landu Paranggi). Kami dulu bergerilya ke sekolah-sekolah dan sanggar, untuk pembinaan dan memberi motivasi, ” kata Asmaudi, murid sekaligus sahabat Umbu.”Dia itu sosok motivator bagi penyair muda di Bali,” aku Tan Lio Ie.

Begitu menggeliatnya perkembangan sastra khususnya puisi di Bali, tentulah menarik. Kenapa? Karena tak ada masa depan jelas bagi para penyair itu bila dihitung dari sisi materi duniawi, sebagaimana pariwisata yang telah menjadi industri.

Mengapa mereka bertahan? Asmaudi punya cerita tersendiri. Pria kelahiran Jepara, Jateng, 10 Maret 1965 silam, ini terlahir sebagai anak ketiga dari 12 bersaudara. Itu belum anak dari istri dari sang ayah dulu, yang punya anak dua orang.” Saya yang “tersesat” (sebagai penyair) hehehehe,” katanya, terkekeh.

Maksudnya, orang tuanya almarhum Amuin dan Maimunah, tidak ada yang jadi seorang seniman. Ayahnya sendiri adalah seorang veteran. Sementara sang ibu adalah pensiunan guru di Departemen Agama.

Saat sekolah, dia memilih sekolah teknik negeri (STN) jurusan ukir. Di sekolah yang setingkat SMP itu, dia memang memiliki kecenderungan untuk belajar menulis. ” Tapi, saya tidak pernah merencanakan kelak jadi seorang penyair, ” ucapnya.

Itu dibuktikan dengan kelanjutan sekolahnya, Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) masih di kota kelahiranya. Dengan mengambil jurusan lukis batik. Itu dia ambil, melihat persaingan di ukir yang begitu sengit. “Saya setelah tamat malah pindah ke Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Walisongo di Kudus. Ngambil jurusan ushuluddin, aqidah dan filsafat. Itu kan makin tidak nyambung, ya ? ” sekenanya.

Tapi, di sekolah tinggi ini. Untuk beberapa saat. Dia menemukan atmosfer lain. Ada pers kampus. Asmaudi pun kembali berkutat ke tulis menulis. Dan mulai ada pilihan, untuk terjun ke bidang tersebut.”Mungkin ( baru di Kudus dunia tulis menulisnya berkembang), karena di Jepara, pergaulan sastra saya belum bertemu. Kalau ada pun penyair di sana (Jepara), saya belum ketemu. Jadi waktu kuliah saya putuskan di sastra,” katanya.

Di Kudus, selain mendirikan komunitas sastra. Dia juga bergabung dalam teater. Kerap kali, karyanya disiarkan di radio manggala, yang fokus ke sastra. Di tahun 1990, salah satu puisinya masuk 10 Terbaik, lomba cipta puisi nasional, yang diselenggarakan Sanggar Minum Kopi.

Tapi, saat itu karena sedang mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN), dia tak berangkat ke pulau ini. Dan baru di tahun 1996, kesempatan ke Bali ada. Dia pun tinggal dan bergabung bersama Umbu.

Alur hidup yang menarik, juga diungkap Warih Wisatsana. Lelaki yang kumpulan puisinya Ikan TerbangTak Berkawan diterbitkan tahun 2003 ini, saat duduk di bangku SMP, sudah kepincut dengan puisi. “Saya waktu itu di Klaten dan Salatiga. Dalam puisi, saya lama kelamaan saat mencoba mengembangkan pertanyaan mendasar dari hidup. Dari mana dan mau ke mana hidup ini. Apakah sebenarnya keberadaan kita dalam hidup ini ? Timbullah satu kegelisahaan yang lambat laun, menemukan bentuk kreatifnya dalam seni bahasa, seni puisi, ” paparnya.

Wisatsana pun merantau ke Bali, sebelum akhirnya bertemu dengan Umbu juga. “Saya tidak diajarkan menulis (oleh Umbu), tapi melihat keindahan dan kesadaran terutama dalam olah kata, ” ungkapnya.

Ada lagi cerita lagi dari Tan Lioe Ie. Dia juga memiliki jalan nasib yang hampir sama. Sewaktu kecil suka menggambar, dan untuk selanjutnya pindah jalur ke musik. Sebelum akhirnya memilih puisi sebagai jalan hidup.

Awalnya semacam outlet psikologis dalam kesenian yang bagus. Dan, untuk selanjutnya layaknya candu untuk kepuasan batinnya. “Saya justru begini, tidak melahirkan puisi saya bingung, ” tandas seniman yang menyayangi rambutnya untuk dipotong itu.

Bicara tentang penampilan, ada penyerataan menarik diungkap Asmaudi, yang terkesan rapi, dengan baju dimasukkan ke celana panjang, bak pegawai kantoran.”Kalau saya ya begini ini, dalam hidup sehari-hari perilaku pikiran dan ucapan harus tertib dan normal. Kalau bicara imajinasi, misalnya karya liar kita harus liar juga. Imajinasi liar boleh. Nulis tentang mati, kita harus mati juga. Saya selalu rapi, pakai sepatu dan kemeja,” ungkapnya.

Di bagian lain, Wayan “Jengki” Sunarta. Seniman muda asal Kesiman, Denpasar, ini tertarik puisi setelah melihat rangkaian indah kata-kata yang di susun teman satu bangkunya, di SMPN 8 Denpasar. Padahal, dia sempat bercita-cita ingin jadi tentara atau dokter, sebagaimana umumnya anak-anak.

Tapi Jengki telah “tertular” seiring bertambahnya umur, dia berkenalan dengan Wayan Langgeng alias Mangku Bajra. Omnya, yang juga seorang seniman. Ternyata kawan dekat Umbu. Saling tukar pikiran pun terjadi, mengalir begitu saja. Hingga akhirnya, Jengki eksis sampai sekarang. ” Bakat saya betul-betul digempleng di Sanggar Minum Kopi, ” jelasnya.

Ditambah, saat kuliah di Fakutas Sastra Universitas Udayana (FS-Unud), jurusan Antropologi. Jengki pun aktif setelah sanggar yang dimaksud bubar. Dari diskusi teater dan lainnya.” Terus terang saya sebenarnya pecinta semua seni. Termasuk seni tradisional. Cuma, karena saya tidak bisa menari, saya lebih intens ke sastra modern, ” kata penggemar batu permata tersebut. ” Kalau dandan, saya memang lebih senang pakai sandal jepit. Baju dikeluarin, lebih enjoy rasanya. Lebih nyaman saja, ” ungkapnya.

Teror yang Menyastra

Cunong N. Suraja
http://nasional.kompas.com/

Sastra teror dikenalkan oleh Putu Wijaya terutama dalam bentuk drama dan dalam kisah cerita pendek dan novelnya. Kisah kisah Putu Wijaya memang memberi tikungan dan logika yang kebalik atau istilahnya logika gila.

Seperti dalam novel “Lho” logika Putu yang selalu awas mencurigai sekelilingnya seakan-akan mengancam membunuh tokoh novel. Demikian juga dalam Novel pendek “Sobat” tokoh Aji dibunuh karena kecemburuan dan ujung kisahnya si Pembunuh tergantung di tiang listrik seakan dendeng kering. Belum lagi cerita panjang “Stasiun” tokoh orang tua yang berangkat dengan bemo menuju ke stasiun mau meninggalkan kota atau pindah ke kota lain yang juga menggantung diri atau diperkosa homo di paturasan kereta yang sedang berjalan dengan keadaan penuh sesak.

Putu memang jagonya dalam meneror penonton drama lewat drama “Lho” yang mengenalkan monolog kentut dan “Zat’ dengan beragam boneka dan kecepatan percakapan bahkan tanpa kata yang merupakan perkembangan Bip Bop artau mini kata Rendra dan mengorek kesakitan seperti Arifin C. Noor dalam “Mega-Mega” maupun seluruh episode drama Teater Kecil.

Teror ternyata justru mengasyikkan. Tidak seperti cerita wayang yang datar segepeng wayang Jawa.

Penulis lain yang suka dengan gaya teror adalah Seno Gumira Ajidarma. Pencerita ini menyukai komik dengan latar pendidikan yang pelangi mulai dari sinomatografi, filsafat dan berujung dengan Doktor Sastra dengan disertasi komik. Cerita pendek berjudul “Clara” dalam kumpulan “Iblis yang tak Pernah Mati” bercerita suasana seusai lengsernya Soeharto yang menciptakan chaos pada penduduk nonpri yang diperkosa dan dibunuh. Novel “Negeri Senja” yang dapat hadiah Katulistiwa dengan mencekam menawarkan kehidupan politik di negara tanpa malam tanpa siang, hanya senja! Matahari mengantung tak tenggelam.

Penduduknya bersorban dan bercadar karena takut badai gurun. Intrik perebutan kekuasaan dikuasai oleh rayu buta mata buta hati karena sakit hati. Penduduk serba ketakutan dan menunggu penunggang kuda dari selatan yang kan bikin perubahan. Hingga akhir cerita penunggang kuda dari selatan tak datang-datang dan telah terjadi huru hara dengan gantungan wasiat yang menggeleng di leher keledai penggebara antar bangsa.

Cerita yang lain adalah semi wayang gagrak Ramayana seusai kekalahan Rahwana dengan tokoh Maneka dan Satya yang memburu “Kitab Omong Kosong” yang bermula dari pesta kuda dari kerajaan Rama yang masih tidak yakin atas kesetiaan Sinta. Teror kuda putih yang dilepas itu tertempel pada tato di punggung pelacur yang meloncat keluar jendela dan memnggucangkan prahara bagi kota yang tersinggahi karena dihancurkan oleh tentara Ayodya jika melawan. Kuda putih itu terus berlari sepanjang cerita menerorangan pembaca yang setia merunut bab demi bab yang mengasyikan.

Ketika fakta dibungkam maka sastra mengedepan kata Seno Gumira Ajidarma. Hingga lahirlah sebuah muzaik cerita atas fakta Parfum, cerita fakta atas Jazz dan berita yang dengan label merah karena sifat politisnya Insiden demikian juga pengalihan kata dan penghapusan jejak nama sosok jadilah berita jadi bagian perlawanan teror atas fakta yang dibungkam.

Sukab tokoh pilihan Seno juga mencoba membuat teror dalam bentuk komik yang nantinya akan bergulir jadi sebuah disertasi sastra. Tapi jangan coba cari teror di balik disertasi Seno karena itu karya ilmiah yang betul menuntut kaidah ilmiah.
Sastra Seno yang membentangkan teror anak autis atas imajinasi skenario film “Biola tak Berdawai” dengan pandangan si autis atas orang sehat tersimpan dalam novel sepanjang 250 halaman.

Adakah karya Seno melibatkan teror walau berpijak dalam hikayat wayang purwo? Juga yang benar-benar berpijak pada berita politis yang diblok hitam, merupakan karya Seno yang berupa kolase semisal pada “Kalathida”. Seno adalah peneror lanjutan setelah Putu mulai kendor. Jejak teror yang lain yang mukin agak halus terornya kalau mau dibilang sopan adalah Hudan Hidayat. Cerita pendeknya benar-benar unsur teror yang selalu awas. Hudan yang membuat kelompok antagonis sastra Indonesia yang mencoba membongkar tradisi sastrawan periode Horison berserta penyair dan dramawan Afrizal Malna. Hudan yang merajai facebook dengan linknya yang berlenggak-lenggok tapi maskulin mennyentuh sudut kepribadian penulis pendatang aset bangsa Indonesia masa depan.

*) Pengajar Intercultural Communication Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Guru Pedalaman Papua Juara Menulis Novel

Widodo
http://nasional.kompas.com/

SULITNYA kondisi dan lingkungan mengajar di sekolah daerah terpencil Muting, Merauke provinsi Papua memberi inspirasi Eko Ari Prabowo untuk menulis novel. Karya tersebut, diikutkan dalam lomba Penulisan Naskah Buku Pengayaan yang diadakan oleh Depdiknas periode Februari-Agustus 2008, dan menjadi juara I berhak atas piagam dan uang Rp 17 juta.

Eko yang dihubungi via telepon menuturkan, guru di SMPN 1 Muting Merauke berjumlah 10 orang dengan murid kelas 1-6 ada 167 anak. SMPN 1 Muting memiliki 6 lokal dengan 3 kondisinya rusak parah. Lokasinya sekitar 365 kilometer dari kota Merauke dengan akses jalan darat yang masih minim dan dipenuhi hutan lebat banyak sungai-sungai.

Naskah karyanya diberi judul “Petualangan Rendy” mengisahkan pengalaman seorang pendidik mengabdikan diri di daerah terpencil. Mirip dengan pengalaman hidupnya sendiri. Novel tersebut berhasil masuk menjadi finalis setelah menyisihkan 894 naskah dari 31 provinsi lainnya. Hingga lolos ke final bersama 51 naskah dari 14 provinsi. Akhirnya, karya guru pelosok tersebut terpilih menjadi yang terbaik. Penyerahan hadiah bertepatan dengan peringatan hari guru nasional kemarin di Jakarta.

Ada satu kendala utama saat mengajar di SMPN I Muting Merauke. “Di sana, anak-anak asli dari suku Marin kebanyakan belum bisa baca tulis dan berhitung dengan lancar. Padahal usia masuk sekolah SMP berkisar 16-18 tahun (normalnya 12-13 tahun). Sehingga kurikulum nasional sangat sulit diterapkan. Solusinya, bila ujian ada penilaian tersendiri dari kepala sekola dan dinas pendidikan setempat,” kata Eko usai menerima hadiah, Rabu (3/12).

Di sekolah tersebut, anak-anak berasal dari suku Marin (90%) Toraja 5%, Jawa (1%) dan sisanya suku lain. Di Muting Merauke sendiri hanya ada dua SMP. Satu di tempat transmigrasi dan SMPN 1 Muting itu. Sosialisasi dengan masyarakat pedalaman tidak mudah karena rata-rata mereka belum bisa memahami bahasa Indonesia dengan baik. Bila salah dimengerti bisa berbahaya. “Ya kita perbanyak senyum dan mengangguk agar mereka simpati,” tambahnya.

Eko Ari adalah lulusan Fakultas Sastra UGM tahun 1998 kemudian menjadi guru honorer di daerah Papua. Sudah puluhan sekolah dia tempati untuk mengabdi hingga 2005 diangkat menjadi PNS. Kini gajinya sekitar Rp 1,8 juta. Padahal harga sembako di daerah terpencil sangat mahal dan fasilitas serba minim.

Di sekolahnya memang ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tapi tidak mencukupi untuk mengadakan perpustakaan atau buku gratis bagi murid. Karena penerangan menggunakan genset dan air sumur. Sehingga pengeluaran terbesar justru untuk BBM menghidupkan genset itu sendiri.

Dengan jarak 365 kilometer itu, dia menetap di rumah dinas lingkungan sekolah. Hanya waktu libur panjang saja bisa datang ke kota Merauke. Tapi kondisi seperti itu tidak menyurutkannya untuk menghasilkan karya ilmiah. “Memang kita harus berjuang keras agar masyarakat di lingkungan terpencil seperti Papua bisa mengenyam pendidikan,” pungkasnya.

Mengasong Sastra di Kemacetan Jalanan

R. Sugiarti *
http://www.sinarharapan.co.id/

seekor kucing kurus menggondol ikan asin
lauk makanku malam ini hap kuambil sebilah pisau Akan kubunuh kucing itu
meong…
eh..dia tak lari meong…
malah memandangku tajam dengan matanya
meong…
tanganku yang memegang pisau bergetar
aku melihat diriku pada kucing ini
akhirnya kami berbagi kuberi dia kepalanya dan aku badannya
akhirnya kami makan bersama tentu saja dari piring yang berbeda
(puisi seorang pengamen puisi di bus kota yang dibawakan dengan sangat atraktif. Konon puisi ini diciptakan oleh sang pembaca dengan teman-temannya)

Bermula karena uang, kota-kota besar selalu mempunyai dinamika yang tinggi. Pergerakan manusia yang ada di dalamnya begitu mobil. Akibatnya, banyak peluang dipaksa tercipta.

Setiap sudut yang tercecer dimanfaatkan dengan bermacam kreativitas, meski terkadang naif. Sisi kosong trotoar, halte, bawah jembatan layang jalan tol, taman kota, dan banyak ruang kosong lainnya menjelma lahan bisnis yang terus berkembang pesat. Bis kota pun bertambah fungsi sebagai kotak sumbangan berjalan yang banyak diincar pemburu belas iba.

Pengasong, pengemis, panitia pembangunan rumah ibadah, pengelola panti asuhan dan lembaga sosial lainnya, orang yang terkena bencana, semisal kebakaran dan sakit, napi insaf, mahasiswa kekurangan dana, dan seniman jalanan, berebut menggaet iba bahkan tak jarang menggertak dan memaksa mereka yang dianggap berlebih.

Perkembangan Pengamen

Padahal perambah awal bis kota, semula hanyalah pengamen atau pemusik jalanan. Memang, musik jalanan sudah dikenal dan berkembang sejak abad pertengahan, terutama di Eropa. Pada saat musik Eropa berkembang pesat lewat penyebaran agama Kristen.

Kendati bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu adalah berdasarkan dasar-dasar pengetahuan musik Yunani, lewat gereja bentuk dasar itu dikembangkan selaras dengan perkembangan seni drama, seni rupa dan sastra. Bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu, akhirnya dikenal sebagai liturgi (latin: doa dalam bentuk nyanyian)

Di luar gereja, muncul jenis musik yang agak liar dan mempunyai tema yang luas yang oleh kalangan gereja disebut sebagai musik duniawi. Musik ini berkembang, umumnya dibawa oleh para musafir atau pengelana. Mereka menggunakan alat musik sederhana dan praktis, biasanya alat musik berdawai semacam gitar.

Musikus pengembara berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengelilingi negeri sambil bernyanyi. Mereka mendapatkan upah atau imbalan dari para penikmat musiknya. Di Prancis, mereka disebut ”troubadour”, dan di Jerman, ”minnesaenger”. Sampai saat ini, budaya semacam itu masih banyak dilakukan kaum Gypsi yang berada di daerah Spanyol.

Di Indonesia sendiri, masuknya budaya musik dibawa bangsa Portugis, dan budaya mengamen sudah ada sejak abad ketiga belas, saat kejayaan kerajaan Kediri atau Kahuripan. Saat itu, sudah dikenal rombongan kesenian musik berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan menghibur lewat syair atau pantun yang berisi dongeng Panji.

Mereka akrab dengan sebutan ”dalang kentrung”. Keberadaan mereka terkadang dianggap sakral oleh masyarakat yang dilewatinya karena apa yang mereka lantunkan tidak sekadar hiburan, tetapi terkadang merupakan nasihat, isyarat, bahkan ramalan masa depan dari situasi yang terjadi.

Berbeda dengan pemusik jalanan di masa sejarah, pengamen zaman sekarang lebih banyak terorientasi pada kesulitan ekonomi semata. Nilai kesakralan yang semula dimiliki pengamen pendahulu semakin mengabur.

Jangankan bisa dianggap sakral untuk bisa dikatakan estetik pun tak banyak pengamen yang memenuhinya. Mereka tak lagi melakukannya secara profesional.

Dengan alat musik seadanya, bahkan sekadar tepuk tangan dan suara yang fals mereka berani unjuk suara. Citra pengamen berubah menjadi sekadar strategi mencari uang di tengah keterdesakan, mekipun kreativitas lagu dan cara mengamen yang mereka bawakan semakin berkembang.

Mengamen Sastra

Yang menarik, pengamen yang semula hanya memainkan lagu-lagu populis dan lagu khas mereka sendiri, mulai berani memusikalisasi puisi. Memang tentang musikalisasi puisi ini masih ada beberapa pendapat yang berbeda.

Pertama, pendapat bahwa musikalisasi puisi adalah membacakan puisi dengan diiringi oleh musik. Jadi musik di sini sebagai background saja, tak lebih. Mulai banyak pengamen yang melakukan ini.

Pun pendapat kedua bahwa musikalisasi puisi adalah puisi yang dimusikkan. Artinya, ada semacam kreativitas yang digulirkan sehingga pencipta musikalisasi puisi harus mempunyai kemampuan yang lebih dalam memosisikan gagasan antara puisi dengan musik yang akan dikolaborasikan mampu tercipta di kalangan pengamen. Ada beberapa pengamen yang mampu membawa puisi-puisi sastrawan terkenal maupun karya mereka sendiri dalam kreativitas yang cukup mengesankan.

Yang tak begitu bisa kita lihat pada fenomena pengamen ini adalah pendapat ketiga, bahwa musikalisasi puisi adalah musik yang diilhami oleh puisi. Artinya, di sini puisi hadir secara konkret, akan tetapi bermetamorfosis menjadi sebuah alunan musik. Kita tak bisa tahu apakah ada pengamen yang melakukan ini.

Bagaimanapun juga puisi yang telah bermetamorfosis menjadi alunan musik tak gampang lagi kita kenali apakah diilhami oleh puisi ataukah tidak, kecuali mereka mengatakannya sendiri. Seperti halnya Dewa, Padi, atau KLA Project yang jelas-jelas menyatakan bahwa lagu-lagu mereka diilhami oleh puisi-puisi Kahlil Gibran dan Jalalludin Rumi.

Tak berhenti pada musikalisasi puisi, pengamen dalam bis kota semakin berani mendekati dunia sastra. Mereka mulai berani membawakan puisi tanpa musik. Sekadar membacakan tanpa iringan musik. Terkadang cukup dengan ekspresi teatris yang lumayan inovatif, seperti yang penulis lihat ketika seorang pengamen membawakan sajak ”Ikan Asin, Kucing, dan Aku” di atas.

Untung Rugi

Kini, mengamen puisi, mengasong sastra pada sesak bis kota semakin marak. Manfaat dan kerugian pun mulai tercipta, meskipun mungkin selambat bis kota tua yang bertahan di panasnya kemacetan Jakarta.

Lahir bentuk baru sastra-sastra asongan. Sastra asongan dijajakan pengamen di sela-sela keringat penumpang, diual tanpa harga paten. Cukup recehan sisa tarif bis atau semahal nilai iba yang ada di kantong hati. Tak perlu tawar-menawar. Cuma sedikit ancaman jika preman yang menjajakan.

Di satu sisi, tercipta sebuah bentuk sosialisasi sastra yang cukup efektif. Sebuah sistem sosilisasi sastra yang efisien, ramah, dan murah. Ranah sastra terdesak kesibukan hidup terpaksa hadir di sela-selanya. Menyeruak tanpa bisa ditolak. Tak perlu menumpang pada media edisi mingguan, atau pusat-pusat kesenian dan kebudayaan yang jauh dari jangkauan.

Sastra asongan selalu mampu hadir selama bis kota masih dibutuhkan. Tentu saja selama pengamen tidak dikejar-kejar petugas ketertiban umum.

Sayangnya kualitas sastra asongan masih jauh dari standar. Sastra yang seharusnya mampu menjadi hiburan di tengah kesuntukan, katarsis di tengah kegalauan, bahkan otokritik di tengah kelalaian, malah terlempar sebagai keluh kesah keputusasaan, jerit ketidakberdayaan, bahkan gangguan di tengah kelelahan.

Bukannya menjadi media pengenal dan pengakrab, pengamen sastra justru semakin menjauhkan sastra yang sudah tersisih dari masyarakat yang dikejar kesibukan mencari uang. Bisa-bisa muncul suatu image, ”sastra identik dengan kemiskinan”. Meskipun pada kenyataannya, Rendra, Putu Wijaya, Ayu Utami, Dewi Lestari, Sapardi Djoko Damono, dan banyak sastrawan lainnya tak bisa dibilang miskin.

Negatif ataupun positif, sastra asongan telah lahir. Kita terlambat untuk sekadar mengaborsinya. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana sastra asongan ini mampu membawa dampak-dampak yang positif bagi perkembangan sastra.

Tentunya perlu kepedulian dari banyak pihak. Sastrawan-sastrawan sukarelawan yang mau meluangkan waktunya membantu pengasong-pengasong sastra itu, agar mampu menjajakan sastra dengan kualitas maksimal.

Dengan begitu, sastra asongan mampu menjadi katalis kembalinya kedekatan sastra pada masyarakatnya. Sastra asongan tak lagi identik dengan kemiskinan.

Dan kita bisa membiarkan, Arnold Bennet yang menulis dalam buku hariannya, merasa menyesal dengan penyataan: ”pekerjaan seorang sastrawan hanyalah untuk memuaskan diri sendiri, untuk mencari pujian serta penghargaan. Tetapi, saya tidak mempedulikan semua itu. Saya akan menjadi penilai karya-karya sendiri.

Benar atau salah, saya akan tetap puas sebagai sastrawan. Saya tidak akan disukai kalau saya tidak berhasil mendapatkan uang banyak”. Karena sastra asongan mampu disukai, meskipun hanya berhasil mendapatkan uang recehan.

*) Penulis adalah peminat dan pemerhati budaya, pelanggan setia bus-bus kota di Jakarta.

Sebuah Esei Kenangan Seorang Sastrawan

Dari Era Soekarno ke Soeharto (1)
Gerson Poyk
http://www.suarakarya-online.com/

Di tahun 1963 aku terdampar di sebuah rumah petak berjendela lebar kawat kandang ayam di Jakarta. Rumah ini terkenal sebagai sebuah sanggar beberapa pelukis, Sanggar Bambu namanya. Ketuanya Sunarto Pr. Di sanggar itu tinggal pelukis Mulyadi, Danarto dan lain-lain. Di ujung bangunan berpetak-petak itu ada petak yang ditinggali seorang ibu yang baik hati yang membuka sebuah warung yang laris. Ibu itu sangat baik hati. Dengan menyediakan sebuah buku tulis langsing sepanjang dua kali buku tulis biasa dia menyuruh para pelukis dan tamu mereka menulis apa yang dimakan. Beberapa kali menulis di buku itu (berarti berutang beberapa piring) aku memandang mata sang ibu. Celakanya, ibu yang baik hati itu hanya memiliki satu mata sehingga walaupun ia tidak menagih utang, aku merasa ada sinar laser yang datang dari matanya menembus dadaku dan dalam imajinasiku aku terlontar keluar lalu berkata dalam hati, sebaiknya lekas cari kerja untuk membayar utang. Begitulah, dengan menjuual tas kecilku ke tukang loak aku memperoleh seidikit uang untuk ongkos ke harian Sinar Harapan yang terletak di Pintu besar Selatan.

Singkat cerita, gajiku sebagai guru SMP Negeri di Bima, walaupun kecil sudah bisa dianggap berkecukupan kalau datangnya teratur dari Ternate, apalagi kami sekeluarga mendapat rumah dinas dari pemerintah kabupaten. Aku lari dari Ternate ketikat imbul kerusuhan di kota itu sebelum peristiwa Permesta. Gajiku masih harus dikirim dari Ternate tetapi sampai tiga tahun aku menunggu dan menunggu dan untunglah aku bisa mengajar sore dan sekali-=sekali datang honor karangan dari Majalan mimbar Indonesia di Jakarta, majalah Budaya dan Minggu Pagi di Yogyakarta. Dalam keterlambatan gaji dari Ternate, kadang-kadang para petani Bima memberi ubi dan beras. Tiba-tiba anak balitaku menderita kekurangan gizi sehingga kurus kering bagaikan bayi Afrika yang diserang kelaparan. Ketika itu aku berkata, tiga hari lagi bayi afrikaku akan berpulang. Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang Pak Usmani, mantri tiga jaman mengatakan bahwa obat dokter perlu diganti dengan minyak ikan. Anakku kekurangan vitamin A dan D. Setelah tiga hari minum balitaku sembuh, tidak mencret-mencret ingus lagi. Sekarang bayi afrikaku yang pernah tinggal tulang mata tenggelam itu menjadi dosen matematika dan ilmu komputer di Universitas Indonesia, sedangkan beberapamuridku di SMP Negeri dan SGA Negeri Bima tempat aku mengajar menjadi pejabat di DKI bahkan ada yang menjadi gubernur. Maaf ini bukan menonjolkan kemiskinan diritetapi mohon pembaca yang budiman merenungkan nasib gerjuta guru di negeri ini yang nasibnya mungkin lebih sengsara dariku.

Gaji sebagai wartawan 30 kali gaji pegawai negeri. Ditambah lagi dengan obat gratis untuk anak isteri dan sepeda motor, maka aku tak perlu kuatir akan kelaparan dan penyakit. Aku tidak lagi jalan kaki-jalan kaki dengan sepatu usang yang ditambal dijahit dan dipaku sehingga pakunya selalu menusuk telapakku ketika pulang balik sekolah.

Aku mendapat pos Hankam. Setiap hari aku meluncur ke Markas Besar Kepolisian diKebayoran, mampi ke Polda, meluncur ke markas Hankam di Merdeka Barat dan ruang Penerangan Angkatan Darat, kemudian keKodam, singgah di Pusat Penerangan Angkatan Laut dan Pusat Penerangan Angkatan Udara diTanah Abang.

Minggu pertama aku harus mengikat perut. Di pagi hari hanya mendapat kopi di meja kantor dengan kopi segelas aku bertahan hidup sampai makan siang di kantor. Tidak ada makan malam karena belum terima gaji. Malamnya aku sering nongkrong di paviliunnya Wiratmo Sukito bersama Gunawan Muhamad dan beruntunglah kalau mereka traktir aku minum kopi atau air jeruk dan ketan panggang. Sudah itu ke kantor majalah si Kuncung yang terletak di ujung jalan Madura, ngobrol bersesak-sesak di kamar sempit penyair Hartoyo Andangjaya bersama teman-teman lain kalau kebetulan mereka ada di sana, antara lain Kirmanto, Salim Said adn Gunawan Muhamad, pelukis Syahwil almarhum lalu meluncur ke tempat Bokor Hutasuhur di Jalan Raden Saleh dan mengeletakkan tubuh di dipan yang terletak di kamar tamu sambil dininabobok oleh mesin tiknya yang tak putus-putusnya menulis sebuah novel. Bokor orang yang disiplin. Sebelum nyenyak aku berkata dalam diri,s ekarang aku menulis di atas roda jurnalistik, demi perut anak isteriku tapi nanti aku harus menulis novel, belajar (membaca), menulis dan menulis. Yang membuat aku penasaran adalah kamar Wiratmo Sukito. Ada beberapa rak yang penuh dengan buku-buku. Tampaknya ia lebih mengutamakanperpustakaan pribadinya itu daripada temapt tidurnya, sebuah dipandengan kasur tanpasprei. Setiap bangun tidur kapuk mengelilingi tubuhnya sehingga ada yang nyeletuk, putri salju bangun.

Buku-buku itu walaupun penuh dengan kepinding, diam-diam merayu aku untuk menjadi kutu buku.

Paviliun dan kantor Si Kuncung berseberangan. Ketua tempat itu merupakan tmepat pertemuan kami, tempat diskusi ngalor-ngidul dan serius, bercanda dan berusil ria. Di masa DS Mulyanto jadi redaktur mejalan Si Kuncung para sastrawan yang sering berkumpul di sana antara lain Ayip Rosidi, Trisniyuwono, Nugroho Notosusanto dan lain-lain. Aku hanya ke sana karena kekagumanku. Ketika aku masih tinggal di Maumere, Flores, sebuah malah angkatan muda yang penuh dengan prosa dan puisi datang dari tempatini. Aku minta ayahku berlangganan majalah itu.Ketikabersekolah di Surabaya, majalan KISAH dan TJERPEN datang adri sini. Aku pernah mengirim cerpenku ke majalah KISAH teatpi majalah itu mati dan cerpenku lalu dimuat di majalah TJERPEN yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto.

Penyair Hartoyo Andangjaya menggantikan DS Mulyanti (Dari Solo). Sangat sunyi di malamhari tetapi ketika aku mendapat sepeda motor dari Sinar Harapan, Hartoyo belajar naik motor di lapangan kecildi samping Si Kuncung. Ketika dia sudah agak bisa aku tinggalkan dia dan aku membuntuti Satyagraha Hoerip yang kegiatannya lain sekali, yaitu jalan bergandengan dengan seorang gadis kulit putih (yang kemudian menjadi isterinya). Ketika aku kembali, Hartoyo berdiri sendiri di lapangan kecil itu. Aku pikir sepeda motorku dirampok tetapi Hartoyo mengatakan dipinja babu Menteng. Waduh, tinggal dipecat dari SInar Harapan kalau motor itu dibawa kabur oleh si babu Menteng. Untung sang babu kembali tanpa mengucap terimakasih.

Suatu malam aku menemui Hartoyo di jalanan. Hartoyo mengatakan listrik mati sehingga kami membeli lilin. Begitu kami masuk Gunawan sedang tidur nyenyak di atas meja pimping. Aku membayangkan ada malaikat cantik yang menyelimuti dia dengan sayap-sayapnya dari gigitan nyamuk lalu aku pun usil mengusir malaikat cantik itu dengan membangunkan Gunawan. Dia terbangun lalu roboh bersama meja pimpongnya. Aku tertawa-tawa. Mungkin ia marah tetapi saat itu ia diam meninggalkan kami. Begitu ia pergi aku menyesal atas keusilanku.

Di masakecil aku memang sangat usil dan nakal. Ketika Yayasan Lontar meminta aku ke kota kecil Rateng di Flores untuk divideokan (atas biaya Ford Foudation), terbayanglah masa kecilku di kota itu. Terbayanglah seorang anak yang selalu berkelahi, meninju anak-anak desa yang tangsi polisi yang lebih dulu menyakitiku. Mereka pulang berdarah-darah. Akan tetapi hukuman yang diberikan oleh guruku Pak Wowor (ayah pematung Michael Wowor) sangatefektif. Ketika aku dipamerkan kepada massa murid SD sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, aku berdoa, aku berjani kepada Tuhan untuk tidak lagi menggebuk orang walaupun aku lebih dulu digebuk. ***

Sebuah Esai Kenangan Seorang Sastrawan

Dari Era Soekarno Ke Soeharto (2)
Gerson Poyk
http://www.suarakarya-online.com/

Kantor majalah Kuncung memang menjadi tempat seniman berusil ria, bernyentrik-nyentrik. Menurut cerita seniman Hartoyo Andangjaya, yang paling nyentrik dan usil di eranya adalah seniman Tirnoyuwono. Suatu hari di masa Mulyanto menempati kantor Kuncung, Tirnoyuwono datang dari Bandung. Seperti biasa ia nginap tetapi pada suatu siang ia lapar. Karena tidak punya uang ia menyeberang ke dapur tetangga, lalu minta makan kepada babu. Sementara makan, yang punya rumah suami isteri datang. Karuan, ia masuk ke kolong tempat masak yang terbuat dari beton tebal lalu menutup diri dengan kaleng arang. Beberapa jam ia terlipat di sana sampai tuan rumah tidur siang sehabis makan.

Uniknya, beberapa seniman miskin yang berputar-putar di sekitar sebuah perpustakaan kumuh dan kamar sempat seorang penyair, berani-beraninya menandatangani Manifes Kebudayaan yang menghebohkan itu. Iwan Simatupang sampai sedikit mengejek bahwa kelompok Manifes Kebudayaan tidak punya massa. Kritikus seni Dans Suwaryono yang waktu itu berada di Yogya heran, binatang besar apa yang oleh orang komunis disebut manikebu itu. Pers kiri yang dinakodai Pramudya Ananta Toer memang jeli karena manikebu itu bukan massa rakayasa tetapi kutu yang datang dari para kutu buku seperti H.Jassin dan Wiarmo Sukito.

Menurut Wiratmo, pada mulanya Bung Karno senang dengan Manifes Kebudayaan tetapi ketika dia mendengar bisikan Aidit maka beliau berubah. Mengapa? Beberapa tahun kemudian ada peneliti asing yang mengatakan bahwa pada dasarnya Bung Karno takut pada kekuatan militer sehingga memakai tameng massa komunis. Pendapat ini patut diuji tetapi yang jelas ketika merebut Irian Barat kedekatan Indonesia dengan Uni Sovyet juga pegang pranan kembalinya Irian ke Ibu Pertiwi. Akan tetapi kemudian muncul embargo ekonomi. Sebagai wartawan rasanya ada saat-saat tertentu aku merebut waktu untuk bermetamorfose menjadi kutu buku. Ada pula saat-saat dimana aku bermetamorfose menjadi kalong di malam Jakarta. Tidak ada musik rock di malam hari karena Bung Karno melarangmusik ngak-ngik-ngok karena musik yang demikian itu datang dari bawah sadarkolektif manusia yang marah terhadap pemimpin. Yang terdengar hanyalah lagu sedu sedan pesinden dengan kecapinya yang lahir dari bawah sadar kolektif manusia subhuman yang menangis. Lapangan Gambir, Lapangan Banteng, Planet Senen, Lapangan Jatinegara, Priok, penuh dengan makluk subhuman perempuan desa, makhluk yang terasing karena mengasingkan seksnya ke negeri Mammon.

Di era yang demikian itu seekor kutu tak berani menembak sambil berdiri kecuali merayap seperti kutu yang usil. Begitulah maka keusilanku muncul dalam karier jurnalistikku. Setelah sayup-sayup mendengar pidato Bung Karno di akhir kekuasaannya yang menyinggung soal transmigrasi, mulutku usil sendiri, “Terlambat Bung! Di akhir kekuasaanmu baru kau berbicara tentang transmigrasi ke bumi subur laut kaya ini.”

Lalu aku usil menulis sebuah artikel mengeritik babe. Sebuah surat kaleng dikirim oleh seorang wanita mengatakan bahwa aku anak ingusan yang tidak melihat jasa orang besar seperti Bung Karno. Aku jadi takut, kalau-kalau di belakang wanita itu ada sesuatu yang membawa bencana buatku. Akan tetapi tak ada apa-apa bahkan sampai beberapa tahun kemudian ketika aku bertemu Mas Guntur di kantor Bang Nelson Tobing. Begitu Bang Nelson memperkenalkan diriku kepadanya ia dengan suara lembut berkata. “Kami baca, Mas.” Aku bertanya-tanya, apakah artikelku di Sinar Harapan itu mereka baca? Akan tetapi aku merasa tenang, ketika bertemu Sukmawati di Bali dan memboncengnya ke sana ke mari.Beberapa tahun kemudian aku menulis sebuah puisi permintaan maaf kepada Bung Karno dalam sebuah antologi puisi.

Hal yang demikian terjadi pula terhadap Bung Tomo.Sebenarnya apa yang dinamakan revolusi berdarah itu sudah terjadi di mana-mana seperti halnya perang dimana lelaki dan perempuan serta anak-anak mati percuma. Akan tetapi ini bukan berarti aku harus terlibat ke dalamnya kalau hal itu akan berulangkali waktu dalam sejarah.Tidak aku tidak akan terlibat karena sikapku tidak menerimanya. Yang sudah terjadi sudahlah. Apa boleh buat dan aku harus memulai perjalanan hidup dengan sikap yang menolak pembunuhan baik bunuh diri dan bunuh orang (apalagi dalam revolusi). Sikapku berkata tidak kepada pembunuhan metafisik maupun pembunuhan historis.Kalaupun itu akan terjadi, aku berdiri di luar, menjadi outsider yang bertahan mengibarkan bendera moderation.

Dalam sebuah ceramah sastra di TIM yang dilakukan oleh Idrus, sastrawan Angkatan 45, mengingatkanku akan karya-karyanya bahwa Idrus agak sinis pada revolusi berdarah. Demikian kesanku. Aku berkesimpulan bahwa Idrus berada di luar penerimaan terhadap era revolusi berdarah para pejuang kita yang bergaya sebagai koboi Amerika. Aku berkesimpulan bahwa Idrus berada di luar pembunuhan metafisik dan pembunuhan historis. Ia seorang outsider. Lain dengan Bung Tomo yang menggebu-gebu dalam kawah candradimuka retorika revolusi. Akan tetapi tak disangka Idrus berkata bahwa ia bukan outsider. Sampai di situ saja? Malam itu Bung Tomo yang duduk di belakangku berkata dalam bahasa Jawa. “Kowe ngenyek aku.” Lalu bulu romaku berdiri ketakutan. Bila diskusi sastra malam itu terjadi di masa revolusi fisik, apa jadinya?

Dalam euforiaku sebagai reporter tiba-tiba aku di panggil oleh pembesar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sang Pembesar berkata, “Mengapa kau lari dari pekerjaanmu sebagai guru negeri?”

“Saya tidak lari Pak. Ini saya menghadap Bapak. Memang saya telah minta dipindahkan dari Bima ke Genteng (dekat Banyuwangi - pen),tetapi nanti gaji saya berputar-putar berbulan-bulan lamanya baru sampai keperut anak isteri,” kataku. “Jadi pegawai negeri dengan gaji selalu terlambat merupakan tahyul bagi saya. Terserah Bapak, mau hukum saya silahkan, mau pecat silahkan.Percaya kepada pegawai negeri itu tahyul. Saya tak percaya tahyul pegawai negeri yang administrasinya semrawut. Sekarang dengan gaji yang begitu besar saya bisa operasi anak saya yang menderita hernia.”

Sang pembesar P dan K itu mengerti. Ia malah mengatakan bahwa ia pun orang susah, tidak punya rumah sehingga tinggal di Puncak, menumpang di rumah orang. Sayang aku lupa namanya. Kalau beliau masih hidup aku ingin bersilaturahmi kepadanya. Akan tetapi di atas segala kedongkolanku, wartawan dan sastrawan adalah juga guru, adalah hatinurani bangsa dan umat manusia. Jadi, bukan eskapisme yang nihilistik.

Demikian pula cerita di tahun 1956, ketika aku tamat dari SGA. Takut uang ikatan dinas selama bersekolah terputus dan gaji awal terlambat,aku naik kereta dari Surabaya ke Jakarta, menghadap pembesar P & K, memohon agar besluit segera terbit supaya dapat gaji karena kalau uang ikatan dinas terputus, dan gaji terlambat, mau makan apa? Sang pembesar bernama Pak Ayawaila berkata, “Belum ada laporan dari sekolahmu. Pulanglah ke Surabaya.”Maka pusinglah aku sejuta keliling dan nekat meminta uang receh dari kantong pribadi sang pembesar untuk pulang ke Surabaya. Aku tak sadar bahwa ini suatu sinisme terhadap tak adanya seni membangun negara dengan administrasi yang sempurna. Seperti mobil, hanya badannya yang bagus, tetapi tidak ada idea mengenai speed. Dia memberi uang receh dari kantongnya. Pembesar yang baik sekali, pembesar yang mau memberi uang receh kepada anak buahnya. Lalu untuk pertama kalinya aku (guru muda di sebuah republik baru) menjadi pengemis. Aku naik becak ke rumah seorang kawan dan minta bantuan uang receh buat ongkos kereta tetapi isterinya berkata, mengapa tidak membuat perhitungan sebelumnya? Aku kaget, menahan rasa malu sebagai seorang pengemis, atau tak ada rasa sama sekali. Jadi kebal. ***

Senin, 27 September 2010

Sastra, Kebangsaan, Konferensi

Ahda Imran
http://pr.qiandra.net.id/

HUBUNGAN antara sastra dan proses terbentuknya kesadaran suatu bangsa adalah hubungan yang niscaya. Sejarah kesusastraan, di mana pun, senantiasa memiliki korelasi dengan proses berlangsungnya karakteristik suatu bangsa, bagaimana kesadaaran itu tumbuh dan berproses dalam berbagai perdebatan, bahkan pertentangan. Dengan kata lain, berbagai perdebatan dalam kesusastraan dan kebudayaan umumnya senantiasa berbanding lurus dengan perdebatan soal pembangunan kesadaran karakter bangsa dan kebangsaan. Terlebih lagi, nasionalisme senantiasa menghendaki bentuk-bentuk pengertian yang bergerak demi menjawab waktu dan ruangnya yang menjadi konteksnya.

Namun demikian, dalam berbagai perkembangan, politik pembangunan negara yang dikembangkan lembaga pemerintahan, sangatlah langka melibatkan kesusastraan dalam berbagai penyusunan kebijakannya. Alih-alih kesusastraan (dan kebudayaan umumnya) dipercaya sebagai ruang kesadaran demi memaknai nasionalisme, pada masa Orde Baru karya sastra juga dilihat dengan penuh kecurigaan.

Akan tetapi, sejak 1998, dinamika perkembangan karya sastra berkembang leluasa dalam merepresentasikan berbagai kesadaran ihwal negara, kekuasaan, dan nasionalisme. Karya sastra tumbuh secara sporadis dalam euforia yang menukik pada tema-tema sosial politik yang mendapatkan ruang pelepasannya. Di lain sisi, berbagai isu global pun leluasa masuk karena perkembangan teknologi informasi yang tak dapat dicegah. Seluruh perubahan ini mengusung berbagai kesadaran dalam memeriksa ulang apa yang selama ini dipercayai. Termasuk ihwal identitas hingga apa itu nasionalisme hari ini.

Seluruh gelombang perubahan ini niscaya mengubah karakteristik kesadaran kebangsaan yang berbeda dari sebelumnya. Tentu saja ini tidaklah mengejutkan, sebab, sekali lagi, nasionalisme selalu menghendaki adanya perubahan paradigma dari waktu ke waktu.

Akan tetapi di lain hal, perkembangan karya sastra dalam ruang yang sporadis selama lebih dari sepuluh tahun ini meninggalkan jejak yang kerap mencemaskan. Gairah kemunculan para sastrawan muda yang mengusung berbagai kecenderungan tematiknya, ternyata tidak diimbangi oleh institusi yang semestinya melakukan pembacaan ke arah mana perkembangan itu bergerak. Institusi dimaksud adalah dunia kritik.
**

BERANGKAT dari asumsi itulah Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) Komisariat Bandung merasa perlu menyelenggarakan konferensi internasional. Konferensi yang mengundang sejumlah guru besar kesusatraan, rektor, dan akademisi kebudayaan dari sejumlah perguruan tinggi sebagai pembicara ini, hadir dengan tema “Membaca Ulang Fungsi Sosial Sastra Dalam Menumbuhkan Nilai dan Sikap Kebangsaan”. Konferensi ini akan berlangsung di Isola Resort Hotel, Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 5-7 Agustus 2009.

Sejumlah sastrawan, kritikus, dan akademisi, akan tampil sebagai pembicara dalam konferensi ini. Di antaranya, Prof. Dr. Melanie Budianta, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Prof. Dr. Riris Sarumpaet, Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Prof. Dr. Chaedar Alwasilah, Prof. Dr. Irwan Abdullah, Dr. Haryatmoko, dan penyair Acep Zamzam Noor.

Konferensi ini secara tematik membagi dirinya menjadi empat subtema, yang masing-masing diandaikan memiliki benang merahnya untuk menyaran pada tema besar yang diapungkan. Karena secara tematik konferensi ini menekan pada soal fungsi sastra, subtema pengajaran sastra memang menjadi keperluan untuk dipermasalahkan. Terlebih dalam konteks sastra dan pertumbuhan nilai kebangsaan. Subtema ini akan mengurai sejumlah persoalan dalam pengajaran sastra yang mungkin telah berulang-ulang didiskusikan, diseminarkan, disemilokakan, diworkshop-kan, hingga dikonferensikan.

Sementara subtema berikutnya mencoba memasuki fenomena aktual dalam hubungan sastra dan pasar, dalam hal ini apa yang disebut dengan karya sastra populer. Subtema ini akan mengurai bagaimana sastra populer berhubungan dengan gagasan kesadaran tentang nasionalisme. Subtema ini pun akan bersinggungan dengan produksi sastra dalam konteks media.

Jika karya sastra diasumsikan menjadi representasi dari kesadaran ihwal Indonesia, bagaimanakah hal itu mengemuka dalam konteks memandang masyarakat perbatasan atau pesisir? Pertanyaan ini penting dan menarik untuk diurai mengingat betapa karya sastra Indonesia hari ini relatif belum cukup merepresentasikan multikulturalisme yang ada, terutama dalam konteks geokulturalnya. Subtema ini tampaknya akan menguji sejauh mana perkembangan sastra komtemporer hari ini menghadirkan keberbagaian Indonesia.

Sementara bagaimana konferensi ini memeriksa kembali hubungan antara sejarah sastra dan sejarah kebangsaan akan menjadi subtema yang menantang. Di sini bagaimana sebenarnya para sastrawan bekerja dan memaknai perannya dalam keperluan membangun gagasan kesadaran nasionalisme. Tentunya sastrawan hari ini amatlah berbeda dengan mereka yang hidup dan berkarya di awal-awal tumbuhnya kesadaran sebuah Indonesia. Hanya soalnya bagaimanakah perbedaan itu dihadirkan, baik dalam bentuk pengucapan atau kesadarannya?

Menurut kritikus Acep Iwan Saidi selaku panitia pengarah, konferensi ini juga mengandaikan pembacaan terhadap bagaimana sesungguhnya karya-karya sastra kontemporer melihat kesadaran kebangsaan, yang tentu saja berbeda dengan generasi para sastrawan sebelumnya yang hidup di tengah konteks sejarah yang berbeda.

“Dalam karya sastra, sikap nasionalisme selalu tampil dalam bentuk yang lain. Ketika karya berbicara tentang realitas sekeliling, dia sebenarnya sudah menanamkan kesadaran tentang kebangsaan, begitu juga ketika karya mengungkap potensi lokal. Sastra kita menarik jika dikaitkan dan berbicara modernis dan posmodernis. Modernisme antilokal, tetapi dalam perjalanannya, sastra kita sangat lokal. Pada titik itu saya melihat kesadaran kebangsaan kita sangat tinggi,” ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Riris Sarumpaet, betapa dalam karya sastra hari ini kesadaran nasionalisme itu tidaklah diungkapkan secara langung. Sesuatu yang berlainan dengan masa-masa generasi Moh.Yamin, Rustam Effendi, hingga Chairil Anwar.***

Pemartabatan Sastra dan Ironi Hadiah Mastera

Wowok Hesti Prabowo
http://www.infoanda.com/Republika

Dalam seminar Mabbim (Majelis Bahasa Brunei Indonesia dan Malaysia) dan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di Jakarta, 7-8 April 2008, diberikan penghargaan kepada dua ‘penulis muda’ Indonesia. Yang pertama, Penghargaan Pusat Bahasa diberikan kepada Habiburrahman El-Shirazy, dan yang kedua Penghargaan Mastera diberikan kepada Ayu Utami.

Penghargaan yang diberikan kepada Ayu Utami sempat mengundang tanda tanya banyak pihak, termasuk para peserta seminar. Mereka terkejut, di tengah semangat untuk menegakkan moralitas bangsa-bangsa serumpun Melayu melalui sastra, justru Mastera memberikan penghargaan kepada seorang penulis perempuan yang mendukung GSM (gerakan seks merdeka pinjam istilah Taufiq Ismail), menolak lembaga perkawinan, dan menganggap penegakan moral sebagai penindasan.

Pada banyak tulisan dan kiprahnya, Ayu Utami berpihak pada pornografi dan kebebasan seks, sementara para anggota Mabbim dan Mastera sedang memerangi pornografi dan kebebasan seks. Ayu Utami, selain menulis novel Saman yang kontroversial, misalnya, juga pernah menjadi redaktur pelaksana majalah X-Magazine — majalah softporn yang lebih porno dibanding Playboy Indonesia.

Di majalah itulah Ayu menulis kolom-kolom yang sangat vulgar sambil mempromosikan kebebasn seks. Dalam salah satu esei yang menceritakan pengalamannya berselingkuh dengan banyak lelaki, dia bahkan terkesan melecehkan kaum santri dengan mangatakan salah satu pasangan selingkuhnya yang santri selalu shalat dulu sebelum naik ranjang untuk bersetubuh dengannya.

Karena itu, wajar kalau banyak pihak merasa heran Penghargaan Mastera dapat jatuh ke Ayu Utami, sebab itu berarti Mastera mengingkari perjuangannya sendiri untuk melawan pornografi dan kebebasan seks melalui kegiatan sastra. Dipilihnya Ayu Utami menjadikan upaya Mabbim dan Mastera untuk menegakkan moral bangsa menjadi semacam ‘dagelan’ semata.

Bagi alumni

Hadiah Mastera adalah salah satu penghargaan yang diberikan Mastera kepada penulis muda dari tiga negara pendiri Mastera, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia. Selain hadiah Mastera yang diberikan oleh Indonesia, ada pula Anugerah Mastera (diberikan kepada Tokoh Sastra dari tiga negara, oleh Brunei Darussalam) dan Penghargaan Mastera (untuk karya-karya fiksi dan non fiksi terbaik, diberikan oleh Malaysia).

Hadiah Mastera mulai diberikan tiga tahun lalu, setiap Indonesia menjadi tuan rumah bagi pelaksanaan sidang dan seminar Mastera. Berdasarkan keputusan dari tiga negara pendiri Mastera, hadiah tersebut ditujukan bagi alumni peserta program penulisan Mastera. Program ini sudah melahirkan banyak penulis/sastrawan yang bermutu, dan untuk mengapresiasinya, Mastera memberi seacam hadiah khusus bagi alumnus yang dinilai sangat pesat perkembangan kepenulisannya dari segi kualitas maupun produktivitas.

Program penulisan Mastera, dimulai tahun 1997, dengan program penulisan puisi, kemudian setiap tahun berturut-turut program penulisan cerpen, novel, esai dan drama. Para pesertanya dipilih berdasarkan rekomendasi sastrawan senior, pantauan terhadap karya mereka di media, dan pengajuan diri. Program tersebut diperuntukkan bagi sastrawan di bawah 35 tahun (untuk Indonesia Timur di bawah 40 tahun), sudah menerbitkan minimal satu buku dan atau lima karyanya pernah dimuat di media nasioanal.

Saat ini ada sekitar 70 orang alumni program penulisan Mastera. Di antara mereka adalah Oka Rusmini, Jamal D Rahman, Agus Noor, Joni Ariadinata, Hudan Hidayat, Arief B Prasetyo, Asma Nadia, Ode Barta Ananda, Nenden Lilis A, Wowok Hesti Prabowo, Iyut Fitra, Ahmad Syubbanudin Alwi, Cecep Syamsul Hari, dan Dindon WS.

Para penerima penghargaan dipilih oleh juri independen, 3 dari luar anggota Mastera, dan 2 orang pakar Mastera negara masing-masing. Jadi pemenangnya bukanlah pilihan Mastera di tingkat internasional, melainkan pilihan Mastera di negara masing-masing. Brunei Darussalam dan Malaysia atau Singapura sebagai negara pemerhati Mastera, tidak memilih peraih penghargaan dari Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Tiap negara memilih pemenang dari negara mereka sendiri.

Ketika 7 April lalu Ayu Utami menerima Hadiah Mastera untuk penulis muda, mewakili Indonesia, banyak yang terkejut. Bukan hanya Indonesia, Malaysia dan Brunei malah nyaris tak percaya. Hadiah Mastera buat Ayu Utami memunculkan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang juga mungkin harus bisa dijawab dan dipertanggunngjawabkan oleh para juri.

Pertama, Ayu bukan alumnus program Mastera. Jelas ada kesalahan prosedur di sini, karena penghargaan ini diberikan hanya bagi alumni peserta program Mastera. Nurfiks Brunei dan Siti Jasmina, pengarang muda penerima penghargaan dari Brunei dan Malaysia, adalah peserta program Mastera dari negara masing-masing.

Kedua, selama lima tahun terakhir, Ayu tidak melahirkan karya yang mencuri perhatian para kritikus sastra maupun publik sastra. Karya sastranya yang terakhir, Larung (Gramedia), terbit tahun 2001. Buku berikutnya, Si Parasit Lajang; Seks, Sketsa dan Cerita (Gagas Media), yang terbit tahun 2003, adalah sekumpulan tulisan unek-unek belaka, yang mengajak orang untuk tidak menikah.

Naskah drama yang disebut-sebut sebagai karyanya, Sidang Susila, yang baru-baru ini dipentaskan, adalah karya bersama Agus Noor. Lalu bagaimana mungkin, pengarang dengan karya sastra yang nyaris mandul selama lima tahun terakhir diberikan penghargaan level internasional seperti Mastera, yang salah satu kriterianya melihat karya dalam tiga tahun terakhir?

Pelecehan

Terpilihnya Ayu juga merupakan pelecehan terhdap sekitar 70 alumnus peserta program Mastera lainnya, karena mereka tidak ada yang dianggap layak untuk menerima hadiah tersebut. Padahal Oka Rusmini, Agus Noor, Helvy Tiana Rosa, Joni Ariadinata, dan Jamal D Rahman, sekadar menyebut beberapa nama, sungguh sangat layak menerima penghargaan tersebut. Mereka bukan hanya bagus dari segi karya dan produktif, tetapi juga intens terlibat dalam berbagai kegiatan bimbingan bagi munculnya penulis-penulis baru di nusantara.

Dengan tidak terpilihnya alumni program Mastera untuk mendapatkan hadiah Mastera yang ditujukan bagi mereka, berarti program penulisan Mastera yang sudah berlangsung selama lebih dari 10 tahun, telah gagal, karena alumninya dianggap tidak cukup berkualitas, sehingga penulis di luar program tersebut yang mendapatkannya.

Kalaupun memang penghargaan tersebut harus jatuh ke tangan penulis luar program, rasanya tak ada yang paling pantas mendapatkannya selain salah satu dari dua pengarang yang menghasilkan karya fenomenal luar biasa, yaitu Habiburrahman el Shirazi (Ayat-Ayat Cinta) dan Andrea Hirata (Laskar Pelangi). Namun juri ‘independen’ yang diketuai Sapardi Djoko Damono kabarnya tetap ngotot untuk memenangkan Ayu Utami.

Itu pula hal yang mungkin membuat Pusat Bahasa sebagai panitia Mastera Indonesia tak bisa berbuat apapun dan akhirnya memberikan penghargaan ‘mendadak’ bagi Habiburrahman el Shirazy (Hadiah Khusus Pusat Bahasa), untuk mengalihkann perhatian kita dari persoalan hadiah Mastera tahun ini.

Kemenangan Ayu Utami merupakan keanehan dan preseden buruk bagi sastra Indonesia hari ini. Publik sastra dan masyarakat kita lagi-lagi ‘dibodohi’ oleh konspirasi yang tak sehat para ‘mafia’ sastra. Karena itu, ketua Mastera perlu untuk meninjau kembali, bahkan membatalkan hadiah Mastera yang diterima Ayu Utami itu.

*) Alumnus Progam Penulisan Mastera

Posisi Negeri Pengarang di Jawa Timur

(Surat Terbuka Buat Arif B Prasetya, W Hariyanto, Fachrudin Nasrullah, Rahmat Giryadi)
S. Jai *)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

HAMPIR pasti tiada suatu negeri tanpa bayang-bayang penguasa. Fatalnya hal serupa terjadi pada negeri sastra—tempat berdiam puisi, prosa atau drama. Ini yang tertangkap dari sebalik ulasan kritikus sastra Arif Bagus Prasetyo tentang “Jawa Timur Negeri Puisi,” Jawa Pos 25 Juli lalu.

Prosa berada di bawah bayang-bayang puisi. Sementara ekspresi penyair berada di sebalik kurungan keengganan dan kemiskinan berbahasa Indonesia. Dengan kata lain visi kepenyairan lebih berada di bawah ketaksadaran ketimbang kesadaran akan—dalam bahasa Gadamer—bildung, weltanchauung, sensus communis, judgement, taste.

Artinya prosa Jawa Timur dapat dikatakan sedang koma atau luluh lantak di mata kritikus yang kini tinggal di Denpasar, Bali tersebut. Akan tetapi Arif tidak sendiri mensinyalir demikian. Tengara serupa terbit beberapa hari sebelumnya, Selasa 20 Juli 2010 dalam sebuah seminar “Arah dan Perkembangan Sastra di Jawa Timur.” Penyair Tjahjono Widianto mengaku terus terang tidak punya nyali membahas prosa oleh karena takut salah. Ia hanya membahas puisi-puisi Jawa Timur meski yang bersangkutan juga menulis prosa di media nasional.

Ada beberapa sinyal yang tak asing dari peristiwa sastra mutakhir tersebut di atas. Sedemikian kukuhnya mengakar dalam darah daging sastra kita hingga sulit dideteksi yang tumbuh kembang ini tumor, kanker atau daging segar. Yakni, tak lain terkait dengan posisi prosa dan puisi di satu sisi dan posisi pengarang, penyair dan kritikus di sisi lain.

Tentu ini hubungan wilayah perkembangan yang maha luas dan perlu pengkajian mendalam. Hanya saja keunikan peristiwa di atas setidaknya bisa ditangkap karakteristik dasar di sebalik gejala sastra tersebut. Bahwa sastra, puisi, prosa sebagai satu kenyataan, kemudian sastrawan, penyair, pengarang sebagai kenyataan lain, di samping media massa, pembaca, dan kritikus sebagai kenyataan berikutnya yang memiliki karakter tertentu pula.

Kritik Arif Bagus Prasetyo yang meneguhkan Jawa Timur sebagai negeri puisi hanya mendasari diri pada sudut pandang karakteristik posisi tersebut di atas, tanpa menumbuhkan kemungkinan karakteristik lain dari ruh sastra itu sendiri—yang sudah berangtentu sebagaimana dikemukakan sang kritikus sendiri, diakui ada. Meskipun sempat disinggung pula adanya penyair yang menulis prosa seperti Mardi Luhung, Mashuri dan Beni Setia.

Secara sederhana, sebetulnya apabila kritikus yang juga kurator “Sastra Indonesia Hari Ini: Jawa Timur” itu bersedia membalik karakteristiknya dengan menganalogikan bahwa ketiga sastrawan sebagaimana dicontohkan itu “menulis prosa dan menulis puisi,” saja tentu bakal kuasa membangkitkan orang-orang visioner dan menyusuri dunia sastra dengan mata yang berbinar.

Dengan karakteristik baru semacam ini, kritik sastra bakal terimplikasi lain disamping pada dirinya sendiri selaku kritikus. Termasuk implikasi terhadap kekayaan pembacaan sastra oleh kritikus-kritikus sesudahnya. Rupanya, manakala kritik atas sastra di Jawa Timur itu berlanjut maka visi prosa dalam hal ini kepengarangan, juga ekspresi kepenyairan bakal dipersalahkan tanpa suatu kejelasan konseptual. Tanpa menyadari kekurangpatutan atas kritik sendiri, bahwa sebetulnya kesalahan konseptual atas prosa dan puisi bakal lebih berbuah aib memalukan atas dunia kritik sastra.

Boleh jadi visi dan ekspresi prosa juga puisi kita salah arah. Akan tetapi kesalahan arah prosa dan puisi kita boleh jadi disokong oleh ketidakpahaman akan subtansi sastra. Tentu saja perihal amburadulnya subtansi sastra yang bertanggungjawab dan punya andil besar adalah kritikus sastra. Rendra pada 1982 menyerukan omong kosong pada kritikus sebagai jembatan penonton atau pembaca dengan seniman.

Perlu kita ajukan kembali pertanyaan mendasar apa sebetulnya relevansi kritikus atau penyair, prosais yang kemudian sanggup merangkap sebagai kritikus membedakan antara puisi dan prosa? Lalu, apa sesungguhnya masih ada relevansinya pembedaan atas prosa dan puisi?

Sudah barang tentu pertanyaan ini bisa diperdebatkan—terlebih bila menyangkut historiografi atas prosa dan puisi. Perdebatan bakal lebih mendalam manakala terkait pula dengan—dalam bahasa Adonis—perihal personifikasi, simbol, retoris, liris dan representatif pada karya sastra. Betapa Adonis terkejut saat mengulas karya Jibran Khalil Jibran atas bentuknya yang banyak seolah-olah Jibran ingin memberikan inspirasi bahwa bentuk yang banyak juga merupakan jenis pembaruan dan jenis melampaui masa lalu.

Jibran menulis cerita pendek yang relatif panjang, drama dialogis, makalah, cerita simbolik, ungkapan padat (kata-kata bijaksana, perumpamaan), biografi, qashidah prosa dan qashidah bermatra. Kiranya, bisa dimengerti mengapa pula sastrawan besar seperti Sutardji Chalzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad memilih menjadi prosais dan orang seperti Koentowijoyo, Arifin C Noer, Iwan Simatupang juga memperkenalkan diri sebagai penyair.

Bahwa puisi sebagaimana prosa itu seperti seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair, pengarang itu doa dan sembahyangnya. Personifikasi ini bukanlah ungkapan seorang kritikus yang kemudian mengkritik seakan hanya pembaca yang berdoa dengan rosario atau butir tasbih saja yang lebih sahih menikmati puisi dan prosa.

Setiap sastra meski bermula dari persoalan mitos-mitos pribadi yang terpecahkan dan berkembang jauh menjadi problem keilmuan, di dalamnya sudah barang tentu memuat puisi, juga prosa. Ada puisi dalam prosa. Ada prosa dalam puisi.

Tanah Air Sastrawan

Sastrawan punya kemampuan penguasaan bahasa lebih baik dari yang bukan sastrawan. Kendati senantiasa haus akan penjelajahan wilayah baru bahasa. Akan tetapi lebih jauh, menulis sastra adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Yaitu, semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia—yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya, juga yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Saat itulah sastrawan tak sulit merondai pikirannya menempatkan diri pada tirai puisi. Berkat kata dalam puisi sastrawan tidak bersusah payah menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Bahkan sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.

Ya, sastrawanlah yang membabtiskan kata itu seperti manusia juga. Dia yang tahu jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji sebagai sastrawan memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia. Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur.

Sastrawanlah yang tahu bentuk yang tepat ekspresi sastranya mana yang sanggup memboyong segala kemungkinan kata karena tabiat kata yang sudah ditentukan padanya—kurang ajar, purba, tidak saja seperti anak yang lahir yatim piatu tanpa bapak dan ibu, tetapi juga sombong dan tak mengakui manusia. Ia hanya tahu manusia, pengarang, penyair itu ada. Tapi dia hidup di dunianya sendiri yang sama sekali asing dan barangkali punya kitab sendiri, nabi-nabi sendiri.

Karena inilah takdir kata. Seperti manusia, ia tak sanggup mengajar kesempurnaan kendati Tuhan telah menciptakannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Secara fisik ia bisa cacat bisa pula sehat jasmani, atau berbadan perkasa. Bukankah lebih mulia bila kita memanusiakan mereka seperti kenyataan sesungguhnya? Laiknya manusia utuh sebagaimana wakil pencipta di bumi ini?

Kadang-kadang ruh sastra itu tak peduli benar dirinya bermakna atau tidak. Sastrawan hanyalah diberi hak untuk mengajukan pertanyaan, bujuk rayu, kebijakan filosofis, dalam bentuk seindah mungkin, sedahsyat mungkin agar seolah kelak mendapat jawaban pasti atas segala tanya dan mengakhiri kegelisahannya.

Walhasil, sastrawan, penyair, pengarang, orang biasa semakin sulit dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair, pengarang dan prosa. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Demikian pula prosa.

Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi, prosa yang bagus dan penyair, pengarang yang luar biasa. Barangkali sebangun dengan ungkapan TS Eliot, kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika.

Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi? Bahkan tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?

Lebih dari itu penulis artikel ini percaya bahwa mengarang adalah menipu diri sendiri demi untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan selanjutnya. Kedengarannya memang naïf dan gila: tampil gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang. Inilah kejujuran untuk menipu diri sendiri. []

*) Penulis adalah pengarang.

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati